Tuan rumah Semarang bukan hanya orang Jawa, namun juga keturunan Tionghoa, Arab, dan India. Keragaman budaya ini bisa kita temui lewat Kota Lama Semarang yang terbagi dari kawasan bangunan lama kolonial yang dulu menjadi pusat pemerintahan Belanda, Pecinan - kawasan untuk etnis Tionghoa, Kauman - untuk etnis Arab, Pekojan - untuk etnis India Koja, dan Pesisir untuk orang-orang pribumi. Dari sinilah kemudian terbentuk akulturasi budaya yang unik, yang hanya ada di Semarang.
Kali ini, Jelajah Semarang #3 di Pecinan. Mungkin sudah banyak yang dengar tentang lumpia legendaris Gang Lombok ya, bagaimana dengan Kelenteng Tay Kak Sie, sudahkah Anda pergi kesana? Saya sangat suka dengan kelenteng ini, setiap kali berkunjung ke Semarang, selalu menyempatkan ke Tay Kak Sie. Bukan hanya merasakan ambience tempat ini atau makan lumpia di sampingnya, namun sepanjang pengalaman saya dengan Tay Kak Sie, dia adalah kelenteng dimana saya dapet "tune" untuk ciamsi (tradisi kuno untuk bertanya tentang nasib dan peruntungan).
Usia Kelenteng Tay Kak Sie sudah 2,5 abad, masih kokoh berdiri dan konservasi berjalan dengan baik. Ini merupakan salah satu kelenteng terbesar dan terlengkap di Semarang. Terdapat dua persepsi untuk tahun berdirinya kelenteng ini. Yang pertama, pada tahun 1746, Kho Ping dan Bon Wie mendirikan Kelenteng Kwam Im Ting (nama sebelum berganti menjadi Kelenteng Tay Kak Sie) yang bertujuan untuk memuja Yang Mulia Dewi Welas Asih, Kwan Sie Im Po Sat. Yang kedua, tahun 1771, karena berkembangnya komunitas Tionghoa dan bertambahnya orang yang datang, kemudian Komunitas Tionghoa membuat kelenteng yang lebih besar dengan Dewa Dewi Tao lebih banyak dan menamainya menjadi Tay Kak Sie yang berarti " Kuil Kesadaran Agung."
"Yuk saya kenalin sama kakek." Itu yang biasa saya sampaikan ke teman atau tamu ketika saya bawa mereka ke tempat ini. Dan inilah kakek yang saya maksud, seorang kakek tua berwajah teduh, sedang duduk diatas batu sambil memancing tanpa kail di ujung senarnya. Kiang Cu Gee, pengingat akan tekad, ketekunan dan kesabaran dalam menapak karir, juga mengusir pengaruh jahat.
Dikutib dari aroengbinang.com "Konon ketika hendak mengabdikan dirinya kepada Bun Ong dari Kerajaan Chou (Zhou) di wilayah barat, Kiang Cu Gee membuat gubug di tepi Sungai Weishui yang sepi untuk menunggu kesempatan bertemu Wenwang. Selama masa penantian yang berlangsung bertahun-tahun itu ia hidup sebagai pengail ikan, hingga ada bekas lekukan pada batu yang didudukinya. Karena itu ia dipuja sebagai Dewa Kesabaran, dan muncul semboyan masyhur berbunyi 'Kiang Cu Gee mengail, hanya ikan ditakdirkan yang terkail'. Kiang Cu Gee yang saat itu sudah berumur 80-an tahun akhirnya bertemu Bun Ong dan diangkat sebagai perdana menteri karena kebijaksanaan dan keluasan wawasannya. Ia membantu Bun Ong mengatur jalannya pemerintahan, memperkuat sistem politik, mengembangkan pertanian serta membangun kekuatan militer untuk kemudian menaklukkan wilayah di sekelilingnya yang membuat Kerajaan Chou semakin kuat. Saat Bun Ong wafat dan digantikan Bu Ong anaknya yang nomor 2, 2/3 wilayah Tiongkok telah dipersatukan. Kiang Cu Gee selanjutnya memimpin penyerbuan dan meruntuhkan kerajaan Shang, menandai berdirinya dinasti Chou yang berkuasa selama 800 tahun."
Disini, juga dijual kebutuhan pokok. Kita bisa membeli sesuai harga yang tertera dan uangnya dimasukkan ke kotak kelenteng yang sudah disediakan. Photo ini diambil ketika persiapan arak-arakan Cheng Ho. Kelenteng buka setiap hari, pukul 8 pagi hingga 9 malam. Oya, yang sering terlewatkan, di area parkiran terdapat satu patung Buddha yang terletak dibawah pohon Bodhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H