Prakata
Tokoh dalam cerita ini adalah fiktif belaka, bersifat untuk menghibur semata dan bentuk kebanggaan saya terhadap pahlawan nasional.Diantaranya adalah Pangeran Diponegoro yang berjuang melawan penjajah Kompeni, Pribadi yang tangguh dan bercita-cita untuk lepas dari cengkeraman penjajah. Java Oorlog atau perang Jawa adalah perang yang menyulitkan Belanda, banyak biaya yang dikeluarkan Belanda menghadapi Pangeran Diponegoro, banyak pula perwira Belanda yang gugur, Belanda harus membangun benteng untuk mengurung gerak perjuangan Sang Pangeran, yang dikenal dengan benteng Stelsel.
Setting latar cerita adalah masa Sultan HB setelah perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi 2 Wilayah, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
Sadumuk Bathuk...
Sanyari Bumi...
Kudhu Ditohi Tekan Pati...
Diujung malam....., suara binatang malam berangsur mulai berganti suara kokok ayam jantan.
Setelah mengumandang adzan subuh, ditimur fajar mulai membayang perlahan Suara Jejak langkah penghuni mulai ramai menyambut pagi.
“Aku akan berangkat sekarang ibunda,”berkata seorang lelaki muda.
“Hati-hatilah ngger ...,sampaikan salamku untuk paman dan bibimu disana,”seorang wanita yang dipanggil ibunda itu menjawab.
“Ingat jangan menambah repot pamanmu, dia sudah cukup sulit untuk menghidupi dirinya sendiri,”berkata lelaki hampir setengah baya.
“Kemarau panjang membuat petani disana menunda menanam benih, walaupun musim tandur sudah tiba.”
“Kerjakan apa saja yang kau bisa, agar tidak menambah beban hidup pamanmu.”
“Kalau bisa kau bantu dengan sesuatu yang menghasilkan dan bisa dinikmati pamanmu,”berkata ayahnya.
“Baik ayahanda aku akan selalu mengingat pesan ayahanda dan ibunda..”
“Aku mohon diri sekarang...,”berkata anak itu.
“Berhati-hatilah...dan cepatlah kembali,”ayahnya berkata dengan nada dalam.
Dengan bekal beberapa bungkus nasi dan beberapa potong pakaian Wijaya bergegas pergi, sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
Wijaya adalah lelaki yang tampan, kulitnya bersih sawo matang, sorot mata yang teduh, bertubuh sedang dan memakai ikat kepala hijau pupus.
“Kau terlalu keras kepada anakmu...”
“Seharusnya tak kau pisahkan mereka dari teman sepermainannya,”berkata ibu lelaki muda itu.
“Tidak keputusanku sudah bulat..., dia tidak boleh bergaul dengan anak sebayanya disini, karena aku ingin dia mandiri dan tidak menyia-nyiakan masa mudanya.”ayahnya berkata.
“Dia masih terlalu muda kangmas.., apalagi untuk jauh dari orang tuanya,”sambil terisak ibu Wijaya mengusap matanya yang basah dengan air mata.
“Kau terlalu memanjakannya ..,dia itu laki-laki, sudah sepantasnya dia berbuat banyak untuk negeri ini,”ayahnya berkata tegas.
Wijaya berjalan melewati jalan utama di desa tempat tinggalnya, tempat ia berkumpul dengan teman-temannya, terasa berat langkahnya tetapi ia paksa untuk terus berjalan.
Sesampainya ujung jalan ia langsung berpacu dengan kudanya menuju tempat pamannya.
Ketika matahari sepenggalah Wijaya baru melewati perbatasan dusunnya.
“Apakah harus seperti ini...?”Wijaya bertanya dalam hati.
“Kenapa ayahanda menginginkan aku pergi,”Wijaya menarik nafas panjang, bermacam pertanyaan berkecamuk dipikirannya.
Perjalanan kerumah pamannya membutuhkan 1 hari dengan berkuda kemungkinan hampir senja Wijaya baru sampai ke dusun pamannya, menyusuri jalan perbatasan antara Kedu dan mataram, melewati pinggiran sungai Praga, kemudian jalan mendaki dan terjal ke lereng pegunungan.
Ketika matahari sampai diatas kepala Wijaya memperlambat kudanya untuk mencari tempat istirahat.
Tampak olehnya sebuah mata air diantara lekuk bebatuan kecil, walaupun musim kemarau panjang, tapi mata air itu masih mengalir karena letaknya diantara bebatuan dan dibawah pohon beringin.
Setelah bersuci Wijaya menunaikan kewajibannya sebagai mahluk ciptaanNya.
Setelah itu dia menyantap makanan bekal yang dibawa dari rumahnya, tak berapa lama melintas seorang lelaki dengan caping dan cangkul dipundak.
“Kisanak, bolehkah aku bertanya..?” Wijaya menyapanya.
Lelaki tua bertubuh tegap itu menjawab, “ada apa kisanak.., sepertinya kau dalam suatu perjalanan, menilik sikapmu..?”
“Betul Kisanak, dusun apakah ini..?”
Apakah dusun Tawang masih jauh..?”tanya Wijaya.
“Ini dusun Jetis.., jika kau berkuda maka saat senja mulai gelap kau akan sampai di dusun Tawang.”
“Dusun Jetis dan Dusun Tawang dilanda kemarau panjang tahun ini, hanya mata air ini yang masih mengalir..., jika pagi dan sore hari ramai penduduk desa untuk mengambil air dari mata air ini, mereka harus menunggu giliran untuk mengambil airnya,” berkata lelaki tua bercaping itu.
“Apakah tidak ada usaha untuk mencari sumber mata air yang lain selain mata air ini kisanak..?”
“Sudah dilakukan, tapi para warga dusun belum menemukan tanah yang basah seperti tempat ini,” kata lelaki tua itu sambil menghela nafas.
“Baiklah kisanak, terimakasih atas keteranganmu aku akan melanjutkan perjalanan,”Wijaya berkata.
“Silahkan anak muda berhati –hatilah, dusun jetis dekat dengan tawang, tetapi jalannya terjal dan mendaki, karena dusun tawang dekat dengan pasar mati yang datarannya landai meskipun diatas bukit,”lelaki itu menjelaskan.
”Terimakasih kisanak.., aku mohon diri," Wijaya melanjutkan perjalanan, tetapi tidak memacu kudanya karena jalan yang mendaki.
Ia harus melewati pasar mati karena dusun Tawang sedikit menurun setelah Pasar mati.
Pasar mati adalah sebuah pasar yang ramai jika musim panen biasanya legi, tetapi akan sepi jika musim kemarau tiba atau hanya sebagian kecil penduduk dusun yang melakukan jual beli. sesaat kemudian sampailah wijaya di pasar mati, masih ada beberapa penjual dan pembeli yang belum pulang meninggalkan pasar.
Tidak banyak barang yang diperjualbelikan karena musim hujan belum tiba hanya beberapa umbi-umbian dan sejenis kacang-kacangan ada juga beberapa alat cocok tanam.
Setelah melewati pasar mati, jalan mulai menurun, dikanan kiri jalan tampak pohon daunnya mengering dan berguguran.
Hanya Umbi-umbian dan kacang-kacangan yang dapat bertahan dimusim seperti ini.
Melewati jalan berkelok dan ngrumpil sampailah wijaya didusun Tawang, sebagian penduduknya bercocok tanam dan berternak lembu.
Ketika sampai disebuah halaman yang tidak begitu luas, tampak tanaman teh-tehan memagari halaman depan rumah, disamping rumah tampak buah maja berjajar dan dibelakang rumah bergerombol rumpun bambu.
Wijaya menambatkan kudanya lalu mengetuk pintu sambil memberikan salam, terdengar jawaban dari dalam rumah diiringi suara derit pintu.
“Oh kau nak,...apakah kau Wijaya ...?”
“Benar paman aku Wijaya kemenakan paman,”wijaya menjawab lalu mencium tangan pamannya.
“Benarkah itu kau nak..,”perempuan stengah baya yang tidak terpaut jauh dari ayah Wijaya menyapa.
“Benar bibi..aku datang diminta ayah untuk menjenguk bibi dan paman, bila diijinkan aku akan tinggal beberapa lama disini
“Tentu boleh Wijaya..., kau adalah kemenakanku, marilah kita duduk sambil berbincang, biarlah bibimu membuatkan minum.
Setelah menghidangkan minuman dan beberapa potong geblek , sejenis makanan dari pati ketela pohon.
“Bagaimana kabar keluargamu disana..?”
“ Baik - baik saja paman, ayah masih sibuk dengan tugas-tugasnya, tetapi masih menyempatkan diri berkebun, ibuku kadang mengisi waktu dengan membatik.
“Kami disini juga dalam keadaan baik-baik, hanya saja kemarau ini membuat persediaan lumbung padi kami menjadi menipis.”
“Kompeni dan antek-anteknya semakin menambah penderitaan rakyat, mereka merampas hasil bumi dan hewan ternak.”
“Mereka tidak segan-segan bertindak kasar, jika orang pribumi melawan.”
“Tetapi saat ini, hal itu tidak terjadi di dusun tawang, jetis, dan sekitar lereng bukit ini, karena untuk sampai kedusun ini, jalan yang dilalui cukup terjal,''ki kerta menarik nafas panjang, tampak kegelisahan membayang diraut wajahnya yang tampak keriput.
“Paman, jika harta benda penduduk di bawah lereng bukit habis, bukan tidak mungkin kompeni akanmemaksa naik ke lereng bukit ini dan hal yang sama akan terjadi pula ditempat ini.
“Benar ngger.., bibinya menambahkan pasar mati yang biasanya ramai saat hari pasaran legi, kini mulai susut, pedagang takut membawa dagangannya, sementara pembeli dari daerah lain tidak mau mengalami kerugian, jika barang atau hewan ternak dirampas kompeni.”
“Apakah kita tidak mampu membela diri bersama seluruh pemimpin padukuhan paman...?”wijaya bertanya.
“Tentu kita akan berusaha ngger..tetapi kita butuh persiapan yang matang, kalau kita hanya mengikuti arus perasaan, kemungkinan hasilnya akan memperparah derita para penduduk dilereng bukit ini. Laskar pejuang rakyat masih dihimpun di daerah Deksa.”
“Sudahlah Wijaya beristirahatlah dulu..tentu kau lelah setelah menempuh perjalanan jauh, besok kita berbincang-bincang lagi. Bibimu sudah menyiapkan bilik disebelah kanan rumah ini.”
“Baiklah paman…, aku mohon diri untuk mandi dan beristirahat,”
“Silahkan ngger...”Nyi Kerta mempersilahkan.
Ketika fajar menjelang Wijaya bergegas ke padasan untuk bersuci, lalu melaksanakan kewajiban kepada sang Maha Kuasa.
Setelah itu ia membersihkan bilik tidurnya dan menyapu halaman, Nyi Kerta sudah sibuk di perapian untuk merebus air dan ketela pohon.
“Ngger kau bangun pagi sekali dan sudah sibuk merapihkan rumahku...,”ujar pamannya.
“Tidak apa paman, aku sudah terbiasa mengerjakan ini dirumah,”sahut Wijaya.
“Marilah kita berlatih beladiri, tentu kau sudah memiliki kemajuan yang pesat dibawah bimbingan ayahmu.”
“Ah paman terlalu memujiku, sesungguhnya ayah hanya mengajarkan dasar-dasarnya saja.”
Sambil berjalan kearah pekarangan rumahnya ki Kerta menjelaskan, “dibelakang rumah ini terdapat arena yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk kita berlatih.”
Keadaan pekarangan itu tidak nampak dari luar pekarangan rumah, karena dikelilingi pohon maja yang berjajar rapat, dan rumpun bambu yang bergerombol.
Dipekarangan itu mulailah mereka berlatih, Wijaya mulai dari jurus-jurus sederhana, perlahan-lahan mulai dari cara memukul, menendang, menangkis dan bergerak dengan lompatan-lompatan panjang.
Peluh mengalir disekujur tubuh Wijaya, lama-kelamaan gerakannya semakin cepat, beberapa saat kemudian Ki kerta mulai menjajaki kemampuannya. Mula-mula arah serangannya ditujukan kebagian samping wajah, wijaya menghindar dengan merendahkan tubuhnya, dilanjutkan dengan pukulan kearah kening, wijaya mundur selangkah kebelakang dengan menarik kepalanya.
Serangan Ki Kerta semakin meluncur deras bertubi-tubi, Wijaya tidak bisa mengelak terus menerus, sesekali dia menangkis serangan, hingga akhirnya sebuah tendangan dengan lompatan panjang mengarah kedadanya, Wijaya mengelak dengan cara berguling kesamping, Wijaya tampak kewalahan menghadapi serang Ki Kerta yang bertubi-tubi.
Setelah beberapa lama akhirnya Ki kerta memberi isyarat bahwa latihan sudah selesai, dan meminta Wijaya mengatur nafas.
”Luar biasa kau sudah sampai tataran yang cukup baik seusiamu, tinggal kau matangkan dengan giat berlatih.”
“Ya paman, hanya itulah yang dapat aku capai, semoga paman sudi membibingku untuk seterusnya.”
Dari pintu belakang rumah Nyi kerta menghampiri,”sudah cukup Ki.., dia baru saja datang berkunjung, kau sudah ajak dia berlatih dengan memeras tenaga…, marilah aku sudah membuatkan minuman hangat dan beberapa ketela rebus.”
“Baiklah Nyi..aku terlalusemangat melihat Wijaya yang bersungguh-sungguh dalam belajar beladiri, seperti diriku waktu masih muda Nyi...,”Ki kerta menjawab sambil terkekeh-kekeh.
“Ah kau, Wijaya memang seperti ayahnya yang tekun dan bersungguh-sungguh berlatih, tidak seperti kau yang kadang bermalas-malasan dan lebih senang memancing,”Nyi kerta menjawab sambil merengut.
“Tapi tetap saja aku paling disayang ayah dan ibuku, karena aku sering membawa hasil memancing yang cukup untuk makan keluarga,”Ki kerta menjawab sambil tersenyum.
Sementara Nyi kerta hilang dibalik pintu untuk melanjutkan pekerjaan sehari-hari.
“Marilah kita santap hidangan yang disediakan bibimu, setelah duduk diserambi dan menyantap hidangan seadanya,”Ki Kerta berkata.
“Wijaya..., sebenarnya ilmu beladiriku tidak terpaut jauh dari ayahmu, hanya saja mungkin karena perkembangan ada sedikit yang berbeda. Karena sumber ilmu beladiri kita sama, maka tentu unsur gerak dasarnya sama, perlu kau ketahui bahwa ilmu beladiri yang aku dan ayahmu pelajari, lebih menonjolkan kekuatan dan pergerakan kaki, tetapi bukan melupakan unsur kekuatan anggota bdan yang lain, jadi kuda-kuda dan ketahanan serta kecepatan kaki dibutuhkan.
Wijaya mendengarkan sungguh-sungguh, hasil pengamatan pamannya tentang ilmu beladiri yang telah ia kuasai.
“Wijaya.., ayahmu mengirimu kesini tentu bukan hanya sekedar menengok dan sebuah bentuk perhatian kemenakan kepada pamannya, tetapi tentu ada pesan lain..?”
Wijaya beringsut dari tempat duduknya dan menjawab dengan bersungguh-sungguh.
“Benar paman.., selain melihat keadaan paman, ayah berpesan agar aku mendapat bimbingan paman dalam ilmu bela diri dan ilmu yang bersumber dari yang Maha Pencipta.”
Ayah juga berpesan bahwa aku tidak boleh malas dan merepotkan paman, aku harus bisa membantu dengan kerja apa saja agar tidak membebani paman.”
“Tentu tidak ngger.., kau tidak merepotkan aku, kalau ilmu bela diri aku akan berusaha semampuku, tapi untuk ilmu yang bersumber dari Yang Maha Pencipta, kau bisa berguru pada Kyai Fatayani.”
“Kyai Fatayani adalah Penasehat sekaligus Guru bagi Kanjeng Pangeran Diponegoro, beliau selalu mendampingi perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajah Belanda,”Ki kerta menjelaskan.
“Paman.., yang terakhir ayah ingin aku ikut berjuang melawan penjajah kompeni,dengan Laskar yang manapun juga, Nyi Ageng serang atau Kanjeng Pangeran Diponegoro.”
“Baiklah..., ayahmu ingin agar kau menempa diri, sebagai bekal kelak bagimu dimasa depan dan melepaskan mataram dari penjajahan.”
“Sekarang beristirahatlah, nanti kita berbincang lagi, menentukan langkah-langkah apa yang sebaiknya kau ambil.”
Kemudian Wijaya bergegas ke kulah untuk mandi dan bersuci, didusun Tawang sebagaimana dusun lainnya dilereng bukit itu mengandalkan air dari mata air yang dialirkan melalui bambu-bambu dan ditampung dikulah.
Setelah menunaikan kewajiban, wijaya merebahkan diri diamben bambu, karena kelelahan akhirnya iapun tertidur. Saat Matahari condong kebarat, Wijaya terbangun dan menghampiri pamannya diserambi.
Tampak pamannya sedang merapikan kayu bakar.
“Paman.., lain kali biar aku saja paman yang membelah dan menumpuk kayu bakar itu,”Wijaya berkata.
“Tidak apa ngger hanya sedikit, mari duduklah disini aku ingin berbicara.”
“Tentu kau akan jemu disini, jika tidak ada pekerjaan yang kau tekuni tiap hari,” Wijaya menjawab.
“Benar paman.., aku sudah berjanji akan melakukan kerja apa saja.”
“Nah karena itu aku jelaskan, dilereng Girimulya ini ada sebuah dusun Pendawareja, disitu tinggal seorang saudagar yang masih keturunan keraton bernama Ki Prajasena.”
“Kau dapat bekerja ditempat itu sebagai pemetik hasil kebun seperti kelapa, cengkeh atau hasil perkebunan lainnya.”
“Nanti malam kita kesana, kau akan aku perkenalkan dengan juru rumah tangga disana, dia yang mengatur keperluan di rumah Saudagar itu.”
“Baik paman,nanti malam kita berangkat kesana, tentu aku akan mendapat pengalaman dan bergaul dengan orang orang didusun ini,”jawab Wijaya penuh semangat.
Ketika malam mulai menjelang berangkatlah mereka ke rumah saudagar ki Prajasena, untuk menemui juru rumah tangga Ki Wijil.
“Selamat datang Ki Kerta, apakah keperluanmu ingin bertemu denganku ?”Lelaki berkepala botak dan berkumis tebal itu bertanya.
“Terimakasih ki wijil.., kedatanganku bersama kemenakanku Wijaya, adalah bermaksud memohon pekerjaan bagi kemenakanku ini,”Ki Kerta menjelaskan maksudnya.
“Memang kami membutuhkan tenaga untuk mengurus perkebunan Raden Prajasena yang cukup luas ini, tapi tentunya orang yang pekerja keras bukan pemalas,”Ki Wijil menatap wijaya dengan tajam.
“Nah wijaya kau dengar apa syarat yang diberikan ki Wijil ?”Ki kerta bertanya.
“Baik Paman, aku akan bekerja dengan sepenuh hati.”
“Mulailah dengan kerjamu esok pagi, temuilah Ki Supa dan bekerjasamalah dengannya.”
Setelah menyampaikan maksudnya Ki Kerta dan Wijaya pulang ke rumah, Ki Kerta dan Wijaya langsung masuk kedalam biliknya masing-masing karena telah larut malam.
Sementara itu terdengar petir menggelegar bersahutan diiringi hujan deras.Ki Kerta bersyukur dalam hatinya, akhirnya yang ditunggu para petani datang juga, Ki kerta tersenyum dan tidak lama kemudian terlelap.
Keesokan harinya Wijaya bertemu Ki Supa dan mendengarkan penjelasannya,”Wijaya.., dirumah raden prajasena ini ada 2 bangunan, bangunan yang ada didepan adalah kediaman raden prajasena sendiri, dan bangunan ini, yang letaknya dibelakang bangunan utama itu adalah tempat para abdi dalem.”
“Raden Prajasena adalah seorang saudagar yang mempunyai usaha jual beli hasil perkebunan dan kuda tunggang yang terkenal gagah dan tegar.Nah ..tugasmu salah satunya adalah mengurus kuda itu memandikan dan sesekali kau bawalah berkelilling dusun agar jika ada pembeli, kuda itu tidak jemu berada dikandang dan tetap trengginas.”
Wijaya mengangguk-angguk dan menjawab,”baik Ki Supa aku akan melaksanakan sebaik-baiknya.”
Wijaya mulai bekerja memberi makan kuda, lalu membawanya ke kulah untuk dimandikan.
Terdapat 5 ekor kuda, Wijaya dalam seminggu harus secara bergantian menunggangi kuda berkeliling dusun. Tetapi alangkah terkejutnya ia, karena ketika kuda yang berwarna putih ia tunggangi menjadi liar.
Kuda itu mengguncang-guncang tubuh Wijaya, Wijaya mencoba mengendalikan tetapi kuda itu semakin tidak terkendali. Kuda itu mengintari halaman kemudian berpacu mengitari Kediaman Raden Prajasena, Wijaya menjadi berdebar-debar ketika dari pendapa melintas seorang gadis yang seusia dengannya.
Ternyata kuda itu semakin liar dan akab menerjang gadis itu, Wijaya menarik kekang kudanya sekuat tenaga agar kuda itu berubah arah, tetapi kuda itu ternyata hanya berubah arah sedikit dan menyerempet gadis itu.
Gadis itu jatuh dan merintih kesakitan, rupanya kaki kanannya sempat terinjak kuda, Wijaya tak tahu apa yang harus dilakukan.
Ki Supa terengah-engah menghadap Raden Prajasena,”ampun Raden..., kuda raden mengamuk dihalaman..!”
He...!, siapa yang berani menunggangi ?”
“Bukankah kau tahu kuda itu hanya jinak padaku..?”
‘Ampun Raden.., nanti hamba jelaskan, tetapi kuda itu telah menerjang putri Raden !”
“Apa..?”
Raden Prajasena lalu melangkah keluar dan ia melihat putrinya dipapah menuju ke pendapa oleh Ki Wijil.
Wajah Raden Prajasena merah padam, ki prajasena adalah lelaki berbadan tegap dengan kumis yang tipis, ia mudah sekali tersinggung bila putrinya diganggu.
Raden Prajasena menatap kuda itu, lalu bersuit nyaring, tiba-tiba kuda itu meringkik dan berhenti mendadak.Ki Wijil, K i supa yang ada disisi Raden Prajasena bernafas lega.
“Aku minta kalian semua menghadap, setelah aku melihat keadaan anakku,”Raden Prajasena kemudian menemui putrinya.
Terlihat seorang tabib sedang memijit kakinya dan melumurinya dengan kencur, terlihat putrinya itu merintih menahan sakit.
“Bagaimana keadaan anakku tabib..?” Raden Prajasena bertanya.
“Raden tidak perlu khawatir, aku sudah memijit dan memberinya ramuan obat, mungkin dalam 2 atau 3 hari memarnya akan menyusut perlahan”tabib itu menjelaskan.
“Baiklah aku harap kau setiap hari datang, untuk melihat keadaan putriku dan usahakan secepat mungkin pulih,”Raden Prajasena berkata.
“Hamba usahakan Raden.., hamba akan datang setiap hari untuk mengganti balutan luka itu, sekarang hamba mohon diri”tabib itu berkata,setelah itu meninggalkan kediaman Raden Prajasena.
Beberapa saat kemudian Wijaya, Ki Wijil, Ki Supa serta Putri Kinasih anak gadis dari Raden Prajasena menghadap.
Wijaya menghadap dengan wajah tertunduk, merasa menyesal karena telah membuat masalah dihari pertama dia bekerja dirumah itu.
Raden Prajasena berkata dengan nada dalam,”Wijil ceritakan kepadaku mengapa ini bisa terjadi he…?”
“Ampun Raden…, pemuda ini yang bernama Wijayalah yang membuat ulah, ia aku perbantukan bersama Ki Supa untuk mengurus hasil kebun dan kuda-kuda raden, tetapi dia lancang menunggangi kuda Raden,”Ki Wijil berkata sambil menggeram.
“Apa katamu Ki Supa ..?”
