Pasca Tragedi Kanjuruhan, para pencinta sepak bola di hampir seluruh penjuru negeri melampiaskan simpati, empati, duka dan kesedihannya dengan berbagai cara. Kelompok-kelompok suporter bersatu. Semua berharap, semoga tidak ada korban jiwa lagi dalam pertandingan sepak bola. Satu nyawa terlalu berharga untuk sepak bola.
Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum terbaik untuk adanya perubahan menyeluruh dari pertandingan sepak bola. Itu juga yang diharapkan oleh pemerintah. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sudah dibentuk dan diberi waktu satu bulan untuk mencari akar penyebab kejadian dan melengkapi hasil pengusutan Polri dari tragedi itu. TGPF juga diharapkan dapat memberi rekomendasi terhadap pelaksanaan dan prosedur pengamanan pertandingan yang lebih baik.
Presiden Jokowi bahkan memberi tugas tambahan TGPF itu, selain meminta pengusutan tuntas, juga dilakukannya audit menyeluruh terhadap stadion-stadion tempat pertandingan kompetisi Liga I.
Dari ekses Tragedi Kanjuruhan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga telah mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat, di samping 9 komandan Brigade Mobil Polda Jawa Timur yang ikut dicopot plus 28 anggota menjalani pemeriksaan kode etik, khususnya mereka yang melontarkan gas air mata ke arah tribun penonton.
Di luar apa yang dilakukan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, belum ada pihak lain yang dicopot meski telah diminta mundur, termasuk Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan dan Dirut Liga Indonesia Baru (LIB) yang bertanggung jawab atas kepastian jadwal pertandingan, Hadian Lukita.
Jika Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum terbaik untuk adanya perbaikan dalam sepak bola Indonesia, terutama dalam jalannnya kompetisi, kita memerlukan sebuah revolusi mental.
Revolusi mental sudah banyak disebut oleh Jokowi, pun jauh sebelum Tragedi Kanjuruhan. Kita berharap akan adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan baik dalam hal cara berpikir maupun dalam berperilaku. Sudah sangat banyak mental orang Indonesia yang sudah maju, namun ada pula yang masih terperosok dalam jurang kegelapan, termasuk yang menjadikan pertandingan sepak bola sebagai katarsis.
Revolusi mental dalam konteks ini adalah perubahan cara berpikir dalam waktu singkat untuk merespon dan bertindak, sejatinya dengan memandang sepak bola sebagai salah satu kebutuhan yang menyenangkan. Bukan kebutuhan untuk sekadar memperoleh pemasukan.
Revolusi mental ini tak hanya berlaku untuk suporter Indonesia, penonton fanatik di klub-klub itu, akan tetapi juga PSSI dan seluruh elemen terkait, termasuk jajaran panitia pelaksana pertandingan di setiap klub...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H