Mohon tunggu...
Tegar Aditya Nugraha
Tegar Aditya Nugraha Mohon Tunggu... Penulis - Crypto enthusiast

Demystifying the world of crypto and igniting financial freedom

Selanjutnya

Tutup

Diary

Air Mata di Senja Jakarta

23 Juli 2024   18:51 Diperbarui: 23 Juli 2024   18:54 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari sore mulai condong ke barat, semburat jingga mewarnai langit Jakarta. Di depan Masjid Istiqlal yang megah, tepatnya di halte Transjakarta Juanda, seorang pemuda duduk di bawah pohon rindang, menikmati ayam goreng dari Indomaret terdekat.

Tiba-tiba, seorang bapak paruh baya dengan pakaian lusuh menghampirinya. "Nak, boleh saya duduk di sini?" tanyanya dengan suara serak.

Pemuda itu mempersilakan, lalu mereka pun terlibat dalam percakapan. Bapak itu mulai bercerita tentang masa lalunya yang penuh perjuangan. Dulu, ia adalah seorang pengusaha sukses, memiliki rumah mewah dan mobil berjejer di garasi. Namun, kesuksesannya membuatnya lupa diri. Ia terjerumus dalam pergaulan yang salah, menghamburkan uang untuk foya-foya, dan mengabaikan nasihat orang tuanya.

"Saya terlalu sombong saat itu, Nak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Saya merasa bisa melakukan apa saja tanpa bantuan orang tua. Saya bahkan meninggalkan mereka demi mengejar kesenangan semu."

Namun, roda kehidupan terus berputar. Bisnisnya bangkrut, teman-temannya meninggalkannya, dan ia jatuh miskin. Dalam kesendiriannya, ia baru menyadari betapa berharganya orang tua. Ia menyesali semua kesalahannya, tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia kini hidup sebatang kara, terlunta-lunta di jalanan.

Pemuda itu mendengarkan dengan seksama, hatinya terenyuh. Ia tak menyangka di balik penampilan lusuh bapak itu, tersimpan kisah hidup yang begitu pilu.

"Nak, ingatlah satu hal," kata bapak itu dengan suara bergetar. "Kalau mau sukses, jangan pernah tinggalkan orang tua. Berbaktilah kepada mereka selagi masih ada. Jangan sampai kamu menyesal seperti saya."

Pemuda itu mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa tersentuh oleh ketulusan dan penyesalan bapak itu. Nasihat sederhana namun penuh makna itu terpatri dalam hatinya.

Matahari sudah sepenuhnya terbenam ketika percakapan mereka berakhir. Bapak itu pamit undur diri, meninggalkan pemuda yang masih termenung di halte Transjakarta. Pertemuan singkat itu telah membuka matanya, menyadarkannya akan arti pentingnya keluarga dan berbakti kepada orang tua.

Sejak saat itu, pemuda itu bertekad untuk selalu menghargai dan menyayangi orang tuanya. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti bapak yang ditemuinya di halte Transjakarta. Ia akan berusaha menjadi anak yang berbakti, membanggakan orang tua, dan meraih kesuksesan tanpa melupakan asal-usulnya.

Pengalaman itu menjadi salah satu kenangan paling berharga dalam perjalanannya menjelajahi Jakarta dengan Transjakarta. Ia telah menemukan hikmah kehidupan yang tak ternilai harganya dari seorang asing yang ditemuinya di halte bus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun