Menjadikan Akal semata untuk menghukumi baik/buruknya sesuatu
Imam Abu Daud meriwayatkan dari ‘Ali -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Seandainya agama itu dengan akal, niscaya bagian bawah khuf yang lebih pantas daripada bagian atasnya. Sungguh saya telah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas kedua khuf beliau”.
As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Ta'ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Ta'ala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Ta'ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Menjadikan dunia sebagai ukuran keberhasilan hakiki
Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan dunia kepada siapa saja yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai. Namun, tidaklah Allah memberikan agama ini, kecuali kepada siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cintai. Sebesar apapun seseorang diberikan kekayaan dunia, niscaya lambat laun ia yang akan meninggalkan dunia atau dunia yang akan meninggalkannya.
Kalau memang dunia menjadi ukuran kemuliaan seseorang, tiada kan Allah Subhanahu wa Ta’ala membiarkan Rasulullah beserta keluarga beliau melalui bulan demi bulan hanya dengan mengkonsumsi aswadan.
Aswadaan artinya kurma dan air. Dalam kesederhanaan, purnama demi purnama beliau dan keluarga beliau hanya makan kurma dan minum air.
Dan pernah juga Umar bin Al Khattab menemui beliau di kamar. Pada punggung rasulullah terdapat bekas anyaman daun kurma dari tikar tempat beliau tidur. Umar bin Al Khattab kemudian menangis dan berkata,
"Wahai Rasulullah, engkau adalah manusia pilihan Allah, kenapa keadaanmu seperti ini sedangkan para pembesar Romawi dan Persia hidup dalam keadaan mewah?"
Beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- berkata, "Bukankah engkau ridha bila bagi mereka dunia, dan bagi kita akhirat wahai Umar?"
Bagi mereka dunia, bagi kita akhirat.