Selanjutnya salah satu Tokoh masyarakat yang juga merupakan Pastor orang asli papua dari pulau kimaam yaitu Pastor Pius Cornelis Manu menyampaikan  bahwa Masyarakat adat datang dengan satu komitmen, satu kesepakatan, satu suara bulat bahwa Mereka menolak  perusahan yang mau masuk di tanah adat mereka atau di sisa tanah di  Papua selatan ini. Pastor menegaskan bahwa masyarakat yang  menolak Investasi atau perusahaan bukan berarti menolak atau anti pembangunan, tetapi hari ini yang dibutuhkan masyarakat adalah pemberdayaan Ekonomi masyarakt oleh OPD terkait yang berwenang yaitu Negara Bukan Perusahaan. Ada beberapa alasan menurut pastor mengapa masyarakat tidak suka atau Kami MENOLAK, yang pertama adalah :
Wilayah Maklew, Kimahima sampai Okaba itu pernah ada perusahaan ikan disana dan perusahaan itu membawa dan meninggalkan trauma yang sangat besar bagi masyarakat. Kehadiran Perusahaan membawa banyak konflik sosial, Pemerintahan di kampung-kampung tidak jalan, Pendidikan Sekolah juga terbengkalai. Masyarakat lebih banyak ada di  sekitar perusaahan sebagai pemulung dan semakin tak terkontrol. Pelanggaran HAM  terjadi gara-gara perusahaan melewati dan memasuki daerah nelayan tradisonal. Alasan kedua adalah adanya pengalaman antara sesama Malind, dimana Orang Buti, orang Kuper sudah menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan Kota Merauke, Pembangunan Wilayah Transmigrasi tapi mereka sampai hari ini Miskin  tidak ada perubahan hidup apapun, Pertumbuhan penduduknya amat tersendat sendat jadi ada efek psikologis juga disana mereka suda kehilangan tempat dasar berpijak
Pastur menambahkan bahwa  Perusahaan-Perusahaan lain yang sementara ada beroperasi  di wilayah Digul yang tidak terlalu jauh dari  wilayah Kimahima dan Maklew, seperti Asiki, Maam bahkan sampai yang sangat dekat yaitu Muting  yang semuanya adalah Kelapa Sawit tetapi apakah dengan kehadiraan perusahaan-perusahaan itu masyarakat Adat setempat mereka hidup sejahtera? Apakah mereka menjadi kaya? tidak ada sama sekali bahkan mereka hidup dalam penderitaan
"Kalua kita lihat peta agropolitan atau MIFFE(Merauke Integrated Food and Energy Estate)  dan peta yang suda di perbaruhi sekarang ini bahwa tanah suda di bagi-bagi dan masyarakat adat suda tidak punya apa-apa lagi jadi sebelum masuk di wilayah kami lebih baik kami nyatakan tidak, kami  tidak mau menerima dan mengakui perusahaan apapun yang masuk di wilayah kami" tuturnya
Pastor kemdian memberikan sedikit catatan bahwa ada bebera kali menteri Investasi itu datang terus ke Merauke, tidak mungkin dia datang hanya jalan-jalan saja pasti ada tujuan kerja tertentu bersamaan dengan kedatangan menteri itu ada kapal dan helikopter-helikopter yang  terus beroperasi mengambil sampel-sampel tanah dimana-mana. "Menurut infomasi dari masyarakat setempat  ada bupati dan gubernur juga kesana berarti ada alasan tertentu mereka bisa nginap di kapal sehingga wajar apabila masyarakat adat itu cemas kalau ada orang dari pemerintah atau pejabat-pejabat tinggi daerah ada disitu  sehingga timbulah  ketakukatan dari masyarakat bahwa  ada yang mau ambil kami punya tanah-tanah adat". Tuturnya
Sementara itu Johhny Teddy Wakum Ketua YLBHI LBH Papua Pos Merauke yang turut mendampinggi Masyarakat Adat Maklew dan Kimahima menegaskan bahwa  "Hak atas informasi itu merupakan hak masyarakat dan atas dasar informasi maka masyarakat dapat menentukan secara bebas atas proyek yang akan berlangsung di wilayah adatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28f UUD 1945 junto Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya menurut Teddy Wakum bahwa dalam konteks Otonomi Khusus bahwa setiap Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun harus melibatkan Masyarakata Adat pemilik hak ulayat sebagaimana yang diatur dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2O2I TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2OO1 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVTNSI PAPUA Pasal 43 Ayat 4.