politik menjadi panas atau dingin. Gonjang-ganjing dari perdebatan antara elit Demokrat dan NasDem menghangatkan suasana, bertepatan dengan pasca berakhirnya rangkaian kegiatan Presidensi G20 Indonesia yang kesuksesannya diakui dunia.
ORANG-orang partai, sebut saja para politikus, selalu punya cara untuk membuat atmosfirPerdebatan elit Demokrat dan NasDem, dalam pemahaman publik, tentunya berkaitan dengan belum adanya penetapan cawapres pendamping Anies Baswedan. Demokrat seperti memaksakan NasDem dan Anies Baswedan harus memilih Agus Harimurti Yudhono, ketua umumnya. NasDem berkelit, siapa yang menjadi cawapres, sepenuhnya tergantung Anies. Penentuan cawapres bukan ranah NasDem.
Demokrat sudah lama memendam kekesalannya. Ditambah lagi, adanya wacana memadankan Anies dengan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo. NasDem berkilah, adalah hak Anies untuk menemui dan berbicara dengan siapa saja. Apalagi, belum tentu juga pertemuan Anies dengan Gibran terkait cawapres.
Tensi tinggi di antara elit Demokrat dan NasDem pada akhirnya dihubung-hubungkan dengan rencana pembentukan Koalisi Perubahan, yang diusung NasDem, Demokrat dan PKS. Tidak keliru jika publik memandang jika Koalisi Perubahan pada akhirnya juga hanya sekadar menjadi wacana. Hanya ramai disampaikan ke media, tetapi realisasinya masih nol besar.
Masih semrawut, kata pengamat politik Adi Prayitno, seperti dikutip Kompas.com. Dalam pandangan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu, saling sentil antara elit Demokrat dan NasDem sekaligus membuktikan jika koalisi pendukung Anies Baswedan untuk Pilpres 2024 itu makin kusut.
"Makin rumit membayangkan koalisi ini terwujud. Awalanya terang dan cerah karena NasDem, PKS, dan Demokrat punya titik temu di Anies yang dinilai antitesa Jokowi. Belakangan realisasi kongsi poros perubahan ini kian kusut," ujar Adi Prayitno dalam wawancaranya dengan Kompas.com.
Satu masalah belum selesai, muncul konflik baru. Wajar jika publik mencermati makin tebalnya insubordinasi antara kedua partai tersebut, setidaknya pada sebagian elit kedua partai.
Sebelumnya, ada dugaan karena faktor intervensi oligarki. Lalu PKS dan Demokrat deadlock soal cawapres Anies. Kini, Demokrat menuding NasDem tak komit soal koalisi karena melirik figur Gibran (Wali Kota Solo) yang dinilai cocok jadi cawapres Anies.
Kerumitan yang terjadi tetap berawal dari pemilihan bakal cawapres. Seperti dipaparkan di awal, sampai saat ini belum ada titik temu sosok yang akan jadi bakal cawapres.
NasDem, yang merasa lebih superior, sejak awal buru-buru memutuskan Anies Baswedan sebagai bakal capres. NasDem sepertinya sudah mengukur kehendak Demokrat dan PKS, yang sama-sama mengincar posisi cawapres Anies. Itu pun masih digantung, karena NasDem dan Anies belum sreg dengan AHY atau Ahmad Heryawan (Aher) yang dijagokan Demokkrat dan PKS.
Di satu sisi, kerumitan dan semrawutnya rencana pembentukan Koalisi Perubahan membuat publik mencermati Koalisi Indonesia Baru (KIB). Begitu besarnya perbedaanya dengan KIB. Suasana kebatinan orang-orang KIB seperti sudah menyatu. KIB demikian cool, tidak pernah ada perbedaan sikap di antara elit dari ketiga partai pengusungnya, yakni Golkar, PAN dan PPP.
KIB tidak terburu-buru untuk segera mendeklarasikan capres dan cawapres mereka meski sudah memenuhi presidential thresold (PT) 20%. KIB bahkan berencana memperkuat diri dengan menambah anggota baru. Mereka sepertinya tinggal menunggu waktu atau momen yang tepat untuk mengumumkan anggota baru koalisi, baik dari partai koalisi pemerintah atau peserta baru Pemilu 2024.
Beruntunglah KIB karena ditopang oleh elit-elit partai yang sudah matang pemahaman politiknya, tidak mementingkan ambisi masing-masing partai, namun menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai. Itu tampaknya yang menjadi pegangan KIB sejak awal.
KIB memang sempat dikabarkan merayu Demokrat dan PKS untuk bergabung dengan mereka. Namun, belum ada respon signifikan dari kedua partai non koalisi pemerintah itu. Dalam urusan ini, NasDem berkeyakinan, Demokrat dan PKS tak akan lari ke mana pun. Posisi mereka yang opisisi pemerintahan Jokowi tak memungkinkan berkoalisi dengan partai pendukung pemerintah lainnya.
Itu pula yang membuat NasDem terlihat dominan memainkan peran politiknya, khususnya dalam wacana pembentukan Koalisi Perubahan. Bukan hanya mengunci posisi capres untuk Anies, bahkan urusan cawapres pun Demokrat dan PKS dibuat kelimpungan. Karena NasDem masih mempertimbangkan begitu banyak nama selain AHY dan Aher. Misalnya Khofifah (Gubernur Jawa Timur), Andika (Panglima TNI), dan belakangan Gibran Rakabuming Raka.
Berbeda dengan Demokrat yang terkesan mudah naik darah melihat manuver NasDem dan Anies, PKS bersikap santuy saja. Seperti dikutip dari Kompas.com, PKS menengahi NasDem dan Demokrat yang beradu argumen soal cawapres usai pembicaraan kans Wali Kota Solo Gibran Rakabuming mendampingi Anies Baswedan. PKS mempersilakan setiap partai mengajukan usulannya masing-masing.
Tidak perlu baper, kata elit PKS, M.Kholid. Kata jubir PKS itu, kalau memang NasDem mau ajukan Gibran sebagai cawapres, monggo, seperti juga PKS menghormati keinginan Demokrat yang mengajukan AHY.
Kholid terus terang mengakui jika PKS selama ini juga berikhtiar memperjuangkan Aher. Dia mengingatkan adanya kesepakatan untuk  sama-sama sepakat mengedepankan kepentingan bangsa.
Nah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H