Mohon tunggu...
Sartadja Kartadiredja
Sartadja Kartadiredja Mohon Tunggu... Buruh - Lojor ulah dipotong, pondok ulah disambung

Ongkarana sangtabean, pukulun sembah Rahayu. Ahung mangandeg ahung madegdeg. Lebak ulah diruksak, gunung ulah dilebur. Kuntul sauyunan, gagak sagalengan, walik sagiringan. Kudu bisa sareundeuk saigel, sabobok sapehanean. Kudu bisa ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salegok. Kudu bisa silih asuh, silih asah, jeung silih asih.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saba Budaya Baduy, Kelestarian dan Plastik

13 Juli 2020   09:59 Diperbarui: 6 September 2020   18:36 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The English version of this article is available here. 

"Saba Budaya adalah suatu istilah yang berasal dari kata Saba dan Budaya. Saba itu artinya berkunjung. Dalam konteks Saba Budaya Baduy berarti silaturahmi antara pengunjung orang luar Baduy dengan orang Baduy"

Mandala Kanekes laksana lubang hitam penuh misteri di pusat galaksi Milky Way, berjarak 26 ribu tahun cahaya, memiliki gaya gravitasi  luar biasa, yang menarik apa saja ada di dekatnya. Sejak abad ke-18 ketika seorang pengelana Belanda bernama Blume kepincut alam Kanekes, hingga abad ke-21, saat ini, peneliti ilmiah, pelancong, serta pegiat Baduy banyak bertandang ke Mandala Kanekes.

Para peneliti ilmiah, biasanya akademisi, tertarik kepada kehidupan masyarakat Kanekes atau alam di mana orang Kanekes tinggal untuk dijadikan bahan kajian di bidang disiplin ilmu masing-masing untuk tujuan pemenuhan persyaratan studi, menulis skripsi, thesis, disertasi, jurnal ilmiah, atau buku.

Berbeda dengan peneliti, yang jumlahnya bisa dihitung jari, para pelancong adalah orang-orang yang datang berduyun-duyun, berkelompok-kelompok, bermarga-marga bertandang ke Mandala Kanekes sekedar untuk clingak-clinguk memuaskan rasa keingintahuan tentang bagaimana orang Kanekes hidup, kemudian pulang ke kota dengan membawa kenangan yang tidak mudah dilupakan dan 'mudah lupa' membawa kembali plastik dan sampah yang dibawa dari luar.

Juga laen dengan pelancong, pegiat Baduy yang pada umumnya adalah orang dari luar Mandala Kanekes merasa tertarik dan tergerak hatinya untuk ikut membantu gerakan melestarikan alam Kanekes dan budaya Kanekes. Sangat mungkin sekali, para pegiat Baduy ini memiliki visi dan misi yang seirama dengan orang Kanekes, seperti ikut melestarikan hutan, menolak kemungkinan adanya onshore mining, menolak pabrik semen, mencegah illegal lodging, atau mengkampanyekan VCFAD (Village Car Free All Days).

Efek kebanyakan tamu

Tamu-tamu yang datang itu membawa pedang bermata dua. Satu sisi, mereka membawa 'finansial inflow' yang menggerakkan perekonomian desa. Madu bisa dijual, kerajinan tangan bisa laku, kain tenun mendapat pasar. Pisang dibuat kripik. Sumber penghasilan warga Kanekes tidak hanya bergantung kepada 'ekonomi subsisten' berladang, berkebun dan memanfaatkan hasil hutan saja. Ada pilihan lain: trading dan jasa. Namun, pada sisi yang lain, efek kebanyakan tamu itu kurang menyenangkan bagi orang Kanekes. Ambil contoh masalah sampah plastik yang ditinggalkan para pelancong tadi. 

Seperti dilaporkan oleh salah satu warga Kanekes di sosial media, Mulyono Kanekes, yang berbakti sosial untuk membersihkan sampah-sampah plastik yang berserakan karena begitu saja dengan gagahlailainya pelancong menukar 'kenangan indahnya' dengan 'indahnya meninggalkan sampah'. 

Ujung-ujungna, urang Kanekes keneh bae nu katempuhan. (Baca: Pada akirnya orang Kanekes juga yang harus membersihkan tanah yang disampahi tamu.)

Mecari solusi

Masalah sampah yang ditinggalkan para pelancong inilah menjadi salah satu keprihatinan pegiat Baduy, salah satunya Kang Heru Nugroho, yang 'menafsir' mendapat mandat dari Lembaga Adat Baduy untuk menulis surat kepada Presiden Joko Widodo, mengusulkan agar Presiden membuat dan menetapkan sebuah kebijakan (untuk) supaya wilayah Adat Baduy tidak lagi dicantumkan sebagai lokasi objek wisata. 

Berkat gebrakan Kang Heru ini, stakeholder yang merasa berkepentingan dengan Mandala Kanekes mendadaksontak terundang untuk ngariung, bersawala (istilah yang diusulkan Kang Suhada) dan merenungkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di Mandala Kanekes disebabkan 'efek kebanyakan tamu' dan kemungkinan ekses-ekses tidak menguntungkan bagi kesejahteraan masyarakat Kanekes.

Perbedaan pandangan

Dalam acara 'Sawala Budaya' yang diadakan pada hari Minggu 12 Juli 2020 di Cafe Umakite, Kota Serang, Kang Suhada berbeda pandangan dengan Kang Heru mengenai solusi bagi permasalahan 'kebanyakan tamu' di Mandala Kanekes. 

Menurut Kang Suhada, menyurati Presiden Joko Widodo bukanlah cara yang bijak---melanggar aturan Adat. Masyarakat Kanekes pada tahun 2007 sudah membuat peraturan desa tersendiri tentang tamu-tamu yang datang ke Mandala Kanekes, tepatnya Peraturan Desa Kanekes Nomor 01 Tahun 2007 Tentang SABA BUDAYA DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT TATAR KANEKES (BADUY). Dalam Perdes ini terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang Tujuan dan Alur, Bentuk, Pintu Masuk, dan Larangan (BAB IV -- V). 

Kang Suhada menjelaskan pula mengenai struktur pemerintahan Adat Kanekes, yaitu hanya Djaro Pamarentah yang berwenang untuk menjembatani seluruh komunikasi masyarakat Kanekes dengan pihak luar, baik pemerintah (daerah dan pusat) ataupun dengan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan masyarakat Kanekes, sedangkan Djaro-djaro yang lainnya 'teu wasa' atau tidak berwenang.

Lebih jauh Kang Suhada menjelaskan filosofi Saba Budaya Baduy yang memiliki makna 'nyaba', bertamu, bersilaturahmi yang mencerminkan sebuah momen saling menjaga dan menghormati di antara tuan rumah dengan para tamunya. Oleh karena itu, terminologi 'objek wisata' semestinya tidak diterapkan dalam kerangka mendatangi masyarakat Kanekes. 

Saba Budaya Baduy itu 'two-way equal communication' yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap sesama manusia dan saling menjaga; sedangkan 'objek wisata' itu 'one-way ignoramus communication' yang hanya berorientasi kepada kepentingkan mereka-mereka yang datang dan mencari keuntungan mental-psikologis semata, dan bahkan kepentingan ekonomi semata, tanpa peduli dengan adat budaya masyarakat Kanekes dan kelestarian lingkungan yang menjadi 'Pikukuh Adat' Kanekes.

Bagaimana selanjutnya?

Pertanyaan ini tidak cukup terjawab secara definitif dalam diskusi Sawala Budaya pada sore itu karena keburu datang waktu magrib. 

Namun para pihak menyadari perlunya langkah-langkah strategis-konkrit yang mesti melibatkan semua stakeholder, pemerintah daerah setempat, perguruan tinggi yang ada di Banten, akademisi, pihak swasta, pengusaha, dan mereka pegiat Baduy yang tulus ikhlas meluangkan waktu dan sumber daya terbatasnya untuk kepentingan kelestarian Mandala Kanekes.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun