Mohon tunggu...
Tazkia Raissa Widyadana
Tazkia Raissa Widyadana Mohon Tunggu... Lainnya - Murid SMAN 28 Jakarta

Murid SMAN 28 Jakarta, kelas XI MIPA 3, dan absen kelas nomor 33.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Buku "The Boy in The Striped Pajamas"

3 Maret 2021   11:27 Diperbarui: 3 Maret 2021   12:16 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. IDENTITAS BUKU

  • Judul Buku: The Boy in the Striped Pajamas
  • Pengarang : John Boyne
  • Penerbit  : David Fickling Books
  • Cetakan: Pertama
  • Tahun Terbit: 23 Oktober, 2007
  • Dimensi Buku: 137 x 206 x 15mm | 181g
  • Harga Buku: Rp 149.000,-
  • ISBN : 9780385751537
  • Tebal Buku:  224 halaman

B. PEMBUKAAN

The Boy in the Striped Pajamas adalah sebuah buku anak yang ditulis oleh John Boyne pada tahun 2006. Buku ini merupakan novel dramatis sejarah yang berlatarkan selama Perang Dunia Kedua ketika Hitler mendominasi Jerman dan menciptakan kamp konsentrasi untuk memusnahkan kaum Yahudi, yang derajatnya dianggap lebih rendah dari manusia lain. 

Dengan kata lain, buku ini sudah jelas menceritakan tentang korban Holocaust, yang menggunakan karakter-karakter fiktif untuk merepresentasikan kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia Kedua, dengan menunjukkan kepada pembaca dua sudut pandang dari kekejaman yang terjadi (satu  dari Yahudi dan satu Jerman).

C. ULASAN BUKU

Lewat karya John Boyle, hadirlah sebuah cerita yang menggambarkan dampak holocaust yang tidak hanya berimbas buruk bagi kaum Yahudi, namun juga untuk masyarakat Jerman pada saat itu. Kisah ini menceritakan tentang seorang anak sembilan tahun bernama Bruno yang hidup bersama keluarganya di Berlin pada masa perang dunia II. Ayah Bruno adalah salah satu orang kepercayaan pemimpin Nazi itu. Suatu hari sang ayah  tiba-tiba dipindahkan ke sebuah tempat terpencil, dekat kamp konsentrasi Auschwitz. Dengan berat hati, Bruno mengikuti keinginan orang tuanya untuk pindah. 

Ditengah kesepiannya ditempat baru, jauh dari sahabat-sahabatnya, Bruno sering memperhatikan anak-anak berpiama garis-garis yang terlihat di kejauhan. Lahan tempat anak-anak itu berada tidak cukup jauh dari rumah barunya, namun dipisahkan oleh semacam kawat duri yang menjulang tinggi. Tempat itu terlihat sangat kering, dan setiap manusia dibalik kawat duri itu, orang dewasa maupun anak-anak terlihat nestapa, tanpa senyuman, sangat ketakutan dan bahkan ada yang meneteskan air mata.

Mengabaikan nasihat kedua orang tuanya agar tidak bermain jauh-jauh dari rumahnya, Bruno nekat berpetualang secara diam-diam. Dia menyusuri pagar kawat selama beberapa waktu sampai akhirnya bertemu dengan seorang anak laki-laki di balik pagar kawat tersebut. Sejak perkenalan Bruno langsung menyukai anak itu, selain karena mereka sebaya dan punya tanggal lahir yang sama, Bruno merasa menemukan teman baru yang bisa ia ajak untuk bermain.

Dari Shmuel-lah Bruno mengetahui suasana di balik pagar kawat tempat sahabat barunya itu tinggal. Meskipun Bruno merasa bahwa tempat tinggal Shmuel itu seru dan membuatnya iri karena ada banyak anak laki-laki lainnya di sana, namun dia selalu bertanya-tanya mengapa kondisi Shmuel selalu terlihat menyedihkan, badannya sangat kurus, dekil, dan seperti tidak pernah mandi.

Puncak cerita ini adalah ketika ayah Bruno akan membawa mereka pulang ke Berlin. Bruno memberi tahu Shmuel kabar buruk tentang kepergiannya, dan dia juga menyesali bahwa mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk bisa bermain bersama dengan benar. Shmuel punya kabar buruk tentang dirinya: ayahnya hilang. Kedua anak laki-laki tersebut akhirnya membuat rencana untuk hari terakhir mereka bersama. 

Shmuel akan membawa piyama bergaris, dan Bruno akan merangkak melalui lubang kecil di bawah pagar sambil menyamar sebagai salah satu tawanan untuk membantu temannya mencari ayahnya. Mereka memberlakukan rencana mereka keesokan harinya. Setelah sia-sia mencari petunjuk yang akan mengarah pada hilangnya ayah Shmuel, Bruno ingin pulang. Saat itu, sekelompok tentara mengepung daerah tempat Bruno dan Shmuel berada dan memaksa semua orang untuk berbaris ke dalam ruang gelap yang panjang. Saat pintu dikunci dan kepanikan meletus di sekitar kedua sahabat tersebut. Buku ini berakhir dengan Bruno meraih tangan Shmuel dan memberitahunya bahwa dia adalah sahabatnya, sahabat untuk seumur hidupnya.

D. KEUNGGULAN BUKU

Sama seperti jalan cerita berbagai novel karangan John Boyne, jalan cerita buku ini tidak mudah ditebak. Ketika membaca cerita ini, kita akan disuguhkan dengan cerita yang seru dan mendebarkan yang akan membuat jantung kita berdebar penasaran. Pembaca akan mengalami kesulitan untuk menebak bagaimana cerita ini akan berakhir.

Namun buku ini sederhana dan tidak ada banyak hal yang bisa ditemukan dalam alur ceritanya. Alur ceritanya lurus dan langsung tanpa berbelit-belit. Buku ini akan bermanfaat untuk para guru sebagai bahan diskusi sejarah. Beberapa kritik bermunculan tentang ketidaktepatan historis dan kesederhanaan buku ini, namun buku ini memiliki target audiens anak-anak sehingga sangat wajar apabila buku ini cenderung lebih sederhana dibanding buku sejarah lain. Buku ini mampu mengajarkan kita tentang hal-hal seperti kekejaman, apatis, prasangka, diskriminasi, kekuasaan, kekejaman bahkan kesetiaan.

E. KELEMAHAN BUKU

Meskipun buku ini ditujukan untuk anak-anak, bahasa yang digunakan dalam cerita ini cenderung samar, baku, dan terlalu berat sehingga akan membuat cerita ini lebih sulit dipahami. Jika ingin membaca buku ini, sebaiknya anda sudah memiliki pengetahuan dasar mengenai apa yang terjadi di kamp konsentrasi di Jerman.

Perlu diketahui bahwa meskipun tokoh utama dalam buku ini berusia 9 tahun, buku ini lebih cocok untuk anak-anak yang sudah berada di sekolah menengah ke atas. Buku ini berfokus pada masalah emosional yang kompleks dari kejahatan dan Holocaust, dan akan menimbulkan pertanyaan tentang sifat-sifat buruk manusia.

F. REKOMENDASI

Akhir kata, saya sangat merekomendasikan buku ini kepada pembaca yang sudah berada di bangku sekolah menengah ke atas. Buku ini mampu menceritakan tentang kebenaran yang menyedihkan melalui cerita yang sederhana dan tidak terlalu kejam. Buku ini akan mampu membuat pembaca merenungkan dan berdiskusi tentang kekejaman yang terjadi pada masa itu dan mengapa kejadian tersebut tidak boleh terjadi lagi di masa yang akan datang.

Apabila ada anak yang ingin membaca buku ini, sebaiknya didampingi oleh orangtua. Cerita ini akan sulit dicerna oleh anak yang masih berada di bawah umur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun