Hal ini membuat stigma korupsi pada parpol begitu melekat di masyarakat karena banyaknya kader parpol yang terjerat korupsi. Kondisi ini membuat lemahnya fungsi representasi parpol sehingga parpol tidak mampu menjalankan mekanisme pengambilan keputusan serta kebijakan publik yang demokratis dan kredibel. Parpol pun semakin jauh jaraknya dan semakin minim mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Selain itu, rekrutment parpol juga belum sepenuhnya demokratis dan inklusif. Mekanisme fit and proper test cenderung pragmatis, transaksional, oligarkis, serta dinastik. Tendensi parpol lebih pragmatis dengan mementingkan vote getter (pendulang suara) yang hanya mengandalkan popularitas semata untuk meraih dukungan besar pemilih tanpa menyeleksi secara ketat kader yang memiliki kapabilitas dan kompetensi.
Melihat probelamtika ini, sudah sepatutnya harus ada upaya yang wajib dilakukan untuk membenahi parpol di Indonesia. Beberapa diantaranya yakni mengenai pendanaan.Â
Selama ini parpol dianggap lemah secara pendanaan sehingga sangat bergantung pada pemodal, menjadi tidak otonom, memunculkan politik transaksional, pragmatism, hingga melahirkan budaya korupsi politik. KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah mendukung pemerintah agar memberikan bantuan pendanaan 50% untuk memperkuat keuangan parpol. Jika parpol telah kuat secara keuangan, maka bisa lebih dituntut pertanggungjawaban akuntabilitas keuangannya.
Kemudian UU Pemilu juga harus mengatur secara rinci dan rigid mengenai mekanisme kandidasi. Hal ini agar dapat lebih menjamin para kandidat yang terpilih untuk duduk di parlemen maupun menjadi pemimpin di eksekutif merupakan orang yang layak serta memiliki kapabilitas maupun kompetensi dalam menjalankan tugasnya.Â
Selain UU Pemilu, UU Parpol juga perlu mendapat sorotan. Karena selama ini UU Parpol memiliki celah yang membuat parpol tidak mampu menjalankan nilai-nilai demokrasi dan fungsinya dengan ideal.Â
Salah satunya proses rekrutment yang diserahkan kepada AD ART parpol yang kadang tidak sejalan dengan kaidah demokrasi di negeri ini. Setiap parpol seringkali menggaungkan cita-cita memperjuangkan aspirasi rakyat namun setelah menang kepentingan oligarki lah yang berada terdepan dan akhirnya kepentingan rakyat terpinggirkan.
Parpol adalah alat bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sehingga tidak akan ada demokrasi tanpa hadirnya partai. Parpol juga sejatinya sangat dibutuhkan sebagai penghubung yang memiliki strategi dalam menghubungkan rakyat dengan kebijakan dan program pemerintah. Pemilu dan parpol dapat dibayangkan sebagai wahana sekaligus cara untuk memperoleh legitimasi dari rakyat. Mekanisme representasi rakyat melalui parpol dan penentuan hasil legitimate dalam Pemilu, adalah bayangan ideal tentang cara terdemokratis menjaring kehendak umum (volonte generale) dalam hal ini adalah rakyat.
Sangat disayangkan demokrasi ideal ini seringkali hanya menjadi imajinasi belaka karena tatanan ideal yang didambakan tak kunjung datang. Parpol yang diharapkan sebagai wadah menampung aspirasi rakyat, hanya menjadi kumpulan elite yang jauh dari rakyat dengan kumpulan skandal korupsi.Â
Padahal sudah seharusnya parpol menjadi representation of ideas atau cerminan dari perskripsi tentang negara  dan masyarakat yang dicita-citakan sehingga harus diperjuangkan. Oleh sebab itu, membenahi parpol sudah seyogianya menjadi hal krusial yang wajib direalisasikan. Karena apapun sistem Pemilu yang digunakan hendaknya ideologi, platform, visi dan misi haruslah menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan parpol sehingga parpol layak disebut sebagai wakil rakyat sesungguhnya.
For  people,  politics is not a matter of coalition or opposition, but how public policies change everyday life !