Mohon tunggu...
Andi Tenripada
Andi Tenripada Mohon Tunggu... -

Warga biasa yang mencintai ketercerahan cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stop Konfrontasi dan Politisasi Kodrat (Respon terhadap Opini “Kontroversi Perempuan Pansel KPK")

27 Mei 2015   14:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:32 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERNAH mendengar anekdot lucu “kangaroo problem”?

Ceritanya : Ada fenomena menarik yang dilihat oleh seorang pengamat bahwa dari tahun ke tahun jumlah mahasiswa Indonesia yang datang ke Australia meningkat pesat. Lalu si pengamat membandingkan dengan tingkat kelahiran bayi kanguruyang juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan per tahun. Nah... pengamat itu kemudian menyimpulkanbahwa tingkat kelahiran bayi kanguru di Australia dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah mahasiswa Indonesia yang datang kesana”.

Anekdot itu kerapkali jadi bahan guyonan di kelas, saat kami menguraikan sebuah argumentasi asal caplok yang tidak punya basis data yang kuat, yang asal duga atau berangkat dari asumsi-asumsi saja. Nasihat dosen saya, Please use your common sense because your sense is not common!

Di Indonesia, term common sense memang biasa digunakan dalam pengertian yang sama dengan akal sehat. Namun dalam ranah filsafat, common sense merupakan salah satu teori epistemologi yang maknanya lebih luas dari sekedar term “akal sehat”. G. E Moore (1873-1958), salah seorang filsuf yang banyak membahas tentang epistemologi, memaknai common sense sebagai suatu kemampuan terpadu antara aktivitas penginderaan dengan aktivitas kesadaran tentang objek benda material secara langsung (Mintaredja, 2003). Kemampuan ini selanjutnya akan menghasilkan keyakinan yang sifatnya universal, sehingga dalam batas-batas tertentu common sense memiliki pengertian yang hampir sama dengan kesepakatan bersama tentang pendapat yang sifatnya umum (consensus of common opinion).

***

Bapak Samsul Wahidin, sungguh saya bukan orang yang suka mengurusi konflik-konflik “tidak perlu” atau katakanlah gila urusan. Saya hanya penikmat tulisan-tulisan saja, meskipun saya menekuni aktivitas sebagai mahasiswa pascasarjana manajemen saat ini tetapi sedapat mungkin saya tidak ingin terkungkung pada satu jenis bacaan saja meskipun saya sadari diri ini bukanlah seorang pembaca yang baik. Maka sebagai tanggung jawab dari bacaan saya dan juga tanggung jawab pengetahuan saya, maka saya harus punya keberanian merespon tulisan Bapak yang membicarakan kontradiksi namun juga penuh dengan kontradiksi.

Opini Bapak tentang Kontroversi Perempuan Pansel KPK yang dimuat pada laman Jawa Post (http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/17779/kontroversi-perempuan-pansel-kpk) telah di-share lebih dari 1000 kali di facebook sejak dimuat23 Mei 2015 lalu, begitu pun di lini twitter yang telah dikicaukan kurang lebih 200-an pengguna. Ketika seorang sahabat mengirimkan link tulisan tersebut di jejaring facebook saya hari ini, sekilas membaca judulnya saya menduga bahwa isinya adalah sebuah argumentasi kecendekiaan seorang Guru Besar Hukum Tata Negara. Mantap ini! Saya pikir cukup lama juga saya tidak mendapat referensi nama pakar hukum yang giat menulis di media selain bang Refly Harun, Bang Margarito Kamis atau Prof. Yusril Ihza Mahendra. Membaca pandangan setiap penulis tentu saja adalah bagian dari memuliakan sumber ilmu bukan? Apa lagi, jika yang menulis adalah mereka yang secara jenjang akademis telah paripurna pencapaiannya, track record-nya ditempa dengan publikasi artikel dan menghargai dirinya tidak di level “selebriti yang numpang lewat di media” tetapi minim karya.

Namun, jujur saja saya harus berulang-ulang membaca tulisan Bapak, berusaha memahami alurnya dan mengingatkan diri untuk “seobjektif” mungkin menilai (apalagi di awal tulisan Bapak sudah menyebut-nyebut tentang argumentasi yang kualitatif dan relatif, takutnya nanti saya menambah masalah meskipun terus terang menurut saya sangat “melecehkan” salah satu pendekatan metodologis dalam dunia akademis yang membesarkan kita).

Saya berpikir keras Pak, bukan karena ingin disebut sok serius tetapi sungguh saya menangkap banyak sekali kontradiksi di bangunan struktur Bapak. Saya bisa saja mengabaikannya, bahkan awalnya saya mengira ini opini intelejen (maaf... praduga itu mungkin efek terlalu sering baca teori-teori konspirasi kali’ Pak!) atau kalau meminjam istilah di marketing, saya mengiranya Bapak seorang Buzzer .

Maka sebagaimana yang saya pahami tentang cara memperoleh (mendekati) “kebenaran” yang tidak boleh sekedar rasa saja, atau rasio saja, atau indera saja maka saya dengan keterbatasan ini kemudian “berusaha” mengecek kembali.Tidak sulit mencari orang di era teknologi sekarang ini kan? dan saya berhasil menemukan jejak Bapak di dunia maya, bahwa ternyata Bapak adalah betul seorang pengajar tetap di Universitas Merdeka Malang (http://www.hukumunmer.com/profil-13-tenaga-dosen.html), pernah menjadi saksi ahli gugatan Gubernur Bali terhadap Bali Post (http://www.baliprov.go.id/Berita-Bohong-adalah-Perbuatan-Melawan-Hukum), dan memiliki dua tulisan bagus di laman https://lautanopini.wordpress.com/category/samsul-wahidin/ dan tulisan tentang kontroversi pansel KPK ini Bapak juga posting di http://www.koran.padek.co/read/detail/27361. Semuanya menunjukkan betapa Bapak adalah orang yang merawat pemikiran.

Namun, ada sebuah nasihat yang saya pikir masih bermanfaat untuk kita semua. Ini sering dipakai oleh teman-teman gerakan “Curigailah sesuatu hingga sesuatu itu tidak bisa lagi dicurigai”. Kita hidup dalam perdebatan yang sudah bias namun paling tidak kita punya posisi epistemik yang kita yakini. Maka dalam kerangka itu, perkenankan saya merespon secara kritis ulasan Bapak tentang kontroversi panitia seleksi KPK.

99% content tulisan Bapak berputar-putar di isu pantas tidak pantas perempuan dan superior laki-laki. Ah... hal yang biasa saya temui jika diskusi dengan mahasiswa yang baru mendapat kajian keperempuanan atau kajian feminis. Pada umumnya mereka akhirnya bisa mendudukkan secara proporsional, memahami bahwa gender adalah sebuah konstruk sosial budaya yang memang selama ini meminggirkan perempuan karena lemahnya, lembutnya, subjektifnya, sensitifnya, dan diskursus asal-usul penciptaan yang menempatkan perempuan sebagai subordinat/manusia kedua, dan ada pula yang disebut kodrat dimana kodrat ini adalah identitas seks laki-laki perempuan yang tidak dapat dipertukarkan/bawaan lahir misalnya perempuan memiliki payudara, rahim, vagina; lelaki memiliki jakung, penis dll yang karena kodrat memiliki rahim, maka perempuan bisa hamil-melahirkan. Disini nih biasanya mahasiswa-mahasiwa baru itu mempertukarkan beberapa konstruk gender dijadikan sebagai “Kodrat/bawaan”, misalnya persepsi bahwa kodrat perempuan itu pasti ujung-ujungnya di dapur, sumur, kasur.

Mari kita mencermati uraian Guru Besar ini:

Kebijakan itu seolah ’’menelanjurkan’’ bahwa lelaki tidak sesuai untuk duduk di posisi tersebut. Para agamawan yang reputasi moralitasnya tidak diragukan belum memenuhi syarat untuk duduk di pansel. Kebijakan itu juga bermakna percobaan. Bagaimana kalau seluruh anggota pansel adalah perempuan,tanpa laki-laki?Bukankah itu sejarah yang sangat penting sebagai buah kemenangan perempuan sebagai perwujudan kesetaraan gender?”

Pansel yang membentuk kepemimpinan KPK seharusnya terdiri atas kaum lelaki. Agak ganjil jika lelaki yang nanti menjalani seleksi berhadapan dengan perempuan yang kewenangan –yang bersumber pada biologis– dan geraknya lebih terbatas jika dibandingkan dengan lelaki.

Cenderung aneh pula, tidak ada seorang pun di antara sembilan peson itu yang laki-laki. Pada satu sisi, itu menjadi kemajuan penting dalam kaitan dengan bias gender. Tetapi, tentu itu bukan masalah dasar yang harus dijadikan pertimbangan. Objektif, bagaimanapun, akses dan orientasi perempuan tidak akan lebih kuat daripada laki-laki. Apalagi ketika yang dihadapi adalah permasalahan yang berkaitan dengan extraordinary crime.

Sebenarnya saya bertanya-tanya dalam hati apakah saya harus berdebat tentang perbedaan seks (laki-laki-perempuan) dan gender dengan seorang guru besar? Dengan segala hormat saya, Bapak berulang kali mengulang lelaki, perempuan, tetapi saya khawatir itu akan banyak melahirkan fallacy-fallacy dalam argumentasi selanjutnya. Bapak sepertinya terjebak pada ketidakmampuan memahami mana konsep seks mana gender difference dan mana gender inequality. Seorang ilmuan harus tepat dalam mendudukkan sebuah definisi, bahkan kalau perlu merunut akar kata karena kita sangat berhati-hati pada sebuah ukuran objektifitas. Jika di definisi saja kita tidak clear, maka selanjutnya pasti sangat bias dan kontradiktif. Alm. Mansour Faqih dalam bukunya “Analisis Gender dan Transformasi Sosial” pun mengutarakan hal yang sama, betapa banyak pembahasan tentang gender dan transformasi sosial hanya berujung pada debat kusir karena persoalan mendasar tentang definisi sangat kabur. Jika sepanjang argumentasi Bapak, perempuan dan laki-laki yang dimaksud menyerang identitas fisiknya dan mempertukarkan konsepsi kodrat, peran, kewajiban dan ruang maka wajar jika saya merespon dengan keras karena seperti itulah bangunan struktur patriarki yang selama ini dilawan karena mendefinisikan perempuan sebagai subordinat/manusia kedua, the others, yang kita tahu bersama turunannya di praktis sekacau apa (perempuan di kasur, sumur, dapur; perempuan ujung-ujungnya dapur; perempuan tidak bisa dilibatkan di rapat kampung, perempuan representasi penggoda, perempuan dari tulang rusuk pria jadi kalau tidak ada pria maka tidak ada wanita, dll).

Ok saya anggap persoalan definisi bisa clear. Untuk sekaliber seorang Guru besar, saya ingin fokus pada dua ini: tanggung jawab keilmuan dan tanggung jawab sosial!

Kita sama-sama dibesarkan di tradisi keilmuan yang cenderung positivistik. Sebagai seorang professor atau katakanlah seorang yang telah melalui degree of philosohy-nya, pernahkah Bapak berpikir bahwa pondasi filsafat kita ini telah lama dikritik dalam tradisi pemikiran. Hukum maupun ekonomi, sama-sama berangkat dari filsafat Barat yang kita kenal berkisar pada pengetahuan objektif, rasio universal, kodrat manusia berakal dan kehendak bebas yang rasional. Bagaimana tokoh-tokoh filsafat yang saya sebutkan ini : Plato, Aristoteles, Descartes, Hume, yang berfilsafat dengan keabsahan, kebenaran dan keseriusan berwajah laki-laki dan maskulin ternyata secara filosofis hingga aksiologis berkontribusi pada subordinasi perempuan yang “the others”. Plato dengan konsep manusia perempuannya yang sama dengan binatang dan tidak perlu berpendidikan. Aristoteles yang menempatkan laki-laki bebas (free males) sebagai satu kelas manusia yang harus hidup secara penuh dan melihat yang lainnya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Thomas Aquinasmenyatakan perempuan adalah defect male. Bukan ciptaan dari produksi pertama seperti halnya laki-laki, ataukah Nietzhe yang bersikeras bahwa perempuan memeiliki mentalitas budak. Oh... Sungguh, apakah Bapak pengagum keras mereka (tentu tidak salah) ? Tetapi, pernahkah Bapak membaca juga pemikiran Simone de Beauvoir, Firestone, Greer, atau Gadis Arivia, Dewi Candraningrum? Hidup di tradisi keilmuan, satu hal yang saya jaga yaitu “keterbukaan pemikiran”. Bisa jadi apa yang hari ini kita anggap benar, tetapi sekali lagi jika kelak dikemudian hari kita bertemu dengan pemikiraan, riset, yang berangkat dari olahan metodologi yang lebih baik maka kita hargai itu bukan? Termasuk saya respek dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Derrida dengan filsafat dekonstruksinya.

Bahwa memang betul perempuan selalu dilibatkan dalam pembahasan mitos, realitas dan emansipasi, tetapi saya pantas untuk terkejut jika bangunan argumentasi seorang Guru Besar (maaf) tidak jauh berbeda dengan diskusi mahasiswa-mahasiswa baru itu. Apa jadinya, masa depan pengetahuan tanpa menghormati filsafat feminis? tanpa en-gendering knowledge? Mungkin kita semua hari ini hanya akan mengenal satu pendekatan yaitu “hard power” (kualitas maskulin), padahal Pak! Sudah lewat diskusi tentang urgensi “soft power” (kualitas feminin)! sekarang sudah masuk era kolaborasi hard+soft power dalam diplomasi, kebijakan, pengambilan keputusan. Saya pikir geliat wacana keilmuan di hukum pun mengalami pengayaan model pendekatan. Masa kita ingin membedah sebuah kebijakan penentuan panitia seleksi dengan pendekatan mundur ke belakang sih, mendebat pantas tidaknya! Duuhhh....

****

Sebagai orang hukum, Bapak tentu paham bagaimana sejarah perjuangan hak politik rakyat, perempuan dan laki-laki di negara ini. Hak yang seharusnya dipenuhi, dilindungi, dan diperkuat di sebuah negara yang menganut demokrasi. Secara politis, perempuan Indonesia pada masa Orde Baru terpinggirkan oleh ideologi gender negara serta oleh kebijakan-kebijakan politis dan ekonomis. Ideologi ini digunakan untuk membenarkan pembedaan upah dimana pekerja perempuan menerima antara 60 persen dan 70 persen upah laki-laki karena dianggap bukan pencari nafkah utama keluarga. Selain itu, organisasi-organisasi perempuan diberdayakan sekedar melayani berbagai kepentingan penguasa. Melalui konsep “massa mengambang”, kebanyakan perempuan Indonesia (seperti halnya laki-laki) dihilangkan sepenuhnya dari politik, dan hanya terlibat sekali dalam lima tahun saat pemilu.

Di awal masa reformasi, wacana keterwakilan perempuan mulai bergeser dari isu akademik dalam seminar, diskusi dan isu gerakan di kalangan elit aktifis perempuan menjadi agenda kerja politik dengan berusaha untuk sensitif dan responsif gender? Mengapa? Karena sadar bahwa patriarki sangat kuat mendistorsi nilai-nilai universal selama ini, termasuk mendistorsi ajaran dalam kitab-kitab agama. Melalui gerakan – gerakan untuk kepentingan perempuan, maka affirmative actions mulai memperlihatkan wujudnya.

Masih teringat bagaimana di bulan September tahun lalu menjadi sebuah mometum dihilangkannya hak politik rakyat, perempuan dan laki-laki yang mengesahkan UU Pilkada diserahkan kepada DPRD . Dengan pengesahan itu, DPR telah menghilangkan ruang dan hak politik perempuan untuk akses langsung terhadap pengambilan keputusan. Akses yang selama ini terbatas bagi kami, justru dihilangkan.

Sebelumnya, sekelompok elit politik berhasil mengubah UU tentang MPR, DPD dan DPRDyang mengarah pada penguasaan parlemen. Perubahan undang-undang tersebut juga telah menghilangkan hak politik perempuan dengan menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan, salah satunya adalah penghapusan kuota 30 % keterwakilan perempuan di lembaga legislatif yang merupakan perjuangan affirmatif action, sebuah tindakan khusus koreksi dan kompensasi dari negara atas ketidakadilan gender terhadap perempuan agar mereka memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, politik, dll. Meski MK telah membatalkan hal tersebut, namun upaya – upaya seperti itu memperlihatkan sebuah perspektif yang tidak sensitif dan responsif gender.

Perempuan Indonesia telah memahami bagaimana isu perempuan dapat dijerat dan dimanipulasi aktor-aktor politik demi kepentingan mereka. Perempuan telah terlibat dalam pendidikan politik, pemberdayaan, memiliki karier, diakui secara profesional dan memiliki integritas yang baik namun argumentasi seorang Guru Besar yang sangat bias, jujur membuat saya “geram” bahwa yang seperti inilah struktur berpikir yang melanggengkan pengaruh budaya partriarki dan mendistorsi prinsip universal manusia sehingga menjadikan perempuan tersubordinasi dan terdiskriminasi dalam peran-peran publik. Uraian Bapak menegaskan bahwa struktur berpikir yang mendukung streotype, glass ceiling ternyata masih ada. Namun sayangnya, di tradisi akademik yang kita junjung ada baiknya Bapak melengkapinya dengan data sehingga tidak sekedar menjadi propaganda/agitasi saja.

Dimana pertanggungjawaban argumen ini:

Merekalah yang layak menduduki posisi pimpinan KPK. Kejahatan itu umumnya lebih banyak dilakukan kaum lelaki. Sebab, sebagian besar tempat strategis sebagai sumber perilaku korupsi diduduki lelaki. Jadi, keliru jika pansel yang akan memilih tokoh-tokoh itu bukan laki-laki.

Saya bisa saja bertepuk tangan, bahwa seorang Guru Besar membela perempuan yang selama ini selalu diidentikkan dengan sumber masalah atau seolah-olah perempuan adalah masalah. Bapak tahu? Teman-teman feminis kadang geram pada streotype perempuanlah yang menggoda laki-laki untuk korupsi. Tentang persoalan tempat strategis, jika konsisten bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa maka tentu saja itu tidak melihat tempat strategis atau tidak. Dia ada dimana-mana. Ini masalah pendekatan saja, bukankah kualitas feminin yang memiliki kemampuan dan kepekaan menyibak sesuatu, melihat masalah lebih mendalam, dan multitasking?

Dalam retorika, kesadaran masyarakat di Indonesia tentang emansipasi sudah cukup tinggi, tetapi dalam praktiknya masih sangat jauh. Ini cukup dapat dipahami bahwa untuk dapat mengubah hal yang sudah mendarah daging dan berakar, memerlukan waktu, proses yang pasti mengandung hal-hal pahit, menyakitkan, tetapi itulah yang disebut perjuangan. Sudah terlalu lama kemungkinan-kemungkinan perempuan memperoleh haknya secara kemanusiaan itu didebatkan, sekarang ketika ada momentum perempuan menjadi kekuatan progresif dalam pansel KPK jangan lagilah diserang “keperempuanannya”, lebih elegan jika bertarung konsep dan mengawalnya. Apalagi, dalam konteks peran publik menurut prinsip Islam, perempuan diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut. Dengan kata lain bahwa kedudukan perempuan dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, dengan tetap mengingatkan bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran! Sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati perempuan sebagai sebuah keniscayaan. Silahkan Bapak mengecek track record mereka masing-masing dengan prinsip kualitas, kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas. Menurut saya mengukur itu jauh lebih valid, objektif, rasional, dapat dianalisis, dan diterima dibanding kembali lagi ke pembahasan jenis kelamin.

Yang tak disadari banyak orang, sebenarnya emansipasi atau pembebasan wanita juga adalah pembebasan laki-laki, bahkan pembebasan seluruh masyarakat. Emansipasi yang sebenarnya sama sekali tidak anti laki-laki walaupun di Barat ada feminisme yang memakai cap demikian. Sebaliknya, emansipasi wanita justru mengajak laki-laki menciptakan masyarakat lebih egaliter, lebih baik dan lebih adil (Julia Suryakusuma,2012). Jadi sebaiknya sebuah perspektif tentang relasi (hubungan konstruktif laki-laki perempuan) harus lebih dikedepankan dibanding perspektif negasi bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan.

Tentang uraian ini: Pada konsep agama, pansel itu adalah pemimpin. Orang yang akan menjadi pimpinan KPK harus tunduk pada aturan pansel yang semua perempuan. Jadi, itu bertentangan dengan khitah agama dan moralitas sosial.

Saya cuma menyarankan, ilmuan menganut prinsip “keterbukaan”. Saya hargai bahwa ini adalah posisi epistemik Bapak, tetapi sangat tidak valid mengukur hormat dan tidak hormat, tunduk dan membangkang serta mengukur loyalitas hanya dengan satu perangkat instrumen saja yaitu jenis kelamin. Dunia riset yang saya tekuni di ilmu keperilakuan (behavioral) pun tidak sebias itu, di sisi metodologi jenis kelamin tidak dijadikan sebagai variabel utama melainkan hanya kontrol saja. Kalaupun dijadikan sebagai variabel moderasi (variabel yang dicurigai dapat memperlemah atau menguatkan hubungan), seorang peneliti harus berhati-hati pada instrumennya.

Tentang uraian ini: Pemilihan tersebut tentu berdasar mekanisme yang terukur serta terbuka dan dilakukan tokoh yang memang punya kredibilitas untuk mendudukkan para tokoh yang layak jadi pionir pemberantasan korupsi, dalam hal ini adalah pimpinan KPK. Tetapi, harus dipahami pula, pansel tidak sedang menyeleksi malaikat dan anggota pansel sendiri bukan malaikat. Semua adalah manusia yang tidak luput dari cela dan cacat.

Saya sepakat, tidak ada yang malaikat (bebas cacat) dan tidak ada yang mencari malaikat. Makanya di kajian ilmu manajemen kita setengah mati mengolah model pengawasan. Ada fungsi controlling, dan ini transparan. Maka tempatkan secara proporsional dan tepat konteks setiap argumentasinya.

Lanjutannya.... “Namun, dengan memilih seluruh anggota pansel perempuan, itu sudah merupakan cacat bawaan”. Kalau konteks keberatannya adalah komposisi, berurusan langsung dong dengan yang punya hak prerogatif. Dengan segala niat baik Bapak yang saya tangkap, namun sekali lagi Bapak telah memulai dengan argumentasi yang kurang tepat, bias dari awal.

Akuntabilitas yang tecermin dari profil yang secara sosial bisa diterima. Dan itu ada pada lelaki, bukan perempuan.

Silahkan browsing masukkan keyword PANITIA SELEKSI KPK, disana anda akan membaca respon positif dari publik yang menyorot profesionalisme dan track record, perbedaan jenis kelamin bukan sesuatu yang substansial.

Semoga ini juga dapat membantu:

Selanjutnya:

Tidak pandang tempat atau asal dari mana pimpinan KPK nanti dipilih. Yang paling mengetahui implementasi hal itu adalah lelaki. Mengartikulasikan hal tersebut bagi seorang perempuan cenderung menjadi fitnah.

“Tokoh pansel adalah orang yang mempunyai relasi terhadap permasalahan korupsi. Ibarat mengangkat mandor atau pengawas keamanan, hendaknya sosok itu diambil dari tokoh yang dekat dengan masalah keamanan atau orang yang punya hubungan atau relasi yang kuat dengan apa yang seharusnya dijaga. Jadi, ada hubungan emosional yang kuat antara pekerjaan dan personnya. Kalau tidak, mereka akan kehilangan jiwa dari pekerjaan yang dimaksud.

“Apakah bisa dijamin para tokoh perempuan yang kendati ’’hanya’’ menjadi pansel itu bisa memilih pimpinan KPK yang benar-benar teruji? Dari perspektif ini, pandangan terhadap korupsi tampak lebih pada penyimpangan administratif daripada bersifat extraordinary crime”.

Kecuali jika nanti dari hasil kinerja itu yang terpilih juga sama-sama perempuan. Pansel perempuan menghasilkan pimpinan KPK perempuan? Oh... God...

Ketika nanti harus dijabarkan dalam peraturan yang menjadi syarat, hal itu tidak akan bisa terakomodasi secara maksimal, apalagi memperkuat KPK. Ketuanya adalah ekonom, ahli keuangan, dan moneter. Dalam perspektif ini, yang menjadi masalah adalah pemberantasan korupsi yang memandang sebagai permasalahan ekonomi. Padahal, permasalahan korupsi merupakan dimensi hukum serta perilaku menyimpang secara psikologis.

Rusaknya dunia itu karena tiga ta: harta, takhta, dan wanita. Itu memang relatif, tetapi sampai sekarang belum terpatahkan. Jadi, bagaimana mungkin mengangkat perempuan sebagai key person dalam membentuk kepemimpinan KPK yang kuat, sedangkan wanita dalam perspektif ini menjadi sumber kerusakan

Bapak, saya seorang perempuan-saudara kandung saya perempuan semua. Gus Dur memiliki anak-anak perempuan semua, apakah identitas keperempuanan itu harus membuat saya tidak diakui sebagai manusia? apakah keperempuanan saya akhirnya membuat paparan saya ini tidak rasional, tidak objektif, tidak lugas, sentimentil? Hati-hati dengan stereotype Pak!

****

Respon tulisan ini pada akhirnya untuk menjadi pelajaran besar bagi kita semua bahwa jangan pernah berlindung di “bias gender dan kuatnya budaya patriarki” sehingga kita tidak mampu melihat pentingnya pembebasan perempuan. Jika persoalan seperti itu kita tidak merespon atau sensitif, maka bisa dipastikan kita “bermasalah” pula dalam melihat masalah sosial lainnya.

Berikut saya nukilkan sebuah pandangan dari buku “Gus Dur di Mata Perempuan”:

Jika kita ingin menempatkan seorang cendekiawan apakah ia seorang “cendekiawan pembebas” atau bukan, tengoklah pandangannya mengenai kedudukan perempuan. Mengapa? Karena perempuan adalah semacam titik masuk atau mungkin alas dari berbagai pemikiran mengenai pembebasan dan kemanusiaan.

Orang bisa saja cerdas, pandai, dan terkemuka, tetapi pemikirannya mengenai perempuan akan memeperlihatkan apa ia sungguh-sungguh cerdas, pandai, dan terkemuka. Jika ia menempatkan perempuan sebagai kelas dua di dalam masyarakat, memandangnya dengan sebelah mata dan bahkan mengandung aroma meremehkan, singkatnya segala bentuk ekspresi partriarki, maka apakah masih layak untuk dimuliakan?

***

Bapak Samsul Wahidin, Semoga kita menjadi sang pecinta ketercerahan cakrawala, yang dari ide kita tentang kebermaknaan hidup dan kemanusiaan mampu kita ramu turun ke praktis, Idealnya, Bapak memberi sebuah kontribusi besar terhadap perjuangan kemanusiaan di bidang hukum yang masih menyisakan banyak luka, getir dimana-mana (sekali lagi, pada perempuan). Coba tengok bagaimana perspektif hukum positif memandang perempuan pasca otonomi Aceh misalnya, atau bagaimana perlindungan negara terhadap kekerasan dan perdagangan manusia, dan masih banyak lagi Pak. Semoga kita bisa bertemu di ujung jalan yang sama karena kita bersepakat bahwa baik perempuan dan laki-laki punya kemampuan dan kontribusi yang besar terhadap gerakan pembangunan di negeri ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gus Dur bahwa perempuan bukan sebagai ‘bagian penting” dari ide pembebasan, tetapi justru “yang utama” dari ide pembebasan sekaligus pelaku penting kerja pembebasan itu sendiri. Sebagaimana yang dipidatokan oleh Soekarno “... Janganlah masyarakat lelaki mengira bahwa ia dapat maju subur kalau tidak dibarengi dengan kemajuan masyarakat perempuan”. Dengan alasan itu salah satunya, hingga saat ini saya masih merasa perlu “mengawal dengan baik” spirit Gus Dur, Soekarno dalam visi Jokowi, termasuk tentang Panitia Seleksi ini.

Maturnuwun,Salam Hangat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun