Menjadikan dukungan, sanjungan manusia, penilaian manusia sebagai hakim keberhasilan.
Jauhilah menjadikan patokan jumlah banyaknya tulisannya dibaca, diberi komentar atau diberi vote (menarik, aktual dll) sebagai keberhasilan secara hakiki dalam membuat tulisan di situs ini. Lihatlah bagaimana sejatinya mayoritas manusia:
1. Tidak beriman
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (Huud: 17)
2. Tidak bersyukur
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah: 243)
3. Benci kepada kebenaran
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.”(Az-Zukhruf: 78)
4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.”
(Al-Maidah: 49)
5. Lalai dari ayat-ayat Allah
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.”
(Yunus: 92)
6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka
“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.”(Al-An’aam: 119)
7. Tidak mengetahui agama yang lurus
“Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)
8. Mengikuti persangkaan belaka
“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116)
9. Penghuni Jahannam
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia.” (Al-A’raaf: 179)
Menjadikan Akal semata untuk menghukumi baik/buruknya sesuatu
Imam Abu Daud meriwayatkan dari ‘Ali -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Seandainya agama itu dengan akal, niscaya bagian bawah khuf yang lebih pantas daripada bagian atasnya. Sungguh saya telah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas kedua khuf beliau”.
As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Ta'ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Ta'ala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Ta'ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Menjadikan dunia sebagai ukuran keberhasilan hakiki
Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan dunia kepada siapa saja yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai. Namun, tidaklah Allah memberikan agama ini, kecuali kepada siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cintai. Sebesar apapun seseorang diberikan kekayaan dunia, niscaya lambat laun ia yang akan meninggalkan dunia atau dunia yang akan meninggalkannya.
Kalau memang dunia menjadi ukuran kemuliaan seseorang, tiada kan Allah Subhanahu wa Ta’ala membiarkan Rasulullah beserta keluarga beliau melalui bulan demi bulan hanya dengan mengkonsumsi aswadan.
Aswadaan artinya kurma dan air. Dalam kesederhanaan, purnama demi purnama beliau dan keluarga beliau hanya makan kurma dan minum air.
Dan pernah juga Umar bin Al Khattab menemui beliau di kamar. Pada punggung rasulullah terdapat bekas anyaman daun kurma dari tikar tempat beliau tidur. Umar bin Al Khattab kemudian menangis dan berkata,
"Wahai Rasulullah, engkau adalah manusia pilihan Allah, kenapa keadaanmu seperti ini sedangkan para pembesar Romawi dan Persia hidup dalam keadaan mewah?"
Beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- berkata, "Bukankah engkau ridha bila bagi mereka dunia, dan bagi kita akhirat wahai Umar?"
Bagi mereka dunia, bagi kita akhirat.
Jika dunia sebagai ukuran keberhasilan maka lihatlah bagaimana negara-negara kufar berhasil memajukan teknologi, ekonomi, infrastruktur dll. Di Rusia, Amerika, Inggris, Jepang, Belanda, Australia dsb. Namun apakah itu semua menjadi keberhasilan secara hakiki? Yaitu yang mendapat balasan Kebahagiaan kehidupan kekal di Akhirat? Apabila teknologi sekarang bisa memudahkan manusia, maka termasuk pula memudahkan manusia melaksanakan ketaatan maupun juga memudahkan melaksanakan kemaksiatan. Internet bisa menjadi sarana menyebarkan dakwah namun bisa juga menyebarkan konten-konten kejelekan. Berbeda dengan ilmu agama yang semakin jauh dari generasi Nabi Shallallahu A'alaihi Wasallam maka ilmu agama semakin berkurang. Padahal ilmu agama yang mengangkat derajat manusia:
“Katakanlah: “Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?” (QS. Az-Zumar: 9)
Dan Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya niscaya Allah akan menjadikannya faham dalam masalah agama.” (HR. Al-Bukhari no. 71, 2948, 6882 dan Muslim no. 1037)
Dan telah tersebut dalam Hadits Nabi Shallallahu A'alaihi Wasallam bahwa:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”
Jika manusia mengira bisa mengembangkan teknologi, ekonomi, infrastruktur namun semakin menjauhkan dari kebenaran maka hakikatnya itu adalah istidraj dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian ia akan mengalami kerugian yang abadi. Silakan cari apa arti 'istidraj'.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al Hadid: 20]
Menolak kebenaran/Meremehkan Manusia (Sombong), Hasad
Di antara sekian banyak faktor yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah Ta'ala adalah al-kibr (kesombongan) dan al-hasad (kedengkian) yang ada pada dirinya.
Kesombongan dan kedengkian inilah yang menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah Ta'ala. Kedurhakaan Iblis ini adalah yang pertama kali dalam alam semesta. Hal itu terjadi karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan Adam Alaihi Salam. Di mana Allah Ta'ala memilih beliau untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah Ta'ala ajari beliau berbagai nama (benda) seluruhnya, serta Allah Ta'ala perintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya. Hal inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada Allah Ta'ala.
Demikian pula, kesombongan dan kedengkianlah yang menyeret Yahudi untuk tidak beriman kepada Allah Ta'ala dan mengingkari kenabian Muhammad Shallallahu 'Alahi Wasallam . Mereka adalah ahlul kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau Shallallahu 'Alahi Wasallam melalui kitab Taurat dan Injil. Sebelum beliau Shallallahu 'Alahi Wasallam diutus, mereka juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab bahwa waktu diutusnya Muhammad Shallallahu 'Alahi Wasallam telah dekat. Setelah diutusnya beliau Shallallahu 'Alahi Wasallam, mereka juga betul-betul yakin bahwa beliau Shallallahu 'Alahi Wasallam adalah utusan Allah Ta'ala, sebagaimana yakinnya mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.
Allah Ta'ala berfirman:
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Yang menyeret mereka untuk mendustakan dan enggan untuk beriman kepada beliau Shallallahu 'Alahi Wasallam adalah kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau bukan berasal dari bangsa mereka, di mana mereka merasa lebih mulia daripada bangsa Arab.
Apabila kesombongan dan kedengkian itu mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang paling besar, maka bagaimana tidak mungkin akan menyeret kepada dosa-dosa lain yang lebih kecil? Tentunya sangat mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan hidayah taufik dari Allah Ta'ala.
Segala yang benar adalah dari Allah Ta'ala dan kesalahan berasal dari khilaf saya yang ditiupkan Syaitan
-Tulisan dicopy dari beberapa situs-
Wallahu'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H