Human Immunodeficiency Virus (HIV) masih menjadi tantangan yang dihadapi seluruh dunia. HIV merupakan virus yang menyerang sistem imunitas tubuh sehingga menyebabkan kondisi inang dalam keadaan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dapat juga dijelaskan sebagai kondisi dengan kumpulan gelaja penyakit akibat penururnan sistem inumitas tubuh. Orang yang terinfeksi HIV sering kali disebut sebagai ODHA, yaitu orang dengan HIV/AIDS. Virus ini dapat ditularkan melalui semua jenis hubungan seksual–vaginal, anal, atau oral–oleh ODHA, karena biasanya virus HIV akan ditemukan pada cairan mani, cairan vagina, dan atau cairan di daerah rectum dan anus.
Dilaporkan bahwa kasus dari tahun 2005 hingga Maret 2021 cenderung meningkat setiap tahunnya. Jumlah kumulatif kasus HIV di Indonesia hingga Maret 2021 ada sekitar 427.201 orang dengan 365.289 ODHA masih hidup dan 61.192 meninggal dunia. Data pada laporan perkembangan HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual (PIMS) triwulan I tahun 2021 menunjukkan sebagian besar penderita ada pada kelompok usia 25-49 tahun sebesar 71,3% dan 69% nya adalah berjenis kelamin laki-laki. Hingga saat ini, upaya pengobatan yang digunakan di Indonesia ialah dengan pemberian Terapi Antiretroviral (ART), yaitu dengan pemberian beberapa obat Antiretroviral (ARV). Hanya saja, pengobatan ini hanya memiliki mekanisme menghambat pertumbuhan virus, bukan membunuh virus. Dari laporan tersebut dilaporkan sebanyak 269.289 ODHA di Indonesia telah menerima dan sedang memulai pengobatan ART.
Selain pengobatan penyakit akibat HIV, pencegahan HIV juga telah dilakukan dilakukan. Salah satunya ialah dengan menggunakan antibody monoclonal (mAbs) sebagai penetral HIV dengan berbagai potensi klinis, termasuk imunoprofilaksis. mAbs akan digunakan sebagai mikrobisida di tempat infeksi (vagina atau rektum), seperti mAb 2G12 yang merupakan segelintir mAb penetral HIV yang diketahui dimana telah menjalani evaluasi klinis pada manusia. Untuk studi klinis sebelumnya, mAb 2G12 diproduksi di sel ovarium hamster Cina (CHO) dan portofolio keamanan komprehensif diakumulasikan untuk antibodi dalam studi ini. Karakterisasi mAb 2G12 dan sejarah keamanan klinisnya merupakan alasan penting untuk pemilihannya sebagai produk utama dalam proyek ini.
Namun, dosis besar (miligram) diperlukan untuk perlindungan yang efektif, dan produk harus digunakan secara teratur sebelum hubungan seksual, yang berarti bahwa kapasitas produksi perlu melebihi 1000 kg/tahun untuk memenuhi permintaan global (Shattock dan Moore, 2003). Karena biayanya juga harus dijaga tetap rendah, mikrobisida berbasis mAb tidak mungkin diproduksi menggunakan pendekatan manufaktur konvensional, terutama karena kebutuhan terbesar ada di negara berkembang. Oleh karena itu, bioteknologi tanaman merupakan alternatif yang menarik untuk area aplikasi ini karena kombinasi biaya rendah dan skalabilitas.
Penggunaan tanaman untuk menghasilkan protein farmasi rekombinan dikenal sebagai molekuler pharming. Penggunaan khusus bioteknologi tanaman ini dimulai pada tahun 1989 oleh ekspresi antibodi monoklonal katalitik pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum) dan mengarah pada serangkaian studi bukti prinsip di mana protein yang relevan secara farmasi , termasuk berbagai format antibodi, vaksin subunit, autoantigen, hormon, sitokin, produk darah, enzim dan reagen teknis, diekspresikan dalam beragam platform produksi berbasis tanaman. Penggunaan bioteknologi tanaman untuk produksi protein farmasi dianggap menguntungkan terutama karena skalabilitas produksi dan potensi biaya produksi yang rendah.
Dengan, Penggunaan antibodi penetral HIV sebagai mikrobisida telah dipertimbangkan selama bertahun-tahun, walaupun masih adanya pro dan kontra dengan alternatif pengobatan maupun pencegahan HIV dengan cara ini. Hal ini akan menjadi peluang penting untuk mencegah penularan HIV tanpa adanya vaksin yang efektif. Teknologi saat ini untuk pembuatan mAbs menggunakan sel CHO mungkin dapat mengakomodasi permintaan mAb penetral HIV sebagai mikrobisida di negara maju, tetapi dalam jangka panjang untuk negara-negara terbelakang lainnya, penggunaan bioteknologi tanaman adalah cenderung menjadi teknologi yang lebih sederhana dan lebih kuat daripada fermentasi sel. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa P2G12 dapat diproduksi dengan kualitas yang setara dengan mitra C2G12 yang diproduksi dalam sel CHO. Antibodi yang berasal dari tumbuhan aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada wanita sehat bila diberikan secara intravaginal dalam dosis tunggal hingga 28 mg.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H