Pembicaraan mengenai kekerasan seksual dapat pula dikaitkan dengan kajian seksualitas. Studi tentang seksualitas tentulah masih sangat sedikit---hal ini tentu dipengaruhi anggapan bahwa persoalan-persoalan sosial jauh lebih penting dibanding hal tersebut, seperti persoalan kemiskinan,krisis ekonomi ,politik dan lain  sebagainya.Â
Padahal dalam hal ini sebetulnya sekslah yang mendefinisikan kita sebagai manusia, seksualitas menjadi inti dari seseorang dari sekian banyaknya atribut manusia seperti ras,kebangsaan,kesukuan kelas,agama,umur---salah satu identitas paling dasar adalah seks. Singkatnya,seksualitas mampu mendefinisikan kita secara pribadi,sosial dan moral.
Seksualitas sebetulnya merupakan kontruksi sosial, artinya seks disusun oleh masyarakat, manusia memahami dunia, menciptakan sejarahnya dan mendefinisikan dirinya. Dalam hal ini pada akhirnya akan membentuk sebuah pengetahuan dikalangan masyarakat dan muncul pula teknik-teknik kontrol tersebut yang disebut sebagai sebuah "power" atau kuasa. Kuasa yang pada akhirnya mendefinisikan pengetahuan melakukan penilaian apa yang baik,dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh, mendisiplinkan dan mengontrol segala sesuatu termasuk seks.
Psikoanalis Sigmund Freud juga menjelaskan bahwa seksualitas adalah naluri manusia, yang satu sisi dapat dikontrol dan di satu sisi lepas kendali. Seksualitas ini ada pada setiap individu. Secara umu seksualitas dipengaruhi oleh interaksi manusia, faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama dan spiritual.
Tentu seksualitas yang dapat dikontrol melahirkan aktivitas sosial positif. Namun seksualitas yang tidak dapat dikendalikan pada akhirnya  memproduksi kekerasan seksual. Seksualitas tentu bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu saat ini. Hal ini karena mereka dapat dengan mudah mengaksesnya di aplikasi dan media sosial, baik menggunakan perangkat komputer atau laptop, atau dengan smartphone yang kita miliki.Â
Tentu dengan kemudahan dalam mengakses aplikasi dan media sosial inilah, konsekuensi sosial atas seksualitas dalam kehidupan masyarakat dapat bisa menjadi sesuatu yang berdampak positif, namun bisa juga berdampak negatif.
Kasus Kekerasan Seksual dan KBGO
Hal yang sangat disayangkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia cukup tinggi Dalam laporan komnas HAM, dalam tahun 2015 terdapat laporan kasus kekerasan terhadap perempuan berjumlah 321.752 dan tahun 2019 meningkat sekitar 431.471. Komnas perempuan juga mencatat bahwa 33,1% bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan adalah pelecehan seksual dan pencabulan.
Terlebih kekerasan berbasis gender online juga meningkat dari tahun ketahun pada tahun 2017 terdapat 16 kasus hingga ditahun 2020 terdapat 942 kasus. Hal ini juga menjadi hal yang penting untuk dikritisi.
Mengacu pada naskah akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual pasal 1 (1) kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Meskipun RUU tersebut belum disahkan namun penulis menggunakan konsespsi kekerasan seksual.