Mohon tunggu...
Teddy Lianto
Teddy Lianto Mohon Tunggu... -

Jl. Sunter Bentengan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berjiwa Seperti Kulit Telur

11 Desember 2012   09:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:50 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari ketidaksengajaannya menginjak telur di kala istrinya sedang menggoreng telur di dapur, mengilhami Teguh untuk merintis sebuah peluang usaha berupa seni dari kulit telur atau dikenal dengan art of egg shell. “ Ketika saya injak efek pecah telur ada suara’Kreek’. Suara itu menarik perhatian saya. Saya angkat kaki saya pelan-pelan, ternyata tekstur pecah kulit telur tersebut mempunyai nilai yang cukup bagus bagi saya. Sepertinya bisa dijadikan media untuk mengembangkan produk art seperti lukisan atau craft lainnya,” terang Teguh, ayah dari dua anak ini..

Sebagai percobaan awal, Teguh mengubah dan menyiasati kulit telur tersebut menjadi keping-keping mozaik penghias botol-botol plastik. Setelah digosok-gosok dan dikeringkan ternyata hasilnya cukup menarik.” Dengan ini semakin menambah keyakinan saya jika ternyata kulit telur itu bisa jadi media atau punya nilai yang profitable,” Jelas Teguh dengan yakin. Selanjutnya dengan teknik pelekatan yang kuat, cangkang telur ditata dalam komposisi artistik pada gentong, guci, lukisan, dan benda-benda aksesori lainnya.

Berbekal pengetahuan ini, Teguh Joko Dwiyono mulai gencar untuk memberikan penyuluhan mengenai kerajinan dari kulit telur pada tahun 1998. Pada masa itu Teguh merekrut sekitar 30 orang anak dari pabrik-pabrik yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk diajari seni kulit telur. “Saya ajari mereka cara membuat seni kulit telur ini selama 3 bulan lamanya dan juga saya gaji karena mereka kan tidak punya penghasilan. Hasil karya mereka saya pamerkan di pasar festival. Ternyata antusias masyarakat yang datang sangat luar biasa. Bahkan dapat orderan untuk pertama kalinya dari negara New Zealand,” terang Teguh dengan antusias. Dari kesuksesan itu, 30 anak yang belajar seni kulit telur menjadi lebih bersemangat untuk terus berkarya. Kini mereka telah dapat berdikari sendiri.

Setelah itu, Teguh juga menginformasikan kepada teman-temannya jika ada anak-anak muda atau siapapun yang ingin belajar membuka usaha baru dengan menggunakan kulit telur dapat memanggilnya untuk mengajar.” Jika ada yang meminta, dapat memanggil saya untuk datang mengajar. Baik itu hanya 10 atau 15an orang, saya akan ajarkan mereka hingga bisa dan selanjutnya terserah mereka,” umbar Teguh. Dari informasi tersebut, muncul banyak undangan untuk mengajar di berbagai pelosok, sebut saja di Nusa Tenggara Timur, Bali, Lombok hingga ke luar negeri.

Dalam melakukan pengajaran, Teguh selalu menyisipkan sebuah pesan moral dengan menerangkan jika kulit telur itu seperti kerangka kehidupan, sebuah kehidupan lahir dari telur tersebut. “Secara harfiah, kita (manusia) juga berasal dari sel indung telur. Jadi kalau kita bicara telur, saya ibaratkan telur itu seperti rahim, rahim itu ada di mana? Ada di sosok sebuah ibu. Kita lahir dari situ, oleh karena itu anak-anak saya beri nilai positif atau pesan moral kalau mereka tidak boleh melupakan dan berbuat jahat kepada ibu yang telah melahirkan mereka,” cerita Teguh. Selain itu, kulit telur jika diperhatikan terlihat sangat rapuh, tetapi dibalik kerapuhan itu, dia menyimpan kekuatan luar biasa. Dia tahan goresan, tahan cuaca dingin ataupun panas dan bentuknya tipis. “ Ini gambaran jika kalo jadi orang tidak boleh sombong, berjiwalah seperti kulit telur. Kalau punya kelebihan atau kehebatan jangan dipertontonkan kesannya rapuh,” terang Teguh.

Dengan bantuan dari para media, akhirnya seni kulit telur menjadi sebuah fenomena ajaib yang mempesona banyak orang. Banyak orang yang tidak menyangka jika dari sebuah kulit telur dapat tercipta sebentuk karya seni yang memukau. “ Kebetulan pada tahun 1998, kita diliput oleh beberapa media elektronik. Di setiap peliputan di media elektronik, tidak lupa saya sisipkan sebuah informasi peluang belajar secara Cuma-Cuma bagi anak-anak muda yang ingin belajar atau membuka usaha dengan seni ini,” jabar Teguh.Selain melalui media elektronik, Teguh juga mensosialisasikan mengenai peluang usaha dibalik kulit telur kepada para ibu rumah tangga, pedagang nasi goreng dan anak-anak remaja di sekitar rumahnya.” Pada tahun 1998- 2000an dulu satu kilo kulit telur yang sudah dibersihkan saya hargai Rp 2.000 tetapi sekarang sudah naik menjadi Rp 10.000 per kilonya. Biasanya ada ibu-ibu rumah tangga atau pedagang nasi goreng keliling yang mengumpulkan dan menjual ke saya,” terang Teguh. Hal ini ia lakukan untuk membantu para ibu rumah tangga dan masyarakat sekitar rumahnya yang kehidupannya kurang mampu, sehingga dapat memiliki penghasilan tambahan dari mengumpulkan dan membersihkan kulit telur tersebut. “ Telur itu hampir setiap hari dikonsumsi oleh keluarga, jadi saya pikir ajang ini dapat membantu ekonomi keluarga kecil dan kalangan anak muda yang ingin membuka usaha atau belajar berkarya,” tambahnya.

Dalam berkarya Teguh kerap berpedoman pada tiga acuan yang acapkali menjadi prinsip hidupnya: Keyakinan, Kemauan, Kesabaran . Dengan kerja keras yang berkepanjangan Teguhyang memiliki nama lengkap Teguh Djoko Dwiyono ini diganjar sebuah penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk  katagori “Pelopor seni lukis dengan bahan-bahan kulit telur, pertama di Indonesia” pada tahun 2005.

Kulit telur sendiri selain sebagai media untuk art craft juga memiliki suatu fungsi lain, yakni dapat menyerap gas karbondioksia. Peneliti dari University of Calcutta, India, telah menunjukkan bahwa membran yang melapisi cangkang telur dapat menyerap gas rumah kaca karbon dioksida dari atmosfer, bahkan hampir tujuh kali lipat dari berat telur itu sendiri. Basab Chaudhuri, pemimpin penelitian dari University of Calcutta, Indiamenjelaskan bahwa cangkang telur terdiri dari tiga lapisan, yaitu kutikula pada lapisan luar, serta kandungan kalsium kenyal pada lapisan tengah dan dalam. Lapisan tengah dan dalam terdiri dari serat protein yang terikat pada karbonat kalsium. Membran inilah yang dapat menyerap gas CO2.

Keluarga yang Komunikatif

Pada masa bekerja sebagai konsultan interior, kebutuhan hidup Teguh dan keluarga sudah boleh dikatakan cukup makan dan sandang. Jika anka-anak ingin bepergian, sebuah mobil telah menanti untuk dikendarai dan jika hendak makan diluar kapanpun bisa. Tetapi pertemuan dan jadwal kerja yang padat dari perusahaan tempatnya bekerja terkadang mengharuskannya menghabiskan waktu lebih banyak di luar bekerja, jauh dari keluarga.

Pada periode itu, Teguh jarang untuk bertatap muka, berbicara, dan bersenda gurau dengan istri dan anak-anaknya. Pernah suatu kali, Teguh harus menghadiri suatu pertemuan di luar kota selama 2 bulan lamanya. Dengan kontinuitas seperti demikian Teguh mulai berpikir untuk mencari sebuah alternatif lain bagaimana caranya agar ia masih bisa bekerja mencari nafkah dan juga sekaligus dapat bertemu dan bercakap dengan istri dan anak-anaknya.

Hingga akhirnya Teguh mencoba bereksperimen untuk membuat sebuah karya seni dari kulit telur dari tahun 1995 hingga akhir 1997an. Percobaan demi percobaan terus dilakukan hingga akhirnya membuahkan sebuah hasil, dari yang tadinya dianggap sebagai sampah, kulit telur kini di transformasi menjadi sebuah media yang memiliki nilai art tinggi.

Selama masa transisi dari seorang penerima gaji menjadi yang memberi gaji, Teguh merasakan bagaimana sulitnya merintis sebuah usaha. “ Basic saya bukanlah seorang usahawan. Ternyata orang ingin buka usaha tidak cukup mengandalkan skill bisa membuat suatu karya yang bagus. Musti ada manajemen keuangan, pemasaran, penjualan dan sebagainya. Banyak yang harus dipelajari,” tutur Teguh dengan senyum sumringah.

Pada tahun 1998 hingga 1999, Teguh mengalami masalah finansial dalam mengelola usahanya. Harta benda habis seluruhnya. Beruntung pada saat itu seorang temannya membantu untuk menyewakan sebuah kontrakan untuk Teguh dan keluarga. Dari keterpurukan itu, Teguh mulai belajar dari noluntuk bagaimana mengelola sebuah usaha yang baik. Di kala itu, kesulitan demi kesulitan terus memburu Teguh. Selain usahanya yang bermasalah, keluarga juga mengalami goyah. “ Pada saat peralihan itu, terjadi perubahan yang sangat drastis. Dari yang biasanya ada mobil anter ke sekolah, sekarang harus naik angkot. Yang biasanya bisa makan di KFC, sekarang harus berhemat. Kita ga punya apa-apa, bahkan telpon dan TV aja ga ada. Tentunya ada satu tekanan mental,” cerita Teguh.

Melihat kondisi yang tidak kondusif tersebut, membuat Teguh memikirkan dua buah cara untuk menyemangati istri dan anak-anaknya. Pertama, Teguh mengajak Eriyanti dan kedua anaknya untuk membuat sebuah prakarya. Kursi-kursi yang mereka miliki mereka hias dengan kulit telur sedemikian rupa. Hasilnya dipamerkan di pameran pasar festival. Ternyata hasil karya tersebut mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat yang datang berkunjung. Kebanyakan mereka yang datang ingin membeli kursi-kursi tersebut. Melihat hal tersebut, Eriyanti dan anak-anak menjadi lebih bangga. Pikiran mereka jadi lebih terbuka dan menyadari jika ternyata usaha yang dijalankan oleh Teguh memang memiliki nilai art yang tinggi dan profitable. Kedua, pada saat hasil pamerannya tersebar hingga ke masyarakat umum, banyak media elektronik maupun cetak yang datang meliput usaha yang dirintis oleh Teguh.”Melihat saya diliput oleh banyak media, mereka (Eriyanti dan kedua anaknya) pun ikut bertambah semangat dan menyadari jika ada satu hal yang tidak mereka dapatkan selama saya jadi konsultan,”kenang Teguh.

Sepanjang saat perintisan usaha kembali, anak-anak dan Teguh lebih banyak bertatap muka dan berkomunikasi. Setiap pagi sebelum anak-anak pergi beraktivitas, biasanya Teguh dan keluarga melakukan sarapan pagi bersama. Lalu pada malam harinya ketika selesai bekerja, anak-anak dan Teguh juga meluangkan waktu untuk berdiskusi membahas kegiatan apa saja yang telah mereka lakukan hari itu dan apa saja masalah mereka. Dengan rutinitas yang mulai tercipta, membuat Teguh menjadi lebih tenang, rileks dan bahagia karena impiannya yang selama ini ia impikan telah menjadi sebuah kenyataan.Keluarganya kini menjadi sebuah keluarga yang komunikatif.

Asosiasi Art Craft

Dalam bersosialisasi, Teguh selalu bercengkrama dan belajar kepada para seniman yang lain. Setiap minggu mereka berkumpul, membagi kisah mereka dan bersenda gurau menghilangkan kejenuhan. Di setiap pertemuan Teguh selalu mendengar sebuah pertanyaan yang menurutnya dapat dipecahkan jika para seniman ini bergabung atau bekerja sama.”Dari teman-teman setiap kita kumpul tidak ada suatu tindak lanjut. Banyak diantara mereka ada yang belum pernah pameran atau tidak tahu caranya untuk ikut pameran. Maka dari itu kita sepakat untuk membentuk sebuah asosiasi yang bernama Asosiasi Art Craft,” terang Teguh. Asosiasi Art Craft (AAC) ini berdiri pada tahun 2009. Dengan tujuan agar komunitas ini bisa saling membantu, berbagi informasi untuk bisa memasarkan produk-produk mereka masing-masing.

Selain itu, dengan adanya asosiasi ini, para seniman bisa saling memberikan input kepada produk-produk seniman yang lain dengan tujuan untuk menambah nilai jual produk mereka. Adapun acara yang dilakukan misalnya memberikan kegiatan workshop ke sekolah-sekolah. Dengan adanya workshop, para murid mendapat ilmu tentang kegiatan ekstrakulikuler yang baik dan para orang tua murid juga bisa lihat produk-produk yang kita pajangkan selama workshop.” Dengan ini kan masalah seniman yang tadinya tidak pernah ikut pameran dan tidak tahu cara ikut pameran bisa terpecahkan dan para murid juga mendapatkan suatu ilmu pengetahuan yang baru. Sehingga kedua belah pihak sama-sama diuntungkan,” terang Teguh yang kini bertindak sebagai penasihat di AAC.

Dalam AAC sendiri, setiap tahunnya harus berganti pemimpin. Dengan tujuan para seniman ini tidak hanya mendapatkan sebuah ilmu menjual tetapi juga seni ilmu kepemimpinan, bagaimana mereka memimpin sebuah komunitas menuju lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun