Mohon tunggu...
SYAMSUL BAHRI
SYAMSUL BAHRI Mohon Tunggu... Administrasi - Conservationist

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Dinasti Ditinjau dari Aspek Etika

13 Maret 2020   06:08 Diperbarui: 13 Maret 2020   06:16 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

jika kita simak tulisan Oleh Pudjo Rahayu Rizan  Selasa, 24/12/2019 pada berita on line antara dengan judul Pro kontra politik dinasti "pada kontek pro dan kontrak politik dinasti pemaknaan demokrasi menimbulkan dua pemahaman yang saling bertentangan yaitu politik dinasti tidak bertentangan dengan demokrasi, tapi disisi lain sering melanggar dari prinsip demokrasi itu sendiri", selanjutnya ditegaskan lagi, apakah politik dinasti mengkebiri demokrasi dengan jawaban bisa ya bisa tidak, karena politik dinasti cenderung mempengaruhi proses yang semestinya demokratis menjadi tidak demokratis, karena campur tangan pihak-pihak yang memegang kekuasaan, kekuatan, pengaruh, infrastruktur politik, bungkusnya demokrasi, tapi isinya bukan demokrasi.

Data dari Kementerian Dalam Negeri (Politik dinasti, anomali demokrasi, melalui beritagar.id 14/10/2017) menyebutkan pada tahun 2016 terdapat tidak kurang dari 60 dinasti politik yang tersebar di seantero Indonesia. Yang paling populer tentu dinasti politik Ratu Atut di Banten. Kasus Ratu Atut barangkali hanyalah semacam fenomena gunung es. Di daerah-daerah yang jauh dari ibukota dan luput dari pemberitaan, dinasti politik tumbuh subur menjadi musuh ancaman bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Memang diakui Sistem demokrasi saat ini dengan system OMOV (one man one vote) terbuka, setiap pemilih dihargai dengan satu suara memungkinkan bagi tumbuh suburnya politik dinasti, apalagi dikaitkan dengan kemiskinan dan Pendidikan suatu daerah, sehingga politik dinasti akan berkembang dengan suburnya.

Jika kita semak dan kita fahami ciri demokrasi akan dicirikan dengan 3 kekuasaan, pertama yaitu pembagian kekuasaan trias politika yakni eksekutif, yudikatif dan eksekutif, yang bertujuan agar kekuasaan tidak menumpuk pada kekuasaan eksekutif semata-mata, agar terjadi proses check and balances antar lembaga pemerintah.

Kedua terlaksananya suksesi kepemimpinan dengan baik dan demokratis dan terbuka melalui mekanisme Pemilu yang bersifat Jurdil dan Luber mekanisme pemilihan umum yang adil, jujur dan terbuka

Ketiga adalah kedaulatan ada ditangan rakyat, namun nyatanya kedaulatan ditangan rakyat cenderung tidak sepenuhnya, karena kedaulatan sebagain besar ada di tangan Partai Politik berdasarkan Parlemen threshold.

Dengan maraknya dinasti politik, tiga pilar demokrasi itu berada dalam ancaman besar, sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif manakala semua lini dikuasai orang-orang yang sekerabat. Pembahasan yang bersifat kesejahteraan rakyat sedianya menentukan hajat hidup orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga, jika demikian maka ucapkan Selamat tinggal politik dinasti.

Begitu pula dalam soal suksesi kepemimpinan yang adil dan terbuka, sesungguhnya mustahil hal itu bisa terwujud jika jabatan-jabatan politis dan jabatan structural akan digilir dan diperebutkan oleh orang-orang yang masih dalam lingkaran trah keluarga. Seperti yang terjadi di beberapa daerah, jabatan bupati diisi oleh suami sementara sang istri jadi wakil. Ketika suami sudah menjalani masa dua periode, sang istri pun mencalonkan menjadi bupati. Politik dinasti lebih mirip seperti lingkaran setan yang tiada ujungnya.

Etika politik menurut Franz Magnis Suseno (Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern) bahwa fungsi etika politik terbatas pada upaya menyediakan seperangkat teori untuk mempertanyakan dan menjelaskan kekuasaan politik secara bertanggung jawab.

Untuk menjadi seorang pemimpin mutlak dituntut punya pemahaman yang sahih tentang etika politik, karena politik bukanlah alat meraih kekuasaan semata-mata, melainkan alat untuk mewujudkan tata kehidupan yang adil, damai dan sejahtera dan jika Politik yang dipahami sebagai alat untuk meraih kekuasaan niscaya terjebak dalam kompetisi meraih dan mempertahankan jabatan, dengan menghalalkan segala cara.

Politik yang seperti itu, dalam implementasinya dipastikan abai pada norma dan etika politik, maka sewajarnya politik praktis identik dengan konspirasi, intrik, konflik bahkan perilaku-perilaku koruptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun