Pada bulan Juli 1947, PSII menarik dukungan dari Masyumi yang didasarkan karena faktor peluang mendapat kekuasaan. Jejak PSII kemudian beranjak diikuti oleh NU, pada tahun 1952 dengan mendeklarasikan keluar dari Masyumi. Deklarasi NU didasarkan kurangnya terakomodasinya keinginan dan kepentingan NU dalam Masyumi. Selain itu, kedudukan NU dalam Masyumi sudah tidak begitu penting dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan partai (Siregar, 2013).Â
Setelah berdiri secara independen, NU melibatkan diri sebagai salah satu kontestan pada pemilu 1955. Peristiwa ini berdampak buruk terhadap proses politik Masyumi, karena NU merupakan organisasi besar yang memiliki dukungan besar, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Argenti, 2020). Pemilu pertama yang diadakan pada tahun 1955, untuk memilih wakil rakyat di DPR dan Konstituante.Â
Pemilihan calon anggota legislatif dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955, sedangkan pemilihan konstituante dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu 1955 diikuti oleh empat partai besar yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai Masyumi Berhasil memperoleh suara terbanyak kedua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal ini disebabkan karena berkurangnya dukungan Masyumi setelah PSII dan NU menarik diri.
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959, Indonesia mengalami pergantian sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial. Perubahan situasi politik menyebabkan meningkatnya suhu politik pada awal demokrasi terpimpin, khususnya dalam Masyumi. Pengurangan drastis anggota Masyumi terjadi sejak meletusnya peristiwa Pusat Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI). Meningkatnya aktivitas PPRI berdampak buruk terhadap kelangsungan politik Masyumi.Â
Bahkan dikeluarkannya Perppu/KASAD No. Prt/Peperpu/028/1958 tertanggal 5 September tentang larangan adanya organisasi Partai Masyumi, Parkindo, PSI dan IPKI di daerah-daerah Tapanuli, Sumatra Barat, Riau Daratan serta Sulawesi Utara dan Tengah (Siregar, 2013). Keberadaan anggota Masyumi semakin tersudut dan hilang kendali, sampai pada akhirnya pada tahun 1960 dengan resmi Partai Masyumi membubarkan diri. Setelah resmi dibubarkan Masyumi kehilangan pegangan pada masa Orde Baru.Â
Berakhirnya Demokrasi Terpimpin, sejak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 yang menjadi dasar peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama (Soekarno) kepada penguasa pemerintah orde baru (Soeharto). Pada masa Orde Baru partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa.Â
Akan tetapi, sesudah diadakan pemilu 1971, dimana Golkar menjadi pemenang pertama dengan disusul oleh tiga partai besar NU, Parmusi dan PNI, agaknya partai-partai harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision-making process untuk sementara akan tetap terbatas (Hidayat, 1998). Pada masa ini peranan partai politik dimarjinalkan dan ideologi selain pancasila ditabukan, terutama ideologi yang bersifat keagamaan.
Setelah Rezim Orde Baru runtuh, pada masa transisi reformasi para Ulama yang tergabung dalam wadah Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) mencita-citakan adanya sebuah partai islam yang menjadi penerus perjuangan Masyumi. Untuk meningkatkan peran FUI dalam menyuarakan kepentingan rakyat, maka dibentuk Badan Koordinator Umat Islam (BKUI).Â
Tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung dalam FUI dan BKUI merupakan mantan aktivis Masyumi dan kemudian mendeklarasikan berdirinya Partai Bulan dan Bintang pada 17 Juli 1998. Awal pendiriannya PBB akan dinamai Masyumi karena dianggap sebagai penerus perjuangan Masyumi, tetapi PBB menolak dianggap sebagai reinkarnasi Masyumi karena hubungan PBB dan Masyumi hanyalah sebatas menimba Inspirasi (Rohmah, 2010). Kehadiran Masyumi sebagai partai politik berbasis islam pertama di indonesia banyak memberikan inspirasi terhadap perkembangan pendirian partai berdasarkan ideologi keagamaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Alidar, E. (2017). Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1997). Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana Dan Politik Hukum, 1(2), 88--107. https://doi.org/10.22373/legitimasi.v1i2.1429