Mohon tunggu...
Tb Adhi
Tb Adhi Mohon Tunggu... Jurnalis - Pencinta Damai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sich selbst zu lieben ist keine ritelkeit, sondern vernunft

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Capres dari KIB, Jangan Menohok Kawan Seiring

6 Desember 2022   12:20 Diperbarui: 6 Desember 2022   12:40 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga ketum KIB dalam kesempatan lain, Mardiono (PPP), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulhas (PAN). (Foto: Kompas.com).

POLITIK memang tidak mengenal kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik individu atau kelompok. Itu frasa atau bahkan fatsoen yang sudah lazim diketahui dan diakrabi. Para tokoh atau tetua di masa lalu sudah mengajarkan, sekokoh apapun koalisi yang dibangun, diperkuat dengan penandatanganan kontrak politik antarelite politik, bila hanya didasari kepentingan strategis mereka yang berkoalisi tanpa didukung oleh ideologi dan program yang solid, akan hancur saat kepentingan politik yang mereka perjuangkan mulai tampak berbeda.

Dalam pemahaman publik, fenomena politik ini amat kasatmata terjadi pada koalisi partai-partai. Baik di masa lalu atau yang terjadi sekarang. Baik koalisi yang terbentuk dalam pemerintahan atau koalisi yang dibangun menghadapi kontestasi akbar politik seperti Pemilu. Pun Pemilu 2024, yang di dalamnya termasuk Pilpres.

Menuju Pemilu 2024, saat ini sudah terbentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi oleh Golkar, PAN dan PPP, serta Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang dideklarasikan oleh Gerindra dan PKB. Satu koalisi lagi, yakni Koalisi Perubahan (KP), sudah lama diwacanakan oleh NasDem, Demokrat dan PKS. Namun belum dideklarasikan.

KIB dan KIR terbentuk dengan visi, misi dan platform yang hampir sama. Kedua koalisi merupakan bentuk kerja sama dalam menyukseskan pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Bisa dipahami, mengingat kelima partai yang tergabung dalam KIB dan KIR adalah partai-partai koalisi pemerintah.

Menjalankan demokrasi konstitusional menjadi cita-cita dari KIB, yang dijabarkan dengan memperjuangkan politik gagasan, ide, dan pemikiran. Hal itu dijadikan sebagai landasan prinsip melalui proses-proses politik yang mencerdaskan, menggembirakan, mensejahterakan, memakmurkan, dan berkeadilan.

Memperjuangkan NKRI yang lebih maju, adil dan sejahtera juga menjadi platform dari kerja sama Gerindra dan PKB dalam KIR. Kedua partai mengaku akan berjuang bersama menghadapi Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024.

Jika dalam perjalanannya banyak dinamika yang mengiringi, itulah politik. Dinamika yang berkembang juga tidak menafikan munculnya ancaman-ancaman yang dikhawatirkan bisa memengaruhi mulusnya koalisi.

Ancaman yang muncul, ketika koalisi mulai memasuki fase yang menentukan seiring dengan terus berjalannya waktu dan orang-orang mulai berbicara tentang figur-figur pemimpin bangsa masa depan, sejatinya dimulai dari elit-elit politik sendiri.

Pembahasan terkait capres dan cawapres semakin menguat, diwarnai dengan perilaku NasDem yang dinilai mencuri start dengan mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden (bacapres) mereka. Perilaku NasDem ini secara umum bahkan disesalkan oleh Demokrat dan PKS, dua partai calon tandemnya di KP.

Pada awal pembentukannya, KIB dan KIR sama-sama berkehendak untuk mengusung capres dan cawapres dari kalangan internal. Hal itu pula yang membuat KIB seperti mati-matian menepis anggapan bahwa koalisi yang mereka bentuk adalah sekoci untuk pencapresan Ganjar Pranowo jika pada akhirnya gubernur Jateng itu dibuang oleh partainya, PDIP.

Bantahan itu ditegaskan langsung oleh ketiga pimpinan partai, Airlangga Hartarto dari Golkar, Zulkifli Hasan dari PAN, serta Suharso Monoarfa sewaktu masih memimpin PPP, dan oleh Mohammad Mardiono yang kini menggantikannya.

Buat apa susah payah membangun koalisi jika hanya untuk dijadikan sekoci atau wadah bagi orang lain, itu yang disampaikan oleh pimpinan ketiga partai.

Zulhas (PAN), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Mardiono (PPP). (Foto: Kompas.com).
Zulhas (PAN), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Mardiono (PPP). (Foto: Kompas.com).


Pada perkembangannya kemudian, dalam pemahaman publik, seperti disampaikan di atas, banyak dinamika yang terjadi, diwarnai berbagai interaksi yang ditengarai bisa memengaruhi keutuhan dari koalisi. Dalam hal ini, banyaknya rayuan dalam penjajakan politik, yang bisa mengganggu kesepakatan politik yang sudah terbentuk.

Dalam narasi yang disampaikan pengamat politik dan pendiri Indonesia Political Power, Ikhwan Arif, pembentukan koalisi berpotensi mogok di tengah jalan jika penjajakan politik terlalu lama.

Banyaknya rayuan dalam penjajakan politik, kata Ikhwan Arif, bisa mengganggu kesepakatan politik yang sudah terbentuk. Misalnya rayuan elektabilitas menjadi penyebab koalisi mogok atau pindah haluan ke koalisi lain. Jika tidak segera deklarasi, akan berpotensi koalisi deklarasi capres dan cawapres last minutes, ujarnya kepada Kompas.com.

Pasalnya, Ikhwan Arif yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Power itu, menengarai bahwa koalisi yang sudah terbentuk atau yang sudah memenuhi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold 20%) baik itu KIB, KIR, Poros Perubahan maupun PDIP, semuanya sangat bergantung pada nilai elektabilitas figur.

Misalnya, tokoh-tokoh dengan nilai elektabilitas tinggi akan menjadi rebutan partai politik untuk mempertahankan basis elektoral mereka di masing-masing daerah, tujuannya tidak lain untuk mempertahankan elektabilitas partai juga.

Kekhawatiran Ikhwan Arif mungkin tidak berlebihan. Kendati demikian, untuk KIB, keinginan untuk menempatkan capres dari kalangan internal dengan tidak mengutamakan elektabilitas masih menjadi pilihan. Setidaknya itu yang ditegaskan Zulhas pada pertemuan terbaru petinggi KIB akhir pekan lalu. KIB tetap akan memprioritaskan capres dari dalam, katanya.

Tiga ketum KIB dalam kesempatan lain, Mardiono (PPP), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulhas (PAN). (Foto: Kompas.com).
Tiga ketum KIB dalam kesempatan lain, Mardiono (PPP), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulhas (PAN). (Foto: Kompas.com).

Maka Airlangga Hartarto berada di urutan pertama, Zulhas kedua, dan Mardiono ketiga. Urutan itu mengacu pada Golkar sebagai peringkat pertama dalam perolehan suara Pemilu 2019 di antara ketiganya, atau pemenang kedua di bawah PDIP, sementara PAN dan PPP di bawah Golkar.

Jika pernyataan Zulhas tidak sekadar manis di bibir, alias lips service, mestinya grass-root KIB tetap teguh, tidak goyah akan berbagai rayuan, sebagaimana yang dikhawatirkan Ikhwan Arif dari Indonesia Political Power itu.

Keteguhan sikap KIB tengah diuji ketika sebagian dari akar rumput PAN dan PPP justru menginginkan figur dari luar partai untuk diusung sebagai capres. Dalam konteks ini, hanya Golkar yang masih konsisten. Itu pula yang membuat munculnya desakan dari elit dan akar rumput Golkar agar KIB segera mendeklarasikan Airlangga Hartarto sebagai capres.

Dalam pandangan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, sangatlah memalukan bila KIB mengusung capres dan cawapres bukan dari kader partai. Selain tidak adanya program kaderisasi di tubuh partai, Arifki menilai, dengan mengusung sosok luar dari dalam internal KIB bisa membuat para ketua umum partai merugi.

Ikhwan Arif dari Indonesia Political Power dan Arifki Chaniago dari Aljabar Strategic juga sama-sama mengkhawatirkan kemungkinan adanya potensi perpecahan di tubuh KIB bila elit dan akar rumput dari Golkar, PAN dan PPP tidak segera kembali meneguhkan diri.

Kondisi yang sama, kata keduanya, juga mengancam KIR jika Prabowo Subianto diduetkan dengan sosok lain di luar Muhaimin Iskandar yang sudah mengajukan diri sebagai cawapresnya. Apalagi, Cak Imin sudah melontarkan ancaman akan membentuk komposisi lain seandainya terjadi interaksi yang mengecewakannya di KIR.

Seperti kata peribahasa, semut yang terinjak pun akan menggigit...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun