Jumat 14 Oktober 2011, rencananya pada hari ini saya akan meliput kegiatan serah terima kunci rumah warga Cilincing yang telah dibedah rumahnya dari yang semula sudah tidak layak huni menjadi rumah yang layak huni. Kegiatan ini adalah kerjasama antara sebuah yayasan sosial yang bekerjasama dengan beberapa instansi. Serah terima kunci kali ini merupakan yang ke-4 kalinya dilakukan, sedangkan banyaknya rumah yang akan diserahterimakan hari itu adalah sebanyak 9 rumah.
Mbok Sum
“Aduh, terima kasih banyak udah bikin gubuk saya jadi kaya rumah baru. Saya sudah tinggal di sini selama 30 tahun lebih,“ ujar Tin Suminah (63) yang akrab dipanggil dengan sebutan Mbok Sum ini. Mbok Sum adalah salah satu dari sembilan warga Cilincing yang masuk dalam Program Bebenah Kampung. Di masa tuanya sekarang, ia hanya dapat mengasuh cucu-cucu angkatnya saja, mengantarkan sekolah dan juga merawat mereka di rumah selama anak angkatnya pergi bekerja. ”Kalo dulu mah badan masih kenceng, mau kerja apa aja bisa. Kalo sekarang sudah tua, penyakit ada aja yang datang, mau keluar juga males,” tutur Sum sambil tertawa.
Kunjungan para relawan dalam kegiatan serah terima kunci rumah ini disambut dengan penuh bahagia oleh Mbok Sum. Sejak pukul 14.00 WIB, Mbok Sum telah menunggu kedatangan para relawan. Dengan senyum penuh bahagia, ia menyalami satu per satu relawan yang datang berkunjung. ”Ayo masuk ke dalam, di luar panas,” ajak Mbok Sum kepada para relawan yang telah tiba di rumahnya.
Dengan penuh antusias, Sum mengajak para relawan melihat rumahnya yang baru. “Sekarang ini, saya baru dapat merasakan bagaimana sih rasanya bahagia. Rumah sudah nggak ada nyamuknya lagi, paling satu atau dua. Kalau dulu mah, sedih dan susah tidak habis-habisnya saya rasakan. Rumah banjir terus sampe-sampe tetangga saya tanya udah dapat berapa banyak ikannya, Sum?” celoteh Sum sambil menunjukkan isi rumahnya kepada relawan.
Kenyang Dengan Kesusahan
Ketika Mbok Sum masih kecil, kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Ia hanya dirawat oleh nenek dan uwaknya (bibi) di Desa Bumiayu, Tegal Selatan. Mbok Sum tidak pernah mengenyam pendidikan yang layak sehingga ia tidak mengerti menulis dan membaca. Setiap harinya ia bekerja sebagai buruh tani, memanen padi di sawah. Pada usia 13 tahun, ia dinikahkan dengan seorang pria dari desa tetangga oleh nenek dan uwaknya. “Pas zaman itu, anak gadis umur 13 tahun sudah mesti nikah. Kalau sampe umur 17 tahun nikah mah dibilang udah perawan tua,” cerita Sum sambil tertawa terpingkal-pingkal. “Kalau di kampung jika mau jadi penganten, tangan kanan dah harus bisa menyentuh telinga melalui batok kepala,” ungkap Sum.
Dari pernikahannya ini, Mbok Sum memiliki satu orang putri. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, suami Sum meninggal dunia karena sakit. Demi mencari nafkah untuk putri semata wayangnya, Mbok Sum pun mencoba peruntungannya di Jakarta. Pada usianya yang ke-25, dengan mengumpulkan sisa-sisa gaji sebagai buruh tani, Mbok Sum dan saudara dari uwaknya pergi ke Jakarta. ”Namanya juga orang nggak punya. Kerja buruh tani motong di sawah orang, kalo dapet bagian saya jual buat ongkos naik kereta ke Jakarta,” jelas Mbok Sum.
Di Jakarta Sum bekerja sebagai penjual ikan di Kalibaru, Pengasinan, Jakarta Timur. Selama menjual ikan, ia bertemu dengan Wasman dan mereka pun saling jatuh cinta. ”Maklum mungkin udah jodoh. Waktu itu ketemu sama bapak pas mau nonton di bioskop, lama-lama kenal terus jadi,” kenang Mbok Sum sambil tersipu. Tidak lama kemudian, mereka pun menikah dan pindah ke rumah Wasman yang hanya berdindingkan bilik dan beratap genteng.
Selama menikah, Wasman yang bekerja sebagai nelayan memiliki penghasilan yang tidak menentu. Bila angin laut sedang baik, ia dapat menangkap banyak ikan. Tetapi bila angin laut tidak baik, maka ia tidak mendapatkan penghasilan pada hari itu. Untuk membantu suami, Mbok Sum mencobaberdagang dari berjualan bahan-bahan pangan hingga berjualan di depan rumahnya sekarang. ”Saya udah kenyang yang namanya berjualan. Dari sejak menikah usaha apa saja sudah saya coba,” tambahnya.
Kerasnya pekerjaan yang harus dilakukan dan pola hidup yang tidak sehat menyebabkan Wasman menderita penyakit komplikasi dan tidak dapat menafkahi keluarga. Wasman diajak berobat ke Puskesmas terdekat tapi karena faktor biaya maka tidak dapat menjalani pengobatan lebih lanjut dan hanya tinggal di rumah. Karena tidak adanya pengobatan, penyakit Wasman pun kian hari kian buruk. Hingga pada tahun 2001, Wasman meninggal dunia.
Mbok Sum yang ditinggal sendiri oleh Wasman merasa sedih. Beruntung dirinya memiliki seorang anak angkat yang ia asuh ketika Wasman masih hidup. Anak itu bernama Supiah, anak tetangganya yang menemani dirinya hingga sekarang. ”Sejak umur satu setengah tahun Supiah sudah saya asuh,” jelas Mbok Sum. Dari kecil hingga besar, Supiah telah diasuh oleh Mbok Sum dengan penuh kasih seperti anaknya sendiri. Hingga Supiah dewasa dan menikah dengan Yungsar yang berasal dari padang, Sum pun masih menjaga Supiah dan anak-anaknya.
Dikarenakan Supiah dan Yungsar setiap hari harus bekerja hingga malam, maka urusan mengasuh anak diserahkan kepada Sum. Tiap hari, Supiah memberikan uang kepada Sum untuk menjaga anak-anaknya. “Terkadang uang yang diberikan sisanya saya simpan untuk bayar listrik dan kebutuhan saya yang lain,” ungkap Sum.
Rumah yang Berubah
Bertambahnya tahun, jalanan di depan rumah Sum selalu mengalami peningkatan, hingga rumah yang ditempatinya lebih rendah daripada jalan. Melihat rumahnya yang telah bobrok, banyak orang yang berminat membelinya. “Dulu ada yang menawar 20 atau 25 juta, saya bilang jangan kalau ini (rumah) dijual saya mau tinggal di mana, saudara nggak punya. Kalau ngontrak saya takutnya kalo nggak sanggup bayar ntar di usir,” tutur Mbok Sum sambil menyeka matanya yang mulai sembab mengingat masa-masa kelam sebelum rumahnya dibedah.
Supiah yang tidak tega melihat Sum tinggal di rumah yang telah bobrok tersebut, langsung mengajukan permohonan untuk bedah rumah begitu mengetahui adanya kegiatan bedah rumah yang dilakukan oleh sebuah Yayasan sosial dari kelurahan setempat. “Supiah dan Yungsar yang pergi ke kelurahan buat ngajuin bedah rumah. Tiap hari dia kunjungin terus kelurahan sampe keluar izinnya,” jelas Sum.
Tepatnya pada tanggal 15 Juni 2011, rumah Mbok Sum pun mulai dibedah dan untuk sementara waktu Sum tinggal bersama Supiah selama tiga bulan lamanya. Pada pertengahan bulan September 2011, Mbok Sum mulai pindah ke rumah barunya. Ia merasa gembira karena di usianya yang telah senja, ia masih dapat merasakan sebuah rumah yang layak huni dan nyaman. ”Banyak orang yang nanya ini rumah siapa, saya bilang aja rumah saudara,” ujar Mbok Sum sambil bercanda.
Melihat kisah Mbok Sum, secara tidak langsung kita melihat bagaimana kisah seorang warga kurang mampu yang terpuruk karena kondisi fisik, ekonomi dan pendidikan yang kurang memadai membuat dirinya makin tersisihkan dari apa yang dinamakan kenyamanan dan kehangatan sebuah rumah. Semoga dengan adanya kepedulian kita ataupun pemerintah, diharapkan tidak ada lagi Mbok Sum lain yang harus tersisih dari kehidupan yang layakdan nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H