Pernyataan Jokowi atas pentingnya konsolidasi nasional dan berdemokrasi yang santun bisa saja dikaitkan dengan dinamika yang akan terjadi pada Pemilu 2024, khususnya Pilpres, di mana diprediksi akan adanya lebih dari dua pasangan yang tampil, berbeda dengan Pilpres 2014 dan 2019.
Mengilas ke belakang, Pilpres 2014 diikuti oleh dua pasang capres dan cawapres, yakni Prabowo Subianto, ketum Gerinndra yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009.
Hasilnya, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dari Koalisi Indonesia Hebat mengungguli Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dari Koalisi Merah Putih, dengan perolehan suara 70.997.833 juta berbanding 62.576.444.
Pilpres 2019 kembali dikuti dua pasangan, yakni Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Pada Pilpres yang digelar 17 April 2019 itu, Jokowi-Ma'ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50%.
Pemilu 2019 mungkin akan terus dikenang sebagai pemilu yang bersejarah, mengingat ini merupakan pemilu terumit karena pemilu pertama di Indonesia yang dilakukan secara serentak. Pilpres dan pileg pada Pemilu  sebelumnya dilakukan secara terpisah.
Merujuk pada data KPU dan pemberitaan media, kesuksesan Pemilu 2019, salah satunya ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat, sebesar 81 persen, melonjak tajam   hampir sebesar 10 persen jika dibandingkan pada pemilu tahun 2014. Bagi KPU, kesuksesan tersebut mestinya memberikan spirit dan semangat untuk menyelenggarakan dan mendulang sukses yang sama pada Pemilu 2024 nanti.
Mengacu pada pernyataan Jokowi dalam pidato kenegaraan menyambut HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR, dan diulangi kembali saat memberikan sambutan di Munas HIPMI di Solo, kita wajib menengok pada apa yang terjadi pada kontestasi akbar politik 2019 lampau.
Banyak pelajaran penting yang bisa dipetik, diambil hikmah, dan wajib diantisipasi dari Pemilu 2019 lalu. Menuju Pemilu 2024, semua pihak harus bersikap lebih dewasa untuk menimimalisir polarisasi yang terjadi.
Mengutip data dari KPU dan media, polarisasi yang terjadi salah satunya karena pengaruh informasi yang sangat pesat melalui media sosial yang didalamnya ada berita bohong (hoaks /hoax ), disinformasi, misinformasi. Juga polarisasi karena politik identitas, pemanfaatan isu SARA, politik permusuhan, hate speech, black campaign, politik uang, dan politik intimidasi.
Kita sadari bahwa perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi tak pelak turut berkontribusi dalam penyebaran konten hoaks yang cukup mengganggu. Tingginya pengguna smartphone, penguna media sosial  menjadi salah satu tantangan agar hoaks tidak tumbuh subur.
Dari berbagai data yang dihimpun penulis, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia saat ini sudah menembus lebih dari 200 juta orang. Jumlah itu dari waktu ke waktu terus meningkat...