Mohon tunggu...
Teddy Sanjaya
Teddy Sanjaya Mohon Tunggu... Guru - Pecinta Kopi

Suka menulis apa saja yang penting di tulis. Pelajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka (Tersembunyi)

13 November 2023   09:19 Diperbarui: 13 November 2023   09:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, aku duduk sendiri di sudut kamar, merenung ke arah jendela yang terbuka. Langit senja membawa warna-warni yang memudar, mencerminkan keheningan hatiku. Ini adalah rumahku, tempat di mana aku tumbuh bersama orangtua yang pernah aku cintai begitu dalam.

Segalanya terlihat normal dari luar. Rumah ini penuh dengan tawa, senyum, dan kebahagiaan semu. Aku, seorang anak yang dulu dikenal sebagai anak yang bahagia. Namun, seperti setiap koin yang memiliki dua sisi, kebahagiaan itu hanya kulit tipis yang menyembunyikan kebenaran yang kelam.

Ketika aku memutar waktu ke belakang, mengenang kebahagiaan yang dulu pernah aku rasakan, aku merasa semakin terpukul oleh kebingungan. Masa kecilku, diisi dengan mainan dan canda tawa, adalah sandiwara indah yang kami bangun bersama. Namun, ternyata, di balik pintu tertutup, ada luka tersembunyi yang tak terlihat oleh mata orang lain.

Aku tumbuh dalam bayang-bayang rahasia kelam yang membelenggu keluargaku. Meski aku tersenyum di muka, tapi di dalam diriku, api kemarahan terus berkobar. Kebencian yang tumbuh begitu besar hingga menjerumuskan aku ke dalam jurang kegelapan.

Hari itu, saat rumahku dipenuhi dengan kebahagiaan palsu, aku tergelincir. Detak jantungku berubah menjadi alunan lagu yang tak menentu, membawa aku ke ujung keterpurukan. Dan di tengah kehancuran itu, aku melihat bayangan orangtuaku. Ada sesuatu dalam diriku yang berteriak meminta keadilan.

Tanpa sadar, tanganku sudah menggenggam erat benda ini, aku seperti ksatria yang akan mengakhiri perang. Air mataku bercampur dengan darah yang mengalir begitu deras. Aku berjalan dengan langkah gemetar ke arah mereka, orangtua yang begitu mencintai dan menyayangiku.

Waktu pun berputar mundur, memperlihatkan bagaimana perasaan kebahagiaan itu berubah menjadi rasa kecewa yang membara. Saat itu, aku merasakan kekuatan yang tak bisa kuduga muncul dari dalam diriku. Kebahagiaan mereka menjadi pisau tajam yang menusuk hatiku.

Mereka tidak pernah mengerti betapa beratnya beban yang kubawa, betapa rasa marah itu memaksa aku menyeret diriku ke dalam kegelapan. Ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari pertarungan batin yang lebih besar.

Saat ini, aku masih duduk di sudut kamar ini, berusaha memahami apa yang telah terjadi. Wajah-wajah mereka yang terbaring di lantai, senyum-senyum mereka yang telah membentuk kenangan indah, kini berubah menjadi bayang-bayang hitam yang menghantui.

Dan sekarang, dalam keheningan rumah ini yang dulu penuh tawa, aku sendiri mencoba mengurai benang kusut dalam diriku. Akankah ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus membayangi pikiranku? Atau akankah aku terus merenung di sudut kamar ini, terjebak dalam kenangan yang tak bisa terhapus?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun