Mohon tunggu...
Teddy
Teddy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Departemen Politik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peranan Lembaga Non Struktural dan Masyarakat Sipil dalam Desentralisasi

5 Juli 2021   09:21 Diperbarui: 6 Juli 2021   00:02 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desentralisasi sering dianggap sebagai suatu produk terbaik dalam mewujudkan tatanan pemerintahan yang mengarah kepada good governance dan demokratis. Bank dunia mencatat bahwa desentralisasi sering tercipta pada periode pergolakan politik dan ekonomi, seperti jatuhnya sebuah rezim otoriter, krisis ekonomi, dan perebutan kekuasaan kelompok kepentingan. 

Sejak jatuhnya rezim otoriter Soeharto 1998, sistem pemerintahan yang sentralistik dialihkan menjadi desentralisasi yang merupakan salah satu tuntutan dalam reformasi. Sistem sentralisasi yang ada menjadikan hubungan yang tidak harmonis antara pusat dan daerah. 

Permasalahan daerah tidak dapat sepihak diputuskan oleh pusat dengan kebijakan dan regulasi yang ada, melainkan harus memperhatikan kompleksitas keberagaman yang ada di tiap daerah. Oleh karena itu, desentralisasi sebagai implementasi kebijakan reformasi menuntut perubahan mendasar dari sistem dan praktik administrasi terpusat yang memandang hierarkis secara terpusat. Desentralisasi lebih bersifat fungsional, yang dimana pemerintah berusaha untuk lebih responsif terhadap kebutuhan lokal dengan menempatkan dan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. 

Kebijakan desentralisasi di Indonesia dirancang sebagai bentuk respon terhadap disintegrasi nasional yang terjadi. Karena hal ini formulasi kebijakannya dianggap agak politisi (Hudalah et al., 2014. 

Unsur radikal dari kebijakan tersebut adalah pengalihan kewenangan antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah dilakukan kebanyakan tanpa melalui perantara instansi pemerintahan provinsi. Pemerintah pusat percaya bahwa sentimen separatis akan melemah atau mudah dikendalikan apabila ada kepercayaan pusat kepada daerah berupa transfer kekuasaan. 

Cara berpikir pragmatisme politik seperti ini hanya akan menyisakan atau memberikan sedikit ruang untuk membangun pengaturan kelembagaan yang kuat pada tingkat subnasional, tetapi kesenjangan yang ada pada tingkat regional telah berhasil menciptakan proses egoisme lokal berupa fragmentasi regional dan elit lokal. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak dibarengi dengan penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem pemerintahan lokal. Oleh karena itu tulisan ini coba memberikan pemahaman baru mengenai peranan lembaga non struktural dan masyarakat sipil dalam konsolidasi desentralisasi demokrasi. 

Penguatan pengelolaan pemerintahan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat dapat dilakukan dengan penguatan pada peranan lembaga non struktural yang berada pada tingkat lokal. 

Pembentukan kebijakan dapat dilakukan dengan memadukan kelembagaan hibrida yang berunsur NGO dan Government Organisation menjadi sebuah solusi dalam menutupi blind spot yang selama ini kerap hadir dalam kelembagaan konvensional yang tidak dapat terselesaikan yang berkaitan dengan inefisiensi dan inefektivitas pengelolaan. 

Pembentukan kelembagaan pada tingkat lokal merupakan wujud eksperimentasi desentralisasi secara fungsional yang dilakukan Pemerintah Daerah. Dalam proses praktiknya, lembaga non struktural merupakan salah satu model reinventing government dalam pelayanan publik (Saputra, 2018). Menurut Dimas (2018), membagi 5 peranan kelembagaan non struktural dalam mencapai tugas dan fungsi dalam pemerintahan lokal. 

Pertama, People to people relationship adanya hubungan personal yang baik antarindividu dalam internal dan eksternal terhadap stakeholder terkait. Kedua, informal Communication for Effectiveness berkaitan dengan sosialisasi dan advokasi yang berbasis pada kultur dan pertimbangan sektoral dalam masyarakat serta melepaskan aspek formalitas. 

Ketiga, Accelerating Public Participation, ditandai dengan meningkatnya rasa kesukarelawanan dan kepeduliaan dari rasa ingin berkontribusi terhadap pembangunan lokal. Keempat, Updating Policy Problem, adanya bentuk sikap asertif terhadap berbagai bentuk kebijakan pemerintah lokal yang dianggap tidak solutif dan lemah dalam pengimplementasian. Terakhir, Specific Expertise, hadirnya para ahli yang berperan aktif dalam penanganan masalah-masalah spesifik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun