Mohon tunggu...
Tea For free
Tea For free Mohon Tunggu... -

i'm deadly in love with tea : t :

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak Tidak Selalu Hadir dari Rahim Sendiri

13 Mei 2010   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

lama saya tidak menulis. kangen.

akhir-akhir ini saya dan suami sedang berbenah hidup. setelah keuangan yang cukup morat marit di awal pernikahan kami ^^ dan puji tuhan, saat ini sudah mulai tertata. rumah sudah. mobil sudah. keuangan mulai membaik. halah. ini bukan pamer, beneran ! ^^ saat ini kami sedang merencanakan untuk punya baby. ya. apalagi? sebuah keluarga pasti memiliki keinginan untuk memiliki keturunan. kecuali satu dan dua keluarga yang memiliki pemikiran berbeda.

well, kami sedang merencanakan adopsi.

mengapa adopsi ?!? bukan karena saya, sebagai wanita, tidak mampu mengandung. ah entahlah. tumbuhnya janin dalam rahim adalah hak prerogativ tuhan untuk menghembuskan nyawa disana, bukan? sehebat apapun dokter yang belajar tentang onkologi dan obgyn-something, entahlah apa namanya istilah medis yang sangat asing buat saya ^^

bukan itu.

sejak saya pacaran, saya selalu menanyakan pasangan saya apakah dia bersedia mengadopsi anak apabila kami menikah nanti. tujuannya hanya satu : memberi kehidupan yang lebih baik bagi seorang anak. menurut saya, sehebat apapun sebuah panti menampung sekian banyak anak yang tak punya orang tua, atau memiliki orang tua tapi tak mampu menghidupinya, pastilah lebih baik seorang anak tumbuh dalam sebuah keluarga yang mencintainya.

kebetulan, pacar saya, lelaki yang saat ini menjadi suami saya, mendukung niat saya. dia juga bilang bahwa anak tidak selalu hadir dari rahim sendiri. ah, terima kasih mi, kamu selalu mendukung saya.

masalahnya adalah, kami tidak tau bagaimana prosedur mengadopsi anak yang sah, baik dan benar. baik buat semua pihak. pihak kami, pihak si anak (terutama) dan pihak keluarga si anak bila kondisinya dia memiliki keluarga yang tak mampu menghidupi. kami juga masih mempertimbangkan banyak hal, antara lain :


  1. apakah lebih baik mengadopsi sejak bayi, atau sudah cukup umur dimana dia sadar bahwa kami bukan orang tua biologisnya (mungkin sekitar usia 3-4 tahun)
  2. pertimbangan kami adalah kami memikirkan psikologisnya ketika dia mengetahui bahwa kami bukan orang tua biologisnya. yang ada dalam pemikiran kami adalah, mungkin keluarga dekat bisa menerimanya, tapi bagaimana memproteksi dia dari lingkungan yang masih "memandang sinis" terhadap anak yang tidak hadir dari rahim orangtua (biologisnya). >> saya jadi ingat seorang sahabat yang memiliki anak adopsi bayi, saat usianya 2tahun wajahnya sangat mirip / perpaduan dengan ayah ibunya. pada saat kami mengantar dia pulang rame-rame di satu mobil, salah satu teman yang tidak tau dia anak adopsi memuji kemiripan dia dengan orang tuanya, dan ada satu teman lain yang berkomentar : ah, dia itu kan anak adopsi -- sungguh, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membungkam mulutnya, hehehe dan saat itu terjadi perang mulut antara saya dengan si teman yang memandang sinis si anak adopsi.
  3. apakah lebih baik mengadopsi anak yang masih memiliki keluarga atau anak yang tidak memiliki keluarga sama sekali (tidak diketahui latar belakang keluarganya)
  4. kalau mengadopsi anak yang masih memiliki keluarga, apakah sebaiknya kami masih berhubungan dengan keluarganya, atau membuat kesepakatan hubungan terputus saat si anak menjadi anak adopsi kami secara sah.


sahabat, tolong kami. mungkin kalian punya info dimana kami bisa mendapat informasi yang jelas, mungkin link atau panti yang bagus yang  bisa kami hubungi ?

atau mungkin ada yang punya pengalaman dan bisa share dengan kami ?

terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun