Mohon tunggu...
Teddy Triyadi Nugroho
Teddy Triyadi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - LP3ES/ Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Cogito Aliquid// Menulislah Dengan Rendah Hati Tausosiologi.id

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Refleksi Hari Antikorupsi Sedunia: Antara Perspektif dan Masalah Moral

9 Desember 2020   11:39 Diperbarui: 10 Desember 2020   06:07 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

''Korupsi itu Berbanding Lurus Mengikuti Kemana Uang Mengalir”

Seperti yang kita ketahui bersama, korupsi telah menjadi ritual yang tak dapat lepas dari kekuasaan suatu rezim. Setiap Rezim yang berkuasa selalu berhadapan kepada penyakit masyarakat yakni korupsi. Dalam Satu bulan terakhir, tercatat dua menteri kabinet Jokowi tengah berhadapan dengan masalah Korupsi.

Operasi tangkap tangan KPK berhasil menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dengan mengungkap kasus suap benih lobster pada 25/11/2020 dan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial alias bansos Covid-19 pada 06/12/2020.

Penangkapan tersebut disinyalir sebagai sebuah kebangkitan taring KPK, yang pada setahun lalu tengah bermasalah lantaran adanya UU nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diduga dapat melemahkan KPK.

Pilkada Serentak atau Korupsi Serentak?
Tanggal 9 Desember hari ini bertepatan dengan Pilkada serentak daerah sekaligus Hari Anti korupsi sedunia, Nampaknya dapat menjadi sebuah refleksi kritis terhadap permasalahan korupsi yang kian massif terjadi di Indonesia.

Permasalahan yang tidak akan pernah selesai di Indonesia ini terus dipelihara oleh sistem Pilkada yang banyak terjadi kecurangan baik secara materil maupun non- materil. Politik uang, gratifikasi, suap menyuap untuk merebut bangku kepemimpinan telah menjadi makanan sehari-hari yang kita amati.  Di hari menjelang pencoblosan, dapat kita amati sering terjadi  pemberian uang dan bantuan kepada masyarakat agar memilih calon tertentu.

Bisa dibayangkan betapa besar dana yang harus dikeluarkan oleh seseorang ketika menjadi calon kepala daerah.  Dana yang dikeluarkan lebih besar lagi dengan adanya kewajiban para kandidat untuk menyumbang operasional partai, membayar saksi, iklan, membayar advokat ketika menghadapi sengketa, dan tentu membayar tim kampanye dan relawan.

Dengan sistem Pilkada sekarang yang hanya mengenal satu putaran, maka para calon kepala daerah akan sangat total dalam pendanaan dan lebih mementingkan materil ketimbang substantif. Hal ini yang di sinyalir akan membuka gerbang korupsi.

Dalam hal ini, Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2001) menegaskan sejumlah tindakan yang disebut tindak pidana korupsi. 

Tindakan-tindakan dimaksud, antara lain: tindakan yang menimbulkan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, benturan kepentingan (conflict of interest) dalam pengadaan (barang dan jasa), gratifikasi, perbuatan curang dan membiarkan perbuatan curang, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada membiarkan pegawai negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya dan lain sebagainya.

Apa Yang Mendasari Orang Korupsi?
Hal di atas merupakan tindakan yang dapat memidanakan seseorang jika terbukti korup. Lantas sebetulnya apa yang mendasari orang itu korupsi, dari awal kemerdekaan orde Baru hingga Reformasi. Apakah yang menjadi dasar dari korupsi, apakah karena gaji yang didapatkan tidak mencukupi atau karena faktor keserakahan?

Dalam hal ini  setidaknya ada empat pemicu yang menjadi dasar orang melakukan korupsi seperti yang dikutip dari Malik Ruslan dalam tulisannya Politik Anti Korupsi dan good governance yaitu yang pertama ketika pemegang otoritas mencampuradukkan antara hak atau kepentingan pribadinya dengan hak atau kepentingan publik yang berada dalam kewenangannya. Korupsi terjadi apabila seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat atau kepentingan umum.

Kedua Jika dari seseorang terlahir hasrat pemenuhan kebutuhan yang bersifat kebendaan, kemudian berkembang menjadi keserakahan, sehingga lupa diri karena sikap mental yang berorientasi kepada kepentingan pribadi. orang
Ketiga, persepsi atau tafsir tentang rezeki yang keliru. 

Seseorang yang mempersepsikan atau menafsirkan semua pendapatan sebagai rezeki tanpa menggunakan indikator halal atau haram, dapat dengan mudah terjerumus untuk melakukan korupsi, sekurang-kurangnya-kurangnya mempunyai  kepekaan antikorupsi yang sangat rendah.Dan ke empat, Terjadinya krisis moralitas atau demoralisasi.

Saat ini sepertinya orang yang melakukan korupsi bukan karena kekurangan gaji ataupun tidak tercukupi nya kebutuhan (needed) namun karena faktor keserakahan (greedy) dan juga cara pandang orang melihat korupsi yang salah kaprah.

Korupsi di Indonesia Masalah Perspektif atau Moral?
Oleh karenanya kita perlu meluruskan pemahaman tentang korupsi itu sendiri. Dalam hal ini bahwa korupsi bukan semata-mata masalah hukum, ekonomi, politik dan semacamnya, tapi korupsi juga—dan lebih-lebih—merupakan masalah moralitas, bahkan budaya.

Dalam konteks ini, korupsi juga merupakan cara pandang (perspektif), penafsiran seseorang dalam melihat korupsi. Pandangan yang sama juga Dikemukakan oleh budayawan kondang Emha Ainun Najib. Dia mengatakan,Korupsi di Indonesia disebabkan antara lain oleh rendahnya moral pengelola negara dan kemerosotan moral pejabatnya.

Pada Era kemerdekaan saja korupsi sudah mulai merebak dan menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Bahkan Bung Hatta sudah mengingatkan bangsa ini, bahwa korupsi telah menjalar ke mana-mana, seluruh aparatur pemerintahan sudah dihinggapi. Juga bank-bank swasta melakukannya.

Untuk itu pada era kemerdekaan perspektif moral telah dimasukan kedalam undang -undang pemberantasan korupsi.Perspektif moralitas terhadap tindak pidana korupsi dapat dilihat pada Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilaian Harta Benda. Di sana ditekankan bahwa korupsi adalah perbuatan tercela.

Kata ―tercela ini masih digunakan di dalam UU No.3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan di dalam UU No.28/1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN, kata ini bahkan masih digunakan. Korupsi disebut sebagai ―perbuatan tercela sekaligus ―perbuatan tidak manusiawi.

Selepas itu, dimulai pada era Reformasi, perspektif politik-hukum antikorupsi mulai bergeser dengan lebih condong pada perspektif pembangunan sosial-ekonomi. ―Korupsi harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur, adalah kalimat yang dapat ditemukan di dalam UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam produk perubahannya (UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999), korupsi disebut sebagai ―perbuatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat (perspektif HAM).

Untuk itu secara umum kita mengetahui bahwa masalah perspektif dalam korupsi sangat menjadi hal yang utama di Indonesia. Apalagi di Indonesia sejumlah tesis mengenai Demokrasi dan ekonomi yang baik tidak terbukti di Indonesia.

Misal, tesis Lipset dan Lenz yang menyatakan, ―pembangunan ekonomi akan berdampak positif pada demokrasi dengan berkurangnya korupsi atau tesis Alatas yang menyatakan, ―sistem pemilihan dan pers yang bebas mencegah lahirnya sarang korupsi yang kuat di eselon kepemimpinan yang tertinggi untuk waktu yang tak terbatas.Justru saat ini korupsi semakin massif dan terjadi secara terstruktur dan semakin memprihatinkan. 

Korupsi berlangsung secara masif(dimensi kerugian negara), massal (dimensi pelaku), sistematis (dimensi Eksekusi/dilakukan secara teratur/dipersiapkan secara matang), meluas Dengan konfigurasi yang sangat beragam, vertikal dan horizontal sekaligus (dimensi spasial/institusional).

Sebagai contoh penangkapan menteri KKP juga terjadi secara terstruktur dan melibatkan dimensi spasialnya. Istrinya pun terkena kasus korupsi tersebut, tentunya hal ini sangat memperihatinkan.

Apa yang harus dilakukan?
Oleh karena nya persoalan korupsi harus diselesaikan dengan pendekatan budaya, membangun sumber daya manusia melalui pendidikan anti korupsi yang mesti diadakan di tingkat SD hingga Universitas. 

Pendekatan kebudayaan sebagai sistem berpikir—ini terkait dengan perspektif, penafsiran Kita terhadap rezeki dan cara berpikir kita yang salah memaknai. Kalau kita sendirii sudah memahami Pendidikan sebagai pembudayaan,maka sudah barang tentu lembaga Pendidikan kita harus diwujudkan menjadi sebuah tempat yang menggembleng manusia Indonesia menjadi insan yang berkarakter dan antikorupsi tanpa kecuali. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun