Yth para pemred media massa di Indonesia,
Partai politik yang memungkiri paham mereka sendiri; cendekiawan yang membudayakan nihilisme yang malas; perguruan tinggi yang tidak pantas menyandang predikat tersebut; ketamakan dunia usaha; dan media-massa yang lebih memilih menjadi pembicara perut alih-alih cerminan kritis bangsa.
Masalah-masalah yang saya sebutkan di atas saya kutip dari esai Rob Riemen, filsuf Belanda, yang bertajuk De eeuwige terugkeer van het fascisme. Sejauh mana masalah-masalah tersebut, yang Riemen sebut untuk menggambarkan keadaan di negeri Belanda, juga berlaku untuk Indonesia?
Masalah-masalah tersebut di atas Riemen sebut sebagai akibat-akibat munculnya kembali fasisme masa kini, yang di Belanda diujungtombaki Geert Wilders dan gerakannya, yaitu parpol PVV (Partai untuk Kebebasan). Pertanyaannya, apakah kita, Indonesia, juga memiliki Geert Wilders-Geert Wilders lokal? Sejauh mana kerentanan Indonesia terhadap fasisme? Apakah itu fasisme?
Fasisme dimungkinkan oleh adanya budaya kits. Riemen sebut masyarakat Belanda sebagai budaya kits karena 'karena kebaikan tertinggi, yakni nilai-nilai rohaniah, dilalaikan dan seluruh eksistensi mengutamakan kesenangan.' Kits: suatu gaya hidup yang melulu mementingkan hal-hal yang menyenangkan sembari melalaikan kebaikan tertinggi. Budaya kits menghasilkan manusia-massa kasemat. Fasisme adalah politisasi mentalitas si manusia-massa kasemat.
Apakah masyarakat Indonesia juga terjerumus dalam budaya kits? Dan apabila iya, sejauh apa? Apakah ia bisa dipolitisasi?
Menurut hemat saya, permasalahan dan pertanyaan di atas adalah penting. Permasalahan yang saya tulis di atas harus disikapi; pertanyaan yang saya sebut di atas harus dijawab. Apakah media massa di Indonesia bersedia membuat ulasan? Menurut hemat saya, persoalan-persoalan di atas berkenaan dengan lubuk jiwa masyarakat Indonesia yang, apabila sukses ditetapkan, dapat menentukan haluan bangsa kita. Apakah Indonesia selamanya akan berkubang dalam kegelapan, dalam ketidaktahuan? Atau adakah harapan Indonesia suatu saat akan menjadi pelita dunia?
Menurut hemat saya, Indonesia punya harapan. Bangsa ini punya harapan untuk menjadi sebagaimana ditakdirkan oleh potensinya. Akan tetapi, mau tunggu sampai kapan kita? Indonesia harus mawas diri, mencari tahu apa yang menyebabkan bangsa ini selalu mengambil sikap sebagai korban, bukan sebagai bangsa yang bebas dan percaya diri menentukan takdirnya.
Menurut hemat saya, Indonesia, sejak 2014, telah memasuki Era Kebebasan. Era Reformasi telah ia tinggalkan. Bangsa Indonesia harus mengisi Era Kebebasan ini dengan langkah-langkah berani. Saya imbau media massa di Indonesia untuk mengangkat permasalahan besar dan penting ini.
Riemen memberikan solusi pada akhir esainya, solusi untuk mengatasi fasisme:
Hanya setelah kita menemukan kembali kecintaan akan hidup dan ingin kembali mengabdikan hidup kepada hal ihwal yang sungguh-sungguh memberikan hidup – kebenaran, kebaikan, keindahan, persahabatan, istikamah, belas kasih, dan kearifan –, hanya setelah itu, dan tidak sebelumnya, kita akan menjadi tahan terhadap basil mematikan yang bernama fasisme.
Apakah menurut media massa di Indonesia bangsa kita cinta akan hidup? Apakah kita sudah mengabdikan hidup kepada semua yang disebutkan itu?
Menurut hemat saya, jawabannya adalah tidak. Riemen mengutip filsuf Jerman Theodor Adorno:
Satu-satunya kekuatan penentang tulen terhadap fenomena Auschwitz adalah otonomi diri, kemampuan untuk becermin, menentukan nasib sendiri, tidak ikutan, tidak menyesuaikan dirimu dan alih-alih individu tanpa watak, jadilah suatu kepribadian, suatu roh mandiri.