Untuk itu secara umum kita mengetahui bahwa masalah perspektif dalam korupsi sangat menjadi hal yang utama di Indonesia. Apalagi di Indonesia sejumlah tesis mengenai Demokrasi dan ekonomi yang baik tidak terbukti di Indonesia.
Misal, tesis Lipset dan Lenz yang menyatakan, ―pembangunan ekonomi akan berdampak positif pada demokrasi dengan berkurangnya korupsi atau tesis Alatas yang menyatakan, ―sistem pemilihan dan pers yang bebas mencegah lahirnya sarang korupsi yang kuat di eselon kepemimpinan yang tertinggi untuk waktu yang tak terbatas.Justru saat ini korupsi semakin massif dan terjadi secara terstruktur dan semakin memprihatinkan.Â
Korupsi berlangsung secara masif(dimensi kerugian negara), massal (dimensi pelaku), sistematis (dimensi Eksekusi/dilakukan secara teratur/dipersiapkan secara matang), meluas Dengan konfigurasi yang sangat beragam, vertikal dan horizontal sekaligus (dimensi spasial/institusional).
Sebagai contoh penangkapan menteri KKP juga terjadi secara terstruktur dan melibatkan dimensi spasialnya. Istrinya pun terkena kasus korupsi tersebut, tentunya hal ini sangat memperihatinkan.
Apa yang harus dilakukan?
Oleh karena nya persoalan korupsi harus diselesaikan dengan pendekatan budaya, membangun sumber daya manusia melalui pendidikan anti korupsi yang mesti diadakan di tingkat SD hingga Universitas.Â
Pendekatan kebudayaan sebagai sistem berpikir—ini terkait dengan perspektif, penafsiran Kita terhadap rezeki dan cara berpikir kita yang salah memaknai. Kalau kita sendirii sudah memahami Pendidikan sebagai pembudayaan,maka sudah barang tentu lembaga Pendidikan kita harus diwujudkan menjadi sebuah tempat yang menggembleng manusia Indonesia menjadi insan yang berkarakter dan antikorupsi tanpa kecuali.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H