Indonesia akan segera menggelar pesta demokrasi akbar yakni Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Masih serupa Pemilu 2019, pada Pemilu 2024 Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden akan digelar secara bersamaan pada 14 Februari 2024. Menjelang kontestasi politik ini, muncul rencana untuk mengganti sistem Pemilu yang semula proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Pasca reformasi tepatnya semenjak UU No 12 Tahun 2003 disahkan, Indonesia menganut sistem Pemilu proporsional terbuka yang digunakan hingga hari ini. Sebelumnya pada era Orde Lama dan Orde Baru Indonesia menganut sistem Pemilu proporsional tertutup.Â
Adapun sistem proporsional tertutup yakni para pemilih hanya dapat memilih Partai Politik (Parpol) tertentu dimana nantinya parpol yang menentukan siapa saja kader yang akan menjadi wakil rakyat di parlemen. Sementara sistem proporsional terbuka ialah sistem yang dalam pelaksanaannya, para pemilih bisa secara langsung memilih Calon Legislatif (Caleg) pilihannya sehingga dapat menjadi wakil rakyat di parlemen.
Sistem proporsional terbuka yang digunakan saat ini akhirnya digugat oleh sejumlah orang yakni Demas Brian Wicaksono (Pengurus PDIP Cabang Banyuwangi), Fahrurrozi (Bacaleg 2024), Nono Marijono (warga Depok), Riyanto (warga Pekalongan), dan Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan). Mereka mengajukan permohonan uji materi  pada beberapa pasal UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur mengenai sistem pemilu proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan uji materi ini pada akhirnya ditolak oleh MK melalui putusan perkara No 114/PUU-XX/2022 dalam sidang pembacaan putusan yang dilaksanakan di Gedung MK, Jakarta (15/6), sehingga Pemilu 2024 akan tetap dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Hal ini memunculkan pertanyaan mengapa sistem Pemilu di Indonesia kerapkali ingin diganti? Tentu jawaban sederhananya adalah parpol sebagai pemegang saham mayoritas pejabat legislatif maupun eksekutif belum mampu memberikan kinerja yang berkualitas dan optimal untuk masyarakat.
Hal ini salah satunya dapat terlihat dari masih rendahnya kepercayaan publik terhadap parpol dan DPR. Survei Indikator Politik Indonesia pada tahun 2023 kembali merilis tingkat kepercayaan publik terhadap 9 lembaga negara.Â
Hasilnya adalah TNI mendapat kepercayaan publik tertinggi dengan 95,8% Â kemudian Presiden dengan 92,8% lalu Kejaksaan Agung 81,2% selanjutnya secara berurutan disusul oleh Polri 76,4%, KPK 75,4%, MPR 73,8%, DPD 73,3%, serta 2 terendah yakni DPR 68,5% dan parpol 65,3%.Â
Persoalan dalam penyelengaraan pemerintahan dan kebijakan seringkali disebabkan karena kurangnya sumber daya manusia kompeten yang duduk di parlemen. Sehingga apapun sistemnya entah itu terutup ataupun terbuka, tetap tidak akan berpengaruh selama sistem yang dibangun oleh parpol seperti rekrutment dan representasinya belum dilaksanakan dengan baik.
Parpol adalah institusi penting yang memiliki pengaruh besar di republik ini pasca reformasi 1998. Parpol juga memiliki peran strategis sebagai satu-satunya institusi yang berwenang mencalonkan para pemegang kekuasaan baik di ranah eksekutif maupun legislatif. Pengaruh parpol dalam membangun tata kelola pemerintahan sangatlah penting, mengingat tidak mungkin membangun pemerintahan yang baik tanpa didahului pengelolaan parpol yang baik.
Namun hari ini masih banyak parpol yang menghadapi berbagai tantangan dalam membangun pengelolaan yang baik. Penyebabnya antara lain yakni masih banyak parpol yang belum otonom sepenuhnya, masih terjebak dalam demokrasi elektoral, serta terjebak dalam lingkaran oligarki dan korupsi.Â