Sistem pemerintahan yang berorientasi pada demokrasi menuntut negara untuk lebih mengembangkan lembaga struktural dalam memenuhi mandat demokrasi yang bersifat partisipatif dan representatif. Lembaga representatif masyarakat dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dihadapkan kepada kompleksitas kepentingan.Â
Dalam memainkan peranannya sebagai lembaga representatif, DPR mempunyai instrumen utama yang menyokong dalam proses kaderisasi atau rekrutmen sebagai proses regenerasi politisi.Â
Menurut Miriam Budiarjo (2007) dalam buku dasar-dasar ilmu politik, partai politik memiliki empat fungsi dalam negara demokratis yaitu, partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik, dan pengatur konflik. Sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berperan sebagai komunikator politik dalam mengakomodir aspirasi masyarakat. Sebagai sarana sosialisasi, partai politik berperan dalam menyampaikan budaya politik.Â
Selain itu, fungsi sosialisasi partai politik sebagai upaya menciptakan citra dengan dasar memperjuangkan kepentingan umum. Sebagai sarana rekruitmen politik, partai politik berperan dalam menciptakan kaderisasi partai dengan tujuan utamanya untuk mengarahkan kepada kontestasi pemilihan umum. sebagai sarana pengatur konflik, partai politik berperan sebagai negosiator dalam meluruskan konflik yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Keberagaman Partai politik yang berfungsi sebagai fasilitator masyarakat akan semakin menunjukkan identitas sebuah negara sebagai negara demokratis.
Pada awal kemerdekaan dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang berdasarkan pada sistem pemerintahan parlementer mendorong perizinan pendirian partai politik.Â
Perizinan partai politik mendapat respon baik dari berbagai kalangan, terkhususnya kalangan umat islam. Kesempatan ini dimanfaatkan baik oleh para tokoh islam dalam mendirikan partai berbasis ideologi keislaman. Dengan adanya dukungan organisasi islam yang sudah berdiri sejak penjajahan Belanda, seperti NU dan Muhammadiyah. Partai Masyumi menjadi satu-satunya partai yang berasaskan pada islam yang lahir pada awal kemerdekaan (Siregar, 2013).Â
Masyumi pada masa pendudukan Jepang merupakan satu-satunya organisasi yang mendapat izin dari rezim jepang untuk mengadakan kegiatan sosial. Hal ini yang menyebabkan Masyumi muncul sebagai partai yang besar pada awal revolusi (Miriam Budiarjo, 2007).Â
Terbentuknya Masyumi memberikan harapan besar bagi kelompok islam untuk memanfaatkan momentum yang ada untuk menjadikan syariat islam sebagai rujukan hukum tertinggi Indonesia.Â
Oleh karena itu, ajaran dan hukum islam menjadi objek utama yang harus diimplementasikan dalam kehidupan perseorangan, bermasyarakat dan bernegara (Noor, 2016). Kegagalan kelompok islam dalam menjadikan islam sebagai dasar negara membuat kelompok islam kembali mempersiapkan Masyumi sebagai kendaraan politik baru untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara islam.Â
Partai Masyumi memiliki karakter populis yang terlihat pada visi pembangunan yang mencakup keprihatinan terhadap ketidakadilan sosial yang dipicu oleh hasrat untuk mempromosikan kepentingan kaum termarjinalkan yang diasosiasikan dengan umat islam (Argenti, 2020). Populisme dalam perspektif islam muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap elit negara yang dianggap tidak representatif dalam menjalankan kebijakan sesuai dengan kehendak masyarakat islam.
Keutuhan Masyumi sebagai satu-satunya wadah aspirasi dan perjuangan umat islam Indonesia dalam perkembangannya kemudian ternyata tidak dapat dipertahankan (Argenti, 2020). Satu persatu pendukung mulai menarik dukungan terhadap Masyumi dan mulai mendirikan partai politik secara independen.Â
Pada bulan Juli 1947, PSII menarik dukungan dari Masyumi yang didasarkan karena faktor peluang mendapat kekuasaan. Jejak PSII kemudian beranjak diikuti oleh NU, pada tahun 1952 dengan mendeklarasikan keluar dari Masyumi. Deklarasi NU didasarkan kurangnya terakomodasinya keinginan dan kepentingan NU dalam Masyumi. Selain itu, kedudukan NU dalam Masyumi sudah tidak begitu penting dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan partai (Siregar, 2013).Â
Setelah berdiri secara independen, NU melibatkan diri sebagai salah satu kontestan pada pemilu 1955. Peristiwa ini berdampak buruk terhadap proses politik Masyumi, karena NU merupakan organisasi besar yang memiliki dukungan besar, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Argenti, 2020). Pemilu pertama yang diadakan pada tahun 1955, untuk memilih wakil rakyat di DPR dan Konstituante.Â
Pemilihan calon anggota legislatif dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955, sedangkan pemilihan konstituante dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu 1955 diikuti oleh empat partai besar yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai Masyumi Berhasil memperoleh suara terbanyak kedua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal ini disebabkan karena berkurangnya dukungan Masyumi setelah PSII dan NU menarik diri.
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959, Indonesia mengalami pergantian sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial. Perubahan situasi politik menyebabkan meningkatnya suhu politik pada awal demokrasi terpimpin, khususnya dalam Masyumi. Pengurangan drastis anggota Masyumi terjadi sejak meletusnya peristiwa Pusat Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI). Meningkatnya aktivitas PPRI berdampak buruk terhadap kelangsungan politik Masyumi.Â
Bahkan dikeluarkannya Perppu/KASAD No. Prt/Peperpu/028/1958 tertanggal 5 September tentang larangan adanya organisasi Partai Masyumi, Parkindo, PSI dan IPKI di daerah-daerah Tapanuli, Sumatra Barat, Riau Daratan serta Sulawesi Utara dan Tengah (Siregar, 2013). Keberadaan anggota Masyumi semakin tersudut dan hilang kendali, sampai pada akhirnya pada tahun 1960 dengan resmi Partai Masyumi membubarkan diri. Setelah resmi dibubarkan Masyumi kehilangan pegangan pada masa Orde Baru.Â
Berakhirnya Demokrasi Terpimpin, sejak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 yang menjadi dasar peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama (Soekarno) kepada penguasa pemerintah orde baru (Soeharto). Pada masa Orde Baru partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa.Â
Akan tetapi, sesudah diadakan pemilu 1971, dimana Golkar menjadi pemenang pertama dengan disusul oleh tiga partai besar NU, Parmusi dan PNI, agaknya partai-partai harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision-making process untuk sementara akan tetap terbatas (Hidayat, 1998). Pada masa ini peranan partai politik dimarjinalkan dan ideologi selain pancasila ditabukan, terutama ideologi yang bersifat keagamaan.
Setelah Rezim Orde Baru runtuh, pada masa transisi reformasi para Ulama yang tergabung dalam wadah Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) mencita-citakan adanya sebuah partai islam yang menjadi penerus perjuangan Masyumi. Untuk meningkatkan peran FUI dalam menyuarakan kepentingan rakyat, maka dibentuk Badan Koordinator Umat Islam (BKUI).Â
Tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung dalam FUI dan BKUI merupakan mantan aktivis Masyumi dan kemudian mendeklarasikan berdirinya Partai Bulan dan Bintang pada 17 Juli 1998. Awal pendiriannya PBB akan dinamai Masyumi karena dianggap sebagai penerus perjuangan Masyumi, tetapi PBB menolak dianggap sebagai reinkarnasi Masyumi karena hubungan PBB dan Masyumi hanyalah sebatas menimba Inspirasi (Rohmah, 2010). Kehadiran Masyumi sebagai partai politik berbasis islam pertama di indonesia banyak memberikan inspirasi terhadap perkembangan pendirian partai berdasarkan ideologi keagamaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Alidar, E. (2017). Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1997). Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana Dan Politik Hukum, 1(2), 88--107. https://doi.org/10.22373/legitimasi.v1i2.1429
Argenti, G. (2020). Ideologisasi Partai Islam Masyumi di Indonesia. Politikom Indonesiana, 5(July).
Hidayat, A. (1998). Perkembangan Partai politik Pada Masa Orde Baru (1966-1998). 155--164.
Miriam Budiarjo. (2007). Dasar-Dasar Ilmu Politik (P. Lubis (ed.)). PT. Gramedia Pustaka Utama.
Noor, F. (2016). Islamic party and pluralism: The view and attitude of masyumi towards pluralism in politics (1945-1960). Al-Jami'ah, 54(2), 273--310. https://doi.org/10.14421/ajis.2016.542.273-310
Rohmah, Z. (2010). Partai Bulan Bintang (PBB) di Indonesia Ideologi dan Perjuangan Politik Pasca Orde Barru 1998-2004.
Siregar, I. F. (2013). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Partai Masyumi (1945-1960). 14, 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H