Mohon tunggu...
Laurens Sipahelut
Laurens Sipahelut Mohon Tunggu... -

...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catur

16 Agustus 2016   13:54 Diperbarui: 16 Agustus 2016   14:12 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dirgahayu Republik Indonesia. Perayaan hari Proklamasi Kemerdekaan adalah kisah tentang genesis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap kali kita beragustusan, kita mengenangkan suatu kisah tentang kita, manusia. Pasal, alih-alih rangkaian data dan fakta yang dingin, sejarah di balik tanggal 17 Agustus dibentuk oleh dinamika hasrat manusia yang menyala-nyala.

Sejarah berdirinya NKRI melibatkan banyak aktor (manusia), dan masing-masing aktor tersebut memperjuangkan keinginan mereka masing-masing. Benturan antara keinginan-keinginan tersebut lantas berujung dengan Perang Kemerdekaan Indonesia.

Apabila medan perang tersebut diibaratkan papan catur, buah catur melambangkan kelompok-kelompok kepentingan yang disusun menurut dua kubu: kubu kemerdekaan dan kubu kolonialisme. Masing-masing buah catur lantas tergabung pada kubu yang ia anggap mengusung kepentingannya, yaitu:

  • Pemerolehan kebutuhan hidup (Kesintasan);
  • Penghimpunan kebutuhan hidup (Kekayaan); atau
  • Pengendalian kebutuhan hidup (Kekuasaan).

Ajaran dan paham yang berbagai-bagai (seperti agama, sistem, falsafah—Keilmuan) kemudian menentukan pergerakan setiap buah pada papan catur, dan, seperti yang kita ketahui, pada pengujung 1949 akhirnya kubu kemerdekaan yang muncul sebagai pemenang.

Saya ingin mengutip Perjuangan Kita, sebuah pamflet karya Sutan Syahrir, salah satu putra terbaik Indonesia yang pemikirannya ikut menentukan kemenangan kubu kemerdekaan, yang terbit pada pengujung Oktober 1945:

“Kekuatan yang kita cari ada pada pengobaran perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.”

Bung Syahrir menyerukan penjunjungan nilai-nilai objektif (mutlak) kala keadaan dikuasai oleh pengejawantahan nilai-nilai subjektif (nisbi). Dia memandangi papan catur kita itu dari ketinggian sehingga nada dia pun menjadi bertolak dari semangat: muliakan manusia.

Menurut hemat saya, itulah yang mestinya menjadi tujuan didirikannya suatu negara bangsa, yaitu untuk memuliakan manusia. Bangsa Indonesia betul telah merdeka, tetapi kita belum menjadikannya bangsa yang bebas.

Sekarang, pada 2016, buah catur pada papan kita boleh jadi tersusun dalam formasi yang berbeda—semenjak 2014, setelah melewati Zaman Kemerdekaan dan Zaman Reformasi, Indonesia memasuki Zaman Kebebasan—tetapi judul permainannya tetap sama: catur. Akan tetapi, Republik Indonesia sekarang berada dalam Perang Kebebasan.

Silakan ditentukan sendiri apa yang menjadi buah catur Anda dan apa Keilmuan yang menggerakan buah catur Anda tersebut. Silakan ditentukan bagaimana negara bangsa kita ini dapat menjadi sesuatu yang memuliakan manusia seturut nilai-nilai objektif sehingga perang tersebut dapat dimenangkan.

Laurens Sipahelut
Tangerang, 16 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun