Mohon tunggu...
T Cilik Pamungkas
T Cilik Pamungkas Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta budaya

Menyukai seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dugderan - Pengalaman Budaya di Kota Semarang

10 November 2022   16:58 Diperbarui: 10 November 2022   17:11 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu sehabis Ashar, sehari sebelum Ramadhan di tahun 1881, gelegar suara bersautan. "Dug dug dug," "der der der," suara bedug Masjid Besar Kauman yang ditabuh KRMT Purbaningrat disusul suara meriam yang disulut di depan pendapa kabupaten di Kanjengan.

Mendengar suara Dug Der, warga kemudian datang berbondong-bondong untuk menyaksikan apa yang terjadi. Masyarakat dari berbagai golongan (Tionghoa, Arab, Melayu, dan Jawa) berkumpul di alun-alun, lalu keluarlah Kanjeng Bupati dan Kyai Tafsir Anom dari Masjid Besar. Mulailah mereka menyampaikan pengumuman tentang penentuan awal bulan puasa, tidak lupa menyelipkan pesan untuk warga senantiasa meningkatkan kualitas ibadah, tali silaturahmi, dan persatuan. Tradisi Dugderan yang terus lestari hingga hari ini terdiri dari tiga agenda: (1) Pasar malam; (2) Pengumuman awal puasa; dan (3) kirab budaya Warak Ngendok.

Sebuah karya scanography ciptaan Angki Purbandono berjudul Dugderan menampilkan warak ngendog menggunakan berbagai media. Warak ngendog, yang juga merupakan ikon kota Semarang adalah binatang mitologi yang merepresentasikan persatuan tiga etnis mayoritas yang ada di Semarang. Secara akulturasi, kepala Warak Ngendog diambil dari kepala naga atau kilin yang merupakan mahluk terkuat di budaya Cina, sehingga ini mewakili suku Tionghoa yang ada di Semarang. Badan warak diambil dari badan buroq, hewan kendaraan Nabi Muhammad ketika melakukan Isra Miraj, ini mewakili suku Arab. Sementara kakinya diambil dari kaki kambing Jawa, mewakili suku Jawa. Nilai-nilai Islam/Ramadhan terkandung dalam bulu keriting seperti "pitik walik" disimbolkan sebagai pengembalian sifat buruk manusia menjadi fitrah setelah melakukan puasa. Gigi-gigi bertaring melambangkan sifat manusia yang serakah, penuh hawa nafsu, dan amarah yang harus ditahan selama bulan Ramadhan. Kemudian telur yang ada diantara kedua kaki belakang warak melambangkan pahala/fitrah dari berpuasa.

Para tamu Padma Hotel Semarang dapat menikmati karya seni tersebut melalui program art tour "Padma Mupakara." "Mupakara" Bahasa Sansekerta untuk merawat memelihara, yang berarti Padma berbagi kepada tamu tentang apa yang Padma rawat dan pelihara -- bukan hanya sebuah karya seni, namun juga nilai budaya di dalamnya.

Tidak berhenti sampai disitu, tamu anak-anak yang menginap di hotel ini sehari sebelum Ramadhan akan mendapat pengalaman tidak terlupakan: dengan kostum Dugderan dan properti Warak Ngendog yang telah disediakan, mereka dapat melakukan Parade Dugderan di Padma Hotel Semarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun