BERBAGAI banyolan politik terus mewarnai dinamika seputar pembentukan poros atau koalisi menuju Pilpres 2024. Interaksi lintas partai, atau di antara elit partai, yang bahkan sulit diterima nalar. Tetapi, pada kenyataannya itulah yang banyak terjadi.
Yang masih hangat adalah adanya tawaran bergabung dari PKS kepada Gerindra. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk lebih memperkuat posisi Koalisi Perubahan (KP), yang terus digagas PKS bersama NasDem dan Demokrat.Â
Tawaran bergabung dari PKS sekaligus membuat PKB, mitra Gerindra di Koalisi Indonesia Raya (KIR), bisa pecah. Tetapi, sekali lagi, itu dianggapan sekadar banyolan. Mana mungkin sih Gerindra mau bersinergi dengan PKS dan memperkuat KP yang pendiriannya juga masih sebatas wacana.
Adalah Fadli Zon dari Gerindra yang memulainya. Lama tak terdengar kabarnya, Wakil Ketua Umum Gerindra itu tiba-tiba mengeluarkan pernyataan mengenai kemungkinan PKS rujuk dengan Gerindra. Sembari menegaskan kedekatannya dengan Aboe Bakar Al-Habsyi, sekjen PKS, Fadli Zon mengurai romantisme hubungan kedua partai di masa lalu.
Termasuk saat PKS mendukung Prabowo Subianto di dua kontestasi Pilpres, 2014 dan 2019, serta ketika mereka sama-sama mendukung Anies Rasyid Baswedan merebut kursi orang nomor satu di DKI Jakarta.
Menyatakan juga jika politik itu sangat cair Fadli Zon yang  terakhir menduduki kursi salah satu wakil ketua DPR mengurai keyakinannya jika kedua elit partai terbuka untuk terus menjalin komunikasi intensif hingga mendekati tenggat proses pendaftaran capres dan cawapres, September 2023.
Dari kacamata umum, kemungkinan adanya sinergi Gerindra dengan PKS bisa saja terjadi, sejauh tawaran bergabung datang dari partai besutan Prabowo Subianto itu. Pasalnya, perolehan suara Gerindra jauh di atas PKS, sehingga logis jika mereka mengajukan tawaran kepada PKS.
Menjadi tidak logis jika kemudian PKS yang mengajak Gerindra ke pangkuan mereka, dan kemudian sama-sama membesarkan KP. Itu yang kemudian memunculkan frasa banyolan politik dari  Ari Junaedi, Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.
Hanya lawakan politik semata, katanya. Gerindra punya lebih banyak perolehan suaranya dibanding PKS di Pemilu 2019. Mengibaratkannya dengan ukuran baju atau kaus, size Gerindra XXL, jauh lebih besar dibanding PKS atau NasDem.
Jadi, tak mungkin Gerindra mau mengalah untuk bergabung dengan PKS lalu membangun serta membesarkan KP. Apalagi, Gerindra sudah punya capres, yakni ketua umumnya sendiri, Prabowo Subianto. Bagi kader dan akar rumput Gerindra, nama Prabowo Subianto tidak tergantikan.
Pada Pemilu terakhir itu, 2019, perolehan suara Gerindra adalah 12,57% dengan menggaet kursi DPR 78. Gerindra di posisi ketiga setelah PDIP (19.33%/128 kursi), di urutan kedua Golkar (12,31%/85 kursi). Di bawah Gerindra, NasDem (9.05%/59 kursi), PKB (9,69%/58 kursi), Demokrat (7,77%/54 kursi), baru PKS (8,21%/50 kursi), kemudian PAN (6,84%/44 kursi), dan PPP (4,52%/19 kursi).
Merujuk pada perolehan suara dan kursi DPR RI itu wajar jika Ari Junaedi juga menyeret-nyeret NasDem yang sempat merespon gembira wacana rujuk Gerindra dengan PKS. Kata elit NasDem, jika Gerindra bergabung dengan PKS dan otomatis ke KP juga maka Gerindra harus siap menerima konsekuensi Prabowo Subianto tidak menjadi capres. Pasalnya, capres dari KP adalah Anies Baswedan.
Pastilah Prabowo akan menolak mentah-mentah. Dan itu yang memang dikonsumsi publik. Prabowo tertawa lepas ketika media menyinggung kemungkinan Gerindra rujuk dengan PKS dan bergabung dengan KP.
Lebih realistis untuk Gerindra bergabung dengan poros nasionalis yang menjadi bagian dari koalisi pemerintah. Jika untuk kepentingan nasional dan tidak untuk kepentingan sesaat akan lebih ideal jika Gerindra bergabung dengan blok nasionalis seperti PDI-P, dan Golkar, atau tetap dengan PKB sekarang melalui Koalisi Indonesia Raya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H