Di tengah penolakkan masyarakat sipil yang begitu masif, Presiden Jokowi Dodo menandatangani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja pada 2 November 2020.Â
Undang-undang ini merupakan salah satu bagian dari omnibus law yang dijadikan dalam satu kesatuuan agar dapat mempangkas dan mempermudah regulasi. Hal ini kemudian menyebabkan timbulnya kekhawatiran masyarakat kepada lembaga legislator sebagai pembuat Undang-Undang.Â
Pergolakan dalam dunia perpolitikan khususnya terkait dengan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap masyarakat tidak mewakili kepentingan rakyat, tetapi mewakili kepentingan-kepentingan individu dan kelompok kolektif. Hal ini yang kembali mewarnai pergolakan dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia. Dalam proses penetapannya terdapat 2 fraksi yang menolak secara tegas mengenai pengesahan RUU Cipta Kerja.Â
Partai Demokrat merupakan salah satu dari dua fraksi yang secara tegas menolak draft Undang-Undang tersebut, bahkan di dalam proses pengesahan draft Undang-Undang fraksi Demokrat menyatakan walk out dari ruang rapat karena tidak diberikan kesempatan dalam menyampaikan aspirasi.Â
Selain itu, Partai keadilan Sejahtera (PKS) juga dengan tegas menyatakan menolak pengesahan Undang-Undang tersebut karena dianggap lebih cenderung merugikan masyarakat, terutama masyarkat kalangan menegah kebawah. PKS juga menyoroti bahwa RUU Cipta Kerja masih membuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum Indonesia.Â
Ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing. Kedua fraksi tersebut dengan tegas mengatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya mewakili masyarakat malah mewakili kepentingan individu dan golongan tertentu.
Selain itu, terdapat 7 fraksi yang menyatakan akan mendukung proses pengesahan RUU Cipta kerja untuk dibawah ke dalam rapat paripurna. 7 fraksi tersebut ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, Partai Golkar, Pertai Kebanagkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).Â
Dengan perbandingan yang tidak seimbangan antara fraksi menolak dan menerima. Oleh karena itu, DPR akan membawa Draft RUU Cipta Kerja Kedalam rapat paripurna yang akan diadakan pada tanggal 8 Agustus 2020.
Namun, nyatanya rapat paripurna diadakan lebih cepat dari penetapan tanggal yang telah disetujui sebelumnya sehingga hal ini kembali mengundang kecurigaan publik. Selain itu, RUU Cipta Kerja juga dianggap tidak memiliki urgensi dalam proses pengesahannya.Â
Pembahasan RUU ini juga dianggap cacat prosedur, sebab tidak banyak melibatkan banyak pemangku kebijakan sehingga pembahasannya dianggap tidak akuntabel dan transparan.Â
Pembahasan UU Cipta Kerja tidak banyak melibatkan masyarakat sebagai praktisi UU tersebut, walaupun DPR menegaskan telah mengundang kelompok masyarakat dalam pembahasan, tetapi nyatanya kembali muncul pertanyaan mengenai masyarakat mana yang di undang oleh DPR.Â