[caption id="attachment_328938" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Sebenarnya, saya mau memberi judul artikel ini "Jakartanisasi Pertelevisian di Indonesia". Tapi, setelah melihat kondisi dunia pertelevisian di kota kelahiran saya, Kota Bandung, akhirnya saya memutuskan untuk mengganti judul artikel ini seperti yang dapat anda lihat di atas.
Kota Bandung, kota yang berada di sebelah tenggara Kota Jakarta, ibu kota negara kita, terkenal sebagai kota kreatif, kota pusat belanja, kota pusat kuliner, dan lain-lain yang terlalu panjang jika saya jelaskan di sini. Tak ayal, banyak wisatawan sering datang ke kota ini. Mayoritas wisatawan tersebut berasal dari Jakarta, terlihat dari mobil-mobil plat B yang sering memenuhi jalan-jalan Kota Bandung (walaupun bisa saja mobil-mobil plat B tersebut dari daerah sekitar Jakarta atau Jabodetabek). Nah, agar terasa "feels like home" wisatawan ini perlu mendapat hiburan dari tempat asalnya. Namun, saya tidak akan membahas pariwisata di Bandung, karena bukan di sini tempatnya. Yang akan saya bahas adalah perkembangan pertelevisian di Kota Bandung.
Seiring perkembangan zaman, pertelevisian di Kota Bandung semakin berkembang. Dimulai dari dibukanya TVRI Stasiun Bandung pada tahun 1987 (tahun ini berusia 27 tahun) di saluran 6 VHF. Lalu stasiun-stasiun TV nasional mulai bermunculan, seperti RCTI, SCTV, dsb. Hingga pada tahun 2005, akhirnya stasiun TV lokal swasta pertama dan kedua di Kota Bandung hadir, yaitu Bandung TV dan STV Bandung (sekarang KompasTV Jawa Barat). Dan semenjak itu bermunculan stasiun-stasiun TV lokal lainnya hingga jatah frekuensi UHF di Kota Bandung habis. Stasiun TV lokal yang terakhir mendapat jatah frekuensi UHF di Kota Bandung adalah I Channel dan Garuda Vision.
Namun saya agak miris melihat perkembangan pertelevisian di Kota Bandung saat ini? Mengapa? Yang jelas bukan karena kualitas program TV-TV nasional yang sedang "sakit". Namun, karena semakin terasa nuansa "Jakartanisasi" dalam dunia pertelevisian di Bandung. Dengan embel-embel "stasiun televisi berjaringan", stasiun TV lokal di Kota Bandung perlahan-lahan mulai luluh dengan "lamaran" dari stasiun TV nasional berjaringan.
Hal ini mulai terlihat mulai masuknya TV Anak Spacetoon di Kota Bandung. Lalu bergabungnya IMTV ke SUNTV Network (sekarang SindoTV) yang berada di bawah naungan MNC. Lalu CTChannel yang bergabung dengan jaringan B Channel, stasiun TV dari Jakarta. Ada lagi STV yang bergabung dengan KompasTV, bahkan rela mengganti namanya menjadi KompasTV Jawa Barat. Tak lupa juga O Channel, TV lokal dari Jakarta, yang tak mau kalah dengan B Channel untuk bersiaran di Bandung melalui Garuda Vision. Dan yang sedang hangat-hangatnya, hadirnya NET. di Kota Bandung melalui frekuensi yang pernah dimiliki oleh Spacetoon Bandung. Oh iya, kini ada lagi stasiun TV lokal BCTV, yang kadang merelay siaran CahayaTV Banten.
Dan, hampir induk jaringan televisi tersebut berpusat di Jakarta, iya Jakarta (kecuali CahayaTV yang berkedudukan di Banten). Entah mengapa pertelevisian di Kota Bandung ini semakin dijejali dengan konten siaran dari Jakarta. Padahal warga Kota Bandung sudah "dijejali" dengan konten siaran Jakarta dari TV-TV nasional.
Saya dapat menduga, saat Anda melihat awal-awal artikel ini saya seakan-akan kontra terhadap stasiun televisi berjaringan. Eitts, jangan langsung mengambil kesimpulan. Sekarang kita masuk ke inti bahasan.
Tak dapat dipungkiri, siaran televisi berjaringan memang sudah diamanatkan oleh undang-undang, tepatnya UU Penyiaran. Bahkan, saya dapat melihat dampak positif dari diadakannya siaran televisi berjaringan tersebut. Namun, yang saya garis bawahi dari artikel ini adalah sejauh mana stasiun TV berjaringan dapat mengangkat konten lokal di daerah selain ibukota dan cara mereka untuk mendapatkan izin siaran di daerah.
Pertama saya bahas cara mereka mendapat izin siaran di daerah non-ibukota. KompasTV, dan NET. termasuk stasiun TV yang bermasalah dengan izin siaran. Saat siaran percobaan KompasTV, STV menayangkan konten KompasTV selama 24 jam non stop, bahkan mengubah logonya. NET. yang secara tiba-tiba mengganti siaran Spacetoon dan hampir merubah total konten siaran Spacetoon. KPID Jabar saat itu meminta klarifikasi soal penggantian nama dan konten siaran itu. Untuk KompasTV (mungkin) sudah selesai masalahnya, tinggal NET. yang notabene pemain baru di pertelevisian Indonesia.
Kedua, tentang konten siaran lokalnya. Amanat UU Penyiaran yang mengharuskan stasiun TV berjaringan menayangkan 30% konten lokal sepertinya belum dipenuhi oleh hampir semua stasiun TV berjaringan yang ada di Indonesia (KompasTV, NET., SindoTV, B Channel, dan CahayaTV). Dan siaran lokalnya pun hanya ditayangkan di jam-jam yang kurang penontonnya (saat pagi, siang atau sore). Dan konten lokal yang ditampilkan pun tidak sepenuhnya lokal, karena hanya diisi dengan program-program yang hadir seminggu sekali. Tidak seperti siaran nasionalnya yang memuat program-program yang hadir setiap hari.
Stasiun TV lokal yang bergabung dengan jaringan TV nasional pun seharusnya "terangkat" namanya karena nama besar stasiun TV nasional berjaringan. Namun, yang terjadi di masyarakat, malah nama stasiun TV berjaringannya yang semakin tenar, bukan stasiun TV lokalnya. Hanya sekian orang saja yang masih ingat nama stasiun TV lokal anggota jaringannya tersebut.
Hingga kini, stasiun TV lokal di Kota Bandung yang masih "independen" adalah MQTV (TV lokal yang berada di bawah naungan ustadz AA Gym), dan I Channel. Stasiun TV lokal lainnya, Bandung TV dan PJTV, bisa dibilang juga anggota jaringan TV nasional juga, walaupun tidak merelai siaran TV nasional berjaringan seperti stasiun-stasiun TV lokal lainnya.
Jadi, bisa dibilang "Jakartanisasi" dalam dunia pertelevisian di Kota Bandung memang sudah tidak bisa dicegah. Yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat yang notabene adalah penonton, adalah menonton program-program yang berkualitas dan mendidik, baik itu dari stasiun TV nasional, TV nasional berjaringan, ataupun dari TV lokal. Selain itu, masyarakat Kota Bandung juga harus menjaga budaya lokalnya agar tidak tergerus oleh ombak-ombak budaya modern Jakarta yang datang melalui media TV.
Bisa dibilang, siaran televisi berjaringan mempunyain dampak positif dan dampak negatif. Semoga, stasiun TV lokal anggota jaringan TV nasional bisa memperkuat konten lokal mereka agar tidak terasa nuansa "Jakartanisasi".
Salam Pertelevisian Indonesia, Sampurasun...
Disclaimer: Saya merupakan pengamat televisi independen, tanpa terikat dengan stasiun TV mana pun. Artikel saya ini bukan untuk mendiskreditkan budaya dan orang Jakarta, namun artikel ini semata-mata mengingatkan masyarakat akan pentingnya media massa lokal untuk menjaga budaya lokal di daerahnya masing-masing. Artikel ini juga bisa dibilang cerminan bagi pertelevisian di daerah lain di Indonesia, tidak hanya di Kota Bandung saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H