“Ampun Raden.., Hamba memang memerintahkan Wijaya untuk merawat kuda, tetapi hanya 4 kuda yang aku perintahkan.”
“Dan hamba memang tidak memberi tahu, bahwa kuda yang berada dalam kandang terpisah, yaitu kuda raden tidak boleh ia tunggangi , kecuali hanya dimandikan, hamba mohon maaf Raden.
Seketika tampaklah kemarahan Ki Wijil, ia ingin menampar wajah Wijaya, tetapi tertahan, ketika pergelangan tangannya ditangkap Raden Prajasena.
“Cukup…!”
“Aku tidak mau ada keributan dirumah ini, apalagi istriku sedang sakit…,”Raden Prajasena membentak.
“Bagaimana dengan kau Wijaya ?”
“Kau baru bekerja dirumahku, tapi kau tidak patuh dengan aturan yang ada,”sambil menatap tajam, Raden prajasena berkata.
“Ampun Raden…., hamba mengaku bersalah dan sangat menyesal telah lancang menunggangi kuda Raden.
“Jika Raden tidak berkenan atas kerja yang hamba lakukan, hamba bersedia mundur dari pekerjaan hamba.”
“Dan kepada Raden dan Putri Kinasih, hamba mohon maaf sebesar-besarnya, karena telah membuat putri cedera, akibat kecerobohan hamba.”
Putri Kinasih memandang Wijaya sekilas kemudian menundukkan kepalanya lagi.
“Cukup...!, aku tidak butuh penjelasanmu lagi, kali ini kau kuampuni, tetapi lain kali kau akan menyesal,”Raden Prajasena membentak.
“Sekarang kuminta kalian pergi dan selesaikan pekerjaan kalian masing-masing !”
Ki Wijil, Ki Supa dan Wijaya meninggalkan kediaman Raden Prajasena menuju rumah para abdi dalem, Ki Wijil tampak menahan amarah.
Sesampai disana Ki Wijil langsung memarahi Wijaya.
“Anak bodoh...!”
“Kau telah mencoreng wajahku dihadapan Raden Prajasena.”
“Aku mohon maaf Ki Wijil.., aku akan mematuhi aturan dirumah ini.”
“Ya sudah...!, Sekarang kau boleh kembali bekerja.
“Dan kau Ki Supa...!, ajari anak ini tata krama,”Ki Wijil membentak.
“Jangan lupa suruh anak ini membantu tabib itu untuk mencari ramuan sebagai obat Putri Kinasih!”
Sepeninggal Ki Wijil, Ki Supa memberikan pesan kepada Wijaya.
“Wijaya..., aku mohon maaf ngger, karena aku lupa memberitahumu bahwa dikandang yang terpisah itu, adalah kuda milik Raden Prajasena dan tugasmu atas kuda itu hanya cukup memandikannya, tetapi tidak untuk kau tunggangi.”
“ Tidak apa kiai.., aku juga yang ceroboh.., tidak bertanya dahulu sebelum melakukan tindakan,”Wijaya menjawab dengan kepala tertunduk.
“Ya sudahlah ngger...matahari sudah condong kebarat kau boleh pulang, besok kita mulai dengan kerja yang lebih baik lagi, Ki Supa berkata bijak. Sesungguhnya wijaya tidak bekerja satu hari penuh, jika matahari sudah condong kebarat dia diperbolehkan pulang.
Sisa hari itu ia pergunakan untuk berlatih beladiri bersama pamannya. Sore itu Wijaya mulai berlatih memanfaatkan kekuatan kaki, pamannya menancapkan patok- patok bambu setinggi lutut. Wijaya melompat dari patok yang satu ke patok yang lain, bergerak perlahan tetapi lama kelamaan semakin cepat.
Ia melatih jurus-jurusnya diatas patok-patok bambu itu, tak lama berselang pamanya melompat ke patok-patok bambu itu dan mulai menyerang dengan memukul ke arah dada, Wijaya menepis dengan tangan kanannya sambil memiringkan tubuhnya, kemudian disusul dengan tendangan mendatar, Wijaya menghindar dengan merebahkan diri, tetapi kaki dan tangannya tetap bertumpu pada patok-patok bambu itu.
Saat posisi tubuh wijaya terlentang menghadap langit, Ki Kerta menginjak perutnya, tetapi tidak terlalu keras atau hanya menekan, itu dikarenakan Wijaya akan menggulingkan tubuhnya kesamping.
Seketika latihan itu terhenti dengan posisi perut Wijaya tertahan oleh kaki ki Kerta.
“Cukup Wijaya...!”
“Latihan hari ini kita sudahi dahulu sampai disini, aturlah nafasmu,'' Ki Kerta melompat keluar dari arena patok bambu tersebut.
Sementara Wijaya bangkit dan mengikutinya, kemudian menghampiri pamannya.
“Gerakanmu sudah bertambah cepat, tetapi ada beberapa kelemahan, nanti setelah makan malam aku ingin memberi petunjuk, guna memperbaiki kelemahan itu.”
“Sekarang beristirahatlah sejenak dan kemudian bersihkan dirimu, karena matahari hampir tenggelam.”
Setelah menyantap makan malam, Ki kerta memberikan wejangan kepada Wijaya.
“Ada beberapa kelemahan, atas tindakan menghadapi serangan yang menyudutkan, seharusnya tadi setelah kamu merebahkan diri, kau tidak perlu mengelak dengan berguling kesamping, tetapi cukup kau menggunting dengan kakimu, aku pasti akan menghindar dengan melompat, setelah itu kau punya waktu yang cukup untuk memperbaiki kuda-kudamu,”Ki Kerta menjelaskan.
Wijaya mangangguk-angguk dan menjawab,” paman, tadi aku bimbang langkah apa yang harus aku ambil untuk menghindar, jika aku menangkis kaki paman, tentu kekuatannya akan kurang, karena tangan dan kakiku bertumpu pada patok bambu, tentu lain halnya jika tubuhku diatas tanah.”
“Kau pintar mengambil kesimpulan Wijaya, tidak semua medan pertempuran itu ada ditanah lapang, tetapi bisa juga dibukit berbatu, nah.., dengan patok itulah cermin dari medan yang sulit, dan itu perlu kau cermati.”
“Baiklah..,aku ingin bertanya, bagaimana dengan kerjamu dirumah Raden Prasena ?”
Wijaya kemudian menjelaskan apa yang terjadi dikediaman Raden Prajasena. Ki Kerta mengangguk-angguk dan berkata,”berhati-hatilah ngger.., Raden Ayu Prajasena ketika menikah dengan Raden Prajasena, sudah mempunyai anak yaitu Putri Kinasih, tetapi pernikahan yang kedua kali ini tidak mempunyai anak, dan yang membuatku aneh dalam usahanya berdagang, kompeni tidak berani menjarah atau memungut pajak darinya.”
“Suaminya pertamanya adalah Raden Tejaperbawa, yang waktu ikut dalam mengusir penjajah dari Kedu, penyerangan itu gagal karena sudah tercium Kompeni, ada pengkhianat dari laskar pribumi, dan saat itu ada pejuang yang gugur ada pula yang tidak diketahui nasibnya, salah satunya adalah Raden Tejaperbawa.”
“Karena sekian lama tidak kembali dan Raden Prajasena mengabarkan bawa beliau mendapat kabar, bahwa Raden Tejaperbawa terluka parah, ketika ditawan Kompeni, tak beberapa lama kemudian beliau meninggal, aku dan Raden Prajasena memang ikut dalam penyerangan itu, tetapi aku tidak tahu nasib Raden Tejaperbawa.”
“Raden Prajasena merasa bersalah karena dia sebagai pemimpin laskar, tidak bisa menjaga keselamatan Raden Tejaperbawa, kemudian beliau membujuk Raden Ayu untuk menikah, Ki Kerta menarik napas.
“Dan yang membuat aku prihatin, Raden Ayu sekarang sakit, walaupun sudah dipanggulkan tabib dari kota, penyakitnya tak kunjung sembuh.”
“Kau harus berusaha mencari tahu, apa sebenarnya penyakit Raden Ayu, karena aku sebagai kawan Raden Tejaperbawa merasa turut bertanggung jawab atas kelanjutan hidup dirinya dan Putri Kinasih.”
“Sebenarnya apa penyakitnya paman ?”Wijaya bertanya.
“Tidak begitu jelas ngger..,menurut Ki Supa, kira-kira 1 bulan yang lalu, ketika ia terbangun dari tidurnya, tiba-tiba liruh tubuhnya tidak bisa digerakkan.
“Lumpuh..!, maksud paman..?”Wijaya terheran-heran.
“Hanya tubuhnya saja yang tidak berfungsi sengan baik, tetapi beliau tetap sadar dan dapat berbicara dengan baik, itulah kadang yang membuat Putri Kinasih murung.
“Ngger..hari sudah larut, marilah kita tidur, dan ingatlah pesanku, tolong kau jaga Putri Kinasih,”Ki Kerta mengakhiri pembicaraan dan mereka masuk ke bilik masing-masing.
Malam itu udara terasa dingin dan gerimis yang tak henti sampai fajar menjelang, seperti biasa Ki Kerta sekeluarga melakukan kegiatan sehari-hari.
Setelah melakukan tugas-tugasnya Wijaya menuju dusun Pendawareja yang letaknya menuruni pasar mati, udara terasa sejuk karena musim hujan telah tiba, tampak sawah-sawah mulai digarap para petani.
Setibanya di kediaman Raden Prajasena, langsung menuju rumah abdi dalem.
Ditempat itu tampak Ki supa sedang berbincang dengan tabib yang merawat kinasih, setelah memberi salam ia langsung duduuk diantara mereka.
“Apakah aku terlambat Ki Supa...?”Wijaya tersenyum ramah.
“Tidak ngger...aku dan Kiai Kapulaga tabib yang merawat Putri Kinasih itu juga baru datang, perkenalkanlah dirimu Wijaya,”Ki Kerta berkata.
“Perkenalkan Kiai, aku Wijaya..., salah satu abdi dalem disini Kiai...,”Wijaya mengangguk hormat.
“Terimakasih ngger..., namaku Kapulaga, orang biasa memanggilku Kiai Kapulaga, tabib itu menjawab,”sambil tersenyum ramah.
Sambil minum minuman hangat, mereka berbincang-bincang sesaat, tentang keadaan Mataram.
Setelah itu Ki Supa mempersilahkan Kiai Kapulaga dan Wijaya menunggu diserambi samping kediaman Raden Prajasena, kemudian Ki Supa memerintahkan seorang emban untuk memapah Putri Kinasih keserambi samping.
Setelah Putri Kinasih didudukkan disebuah kursi, tabib itu mohon ijin untuk memeriksa kakinya.
“Silahkan Kiai...,”Putri Kinasih meluruskan kaki kanannya.
“Apa sekarang yang putri rasakan ?”Ki Kapulaga bertanya.
“Sekarang memarnya sudah berkurang kiai, tetapi masih terasa sakit,”Putri kinasih menjelaskan.
“Baiklah, sekarang kau wijaya, ambilah air hangat dan tumbuklah ramuan yang sudah aku pilah-pilah itu.”
Kemudian tabib itu memijit perlahan kaki Putri Kinasih, anak gadis yang seusia dengan Wijaya itu, meringis kesakitan, setelah selesai memijit kakinya,tabib itu melumurinya dengan ramuan yang ditumbuk Wijaya, kemudian membalutnya dengan kain yang baru.
“Nah putri...sekarang sudah selesai, beristirahatlah....,”tabib yang bernama Kiai kapulaga itu menyarankan.
“Terimakasih Kiai.., tapi aku ada 1 permintaan..,”Putri itu menarik nafas dan tampak kemurungan diwajahnya.
“Apakah kiranya Putri ?”Kiai Kapulaga bertanya.
“Tolonglah Kiai lihat keadaan ibundaku, ayahanda sudah mendatangkan tabib keraton, tetapi kondisi ibundaku tak juga membaik,”Putri Kinasih menjelaskan.
Kiai Kapulaga dan Wijaya termenung,”Putri apakah tidak sebaiknya meminta ijin ayahanda putri ?”Kiai Kapulaga bertanya.
“Tidak Kiai ayahanda sedang pergi melihat hasil ladang, jadi tidak perlu meminta ijin darinya, cukup dariku dan ibundaku.”
Tabib itu termenung sesaat.., lalu berkata,”baiklah putri perkenankan aku memeriksa ibundamu, walaupun kemampuanku tidak sebanding dengan tabib dari keraton mataram.”
Kemudian Kiai Kapulaga dan Wijaya dibawa menghadap Raden Ayu Prajasena.
“Mohon maaf ibunda,aku membawa tabib dan seorang abdi dalem menghadap, untuk memeriksa keadaan ibunda.”
Tampak seorang wanita tidur dipembaringan, dengan kondisi lemah tetapi masih nampak kecantikan diwajahnya, walaupun rambutnya sedikit memutih,”Oh..kau Kinasih.., silahkan masuk Kiai.., bagaimana keadaan Kinasih ?”
“Sebelumnya perkenalkan namaku Kapulaga, mohon maaf atas kelancangan hamba masuk kedalam bilik Raden Ayu,”Kiai Kapulaga berkata.
“Tidak apa Kiai, sebelumnya ada seorang tabib dari keraton yang sering datang, tetapi tidak juga ada perubahan,”Raden Ayu berkata.
Baiklah Raden Ayu aku akan mulai ..., tolonglah bantu ibunda putri membalikkan badannya,”pinta Kiai kapulaga kepada Putri Kinasih.
Kemudian tabib itu meraba pundak dan punggung Raden Ayu, sambil menekan sedikit, tiba-tiba wajahnya menjadi tegang dan keringat dingin mengalir diwajahnya, dahinya berkerut seperti keheranan.
Setelah itu memberi isyarat kepada Putri Kinasih,untuk membalikkan tubuh Raden Ayu seperti semula.
Raden Ayu memandang tabib itu keheranan,”ada apa kiai ?”
Kiai Kapulaga termenung sejenak, kemudian berkata,”hamba mohon ampun Raden Ayu, masih ada harapan bagi Raden Ayu untuk sembuh, tetapi hamba mohon waktu untuk mencari ramuan yang cocok bagi Raden Ayu, dan satu permintaan hamba, tolong kehadiranku dibilik ini jangan diberitahukan Raden Prajasena.”
Sejenak suasana di bilik itu menjadi hening, Raden Ayu, Putri Kinasih dan Wijaya terheran-heran.
Kemudian Raden Ayu berkata,’kenapa harus dirahasiakan Kiai ?”
“Apakah aku memang tidak bisa disembuhkan ?”
“Bukan begitu Raden Ayu, sebenarnyalah aku tidak ingin membuat Raden Prajasena tersinggung, karena kehadiranku dibilik ini tidak mendapat restu darinya, meskipun niat Putri Kinanti baik, aku tidak ingin timbul salah paham,”Ki Kapulaga menghela nafas panjang.
“Untuk itu Raden Ayu sebelum Raden Prajasena datang hamba mohon diri terlebih dahulu, nanti aku akan mengabari melalui Wijaya, tentang pengamatanku atas penyakit Raden Ayu maupun beberapa tanaman obat yang harus hamba cari,’Ki Kerta menjelaskan.”
“Baiklah Kiai...walaupun aku masih berteka-teki atas penyakitku, terutama tentang kerahasiaan kehadiranmu, aku berharap kau dapat bekerja keras membantuku, aku tidak ingin melihat Kinanti sedih,”Raden Ayu berkata sambil memandang putrinya.
Sementara Putri Kinanti menitikkan air mata, sambil menundukkan kepala. Setelah itu Kiai Kapulaga & Wijaya meninggalkan bilik Raden Ayu Prajasena dan keluar dari kediaman Raden Prajasena, menuju rumah abdi dalem, untuk menemui Ki Supa.
Tabib itu menceritakan, bahwa ia diminta Putri Kinanti untuk memeriksa ibunya, dan ia juga mengatakan langkah-langkah yang harus dia ambil, juga berpesan kepada Ki Supa untuk merahasiakan kehadirannya dibilik Raden Ayu Prajasena.
Ki Supa terkejut, lalu bertanya,”apakah ada sesuatu yang janggal Kiai ?”
“Aku tidak bisa memaparkannya disini, nanti saat Wijaya selesai dengan tugas-tugasnya, suruhlah dia mampir ke gubukku, aku akan memberitahukan kepadamu lewat Wijaya,”Kiai Kapulaga menjelaskan.
“Baiklah Kiai, aku persihkan kiai jika akan kembali pulang, nanti setelah Wijaya selesai dengan tugasnya, akan aku minta Wijaya berkunjung ketempatmu,”Ki Supa mempersilahkan.
Setelah itu Kiai Supa dan Wijaya, mengerjakan tugas sehari-hari dikediaman bangsawan itu, hari itu wijaya mendapat perintah, memetik beberapa buah kelapa, untuk dibuat minyak kelapa, sebagai keperluan memasak dirumah itu, setelah semua kelapa selesai ditempatkan dalam sebuah keranjang bambu, Wijaya kembali menghadap Ki Supa.
“Wijaya…,”hari ini aku tidak memberimu pekerjaan terlalu banyak, karena kau harus segera ke rumah tabib itu, aku menjadi penasaran tentang penyakit yang diderita raden ayu, pergilah ngger…, tabib itu menunggumu dipasar mati, dia adalah juga seorang penjual gerabah dipasar itu,”Kisupa berkata.
“Baik Kiai, aku mohon diri sekarang,”Wijaya meninggalkan Ki Supa dan bergegas menuju Pasar Mati.
Ia berjalan menyusuri jalan di dusun Pendawareja, tempat tinggal Raden Prajasena, dusun Pendawareja termasuk dusun yang subur, karena berada didataran rendah, meskipun letaknya dibawah lereng Gunung, karena dapat memanfaatkan aliran air dari dataran tinggi.
Nampak sawah yang menghijau, karena petani baru menyemai padi, setelah musim hujan tiba, kemudian hampir disetiap penduduk terdapat hewan ternak, seperti lembu, kambing dan beberapa macam unggas.
Andai saja keserakahan manusia akan harta dan kekuasaan bisa dibendung, mungkin nusantara ini akan gemah ripah loh jinawi.
Sebenarnyalah tanah ini sudah penuh ketamakan, perebutan tahta diantara kadhang sendiri, kehancuran majapahit karena pemberontakan, disusul berdirinya Demak Bintara, pemindahan kekuasaan Ke Pajang, dan kemudian munculnya mataram baru, belum sampai habis disitu, mataram dipecah belah lagi menjadi 2 bagian atas siasat kompeni, melalui perjanjian Giyanti.
Akhirnya Wijaya sampai di Pasar Mati, ia sering melewati pasar itu jika pulang dari kediaman Raden Prajasena dan dia tahu letak penjual gerabah ada disudut pasar, tetapi ia belum kenal dekat dengan Kiai Kapulaga.
Matahari sudah condong kebarat, dipasar itu tampak sepi, sementara Kiai kapulaga tampak duduk dibawah pohon, setelah merapihkan dagangannya.
“Silahkan ngger, kita duduk dibawah pohon ini, sambil minum minumam segar, aku akan memesan dawet untukmu,”Kiai Kapulaga mempersilahkan.
Kemudian memesan minuman pada penjual dawet diseberang jalan, setelah itu menyerahkannya pada Wijaya.
“Segar sekali Kiai.., terimakasih, aku tidak terlalu sulit mencari Kiai, karena setiap aku pulang pasti melewati pasar ini,’Wijaya berkata.
“Ya ngger..aku mengisi waktukku kadang-kadang menjual gerabah.”
“Wijaya..., kita belum saling mengenal, maksudku mengenal dalam arti sebenarnya, tetapi ada baiknya aku dan kau memberikan sedikit keterangan, sebelum kita berhubungan terlalu jauh, agar diantara kita ada pandangan.”
“Aku adalah Kapulaga dan mempunyai kegemaran membuat gerabah dan menjual dagangannya dipasar mati ini, itulah sementara jatidiriku ngger,”Kiai kapulaga memperkenalkan diri.
“Kemudian Wijaya juga menceritakan serba sedikit tentang dirinya, bahwa dia adalah kemenakkan Ki Kerta yang tinggal di dusun Tawang, Ki Kerta adalah sahabat Ki Supa, oleh karena itu dia bisa menjadi abdi dalem.”
“Terimakasih Wijaya.., walaupun serba sedikit kita saling mengenal jatidiri kita, namun nanti lambat laun kita akan semakin akrab.”
“Aku akan mulai menceritakan mengenai Raden Ayu Prajasena, ketika aku memeriksa pundak dan punggung Raden ayu, dengan menekan simpul sarafnya, aku merasa terkejut dan heran, karena simpul syaraf Raden Ayu itu dalam keadaan terjepit, bukan hanya satu titik, tetapi beberapa titik, dan jika berlangsung lama akan membuat tubuhnya benar-benar lumpuh,”Kiai Kapulaga menarik nafas panjang.
“Kalau memang benar ada tabib keraton yang sudah beberapa kali datang, seharusnya tabib itu sudah tahu keadaan Raden Ayu.”
“Maksud Kiai keadaan itu memang sengaja dibuat, atau dengan kata lain memang ada yang menghendaki keadaan seperti itu..!”Wijaya membelalakkan matanya.
“Benar Wijaya, itulah sebabnya aku ingin merahasiakan kehadiranku di bilik Raden Ayu,”Kiai Kapulaga mengerutkan dahinya.
“Lalu siapa yang melakukan perbuatankeji itu kiai ?”
“Itulah wijaya, aku tidak bisa masuk kerumah itu jika tidak diminta Raden Prajasena, karena itu aku harap kau bisa membuka jalan bagi kesembuhan Raden Ayu, tapi sebelum itu kau juga harus mengetahui penyebab persoalan itu timbul.
“Baiklah Kiai aku akan berusaha semampuku, dimana aku dapat menjumpai Kiai, jika aku memerlukan Kiai ?”
“Aku ada di Pasar Mati ini setiap hari pasar, yaitu legi, karena aku berdagang selalu berpindah-pindah.”
Ketika Wage aku akan berdagang di pasar jatisarana, jadi temuilah aku saat legi atau wage.
“Sekarang..,sampaikanlah keadaan Raden Ayu kepada Ki Supa dan mintalah pertimbangan Ki Kerta pamanmu, aku yakin dia dapat memberi beberapa petunjuk untukmu,”Ki Kerta berkata.
Tiba-tiba suasana dikedai seberang jalan, dekat penjual dawet itu menjadi ramai.
Semua pembeli dikedai itu berhambur keluar, dihalaman kedai itu tampak laki-laki berjambang dan berkumis melintang bertolak pinggang, wajahnya kasar, membawa sebilah keris berukuran panjang dan dihadapannya tampak pemilik kedai sedang berlutut. “
“Kau tidak mau membayar pajak he..!, berarti kau telah menentang kuasa Kumpeni yang sudah menunjukku menarik pajak,di kawasanini..!”lelaki bersenjata keris itu membentak, sementara disebelahnya seorang kawannya bertubuh gempal dengan pedang dilambung berdiri menyilangkan tangan.
“Ampun Kisanak bukan maksudku..., penghasilan dari kedaiku hanya sedikit, pajak yang kalian minta terlalu besar, itupun kalian tadi belum membayar,”pemilik kedai itu berkata dengan suara gemetar.
“Akutidakpeduli ..!”lelaki berjambang dan berkumis melintang itu mendorong pundak pemilik keda itu dengan kakinya, sehingga pemilik kedai itu jatuh terlentang.
Sementara Wijaya dan Kiai Kapulaga memperhatikan dari seberang kedai itu.
“BagaimanaKiai..?”
“Apakah kita akan membiarkan perbuatan keji ini..?”
“Tentu tidak Wijaya, bawalah kampil uang ini, dan bayarlah sesuai yang diinginkan, lelaki kasar dan bersenjata itu,”Kiai Kapulaga memberikan kampil uangnya pada Wijaya.
“Apakah kiai akan menuruti permintaan lelaki keji itu ?”Wijayaterheran-heran.
“Bayarlah berapa yang dia minta Wijaya, kemudian kita lihat perkembangan selanjutnya.”
Sementara itu lelaki bersenjata keris itu membentak.
“Cepat..!, kau bayar pajak sewa atas kedaimu, atau aku bakar kedaimu ini, kemudian aku seret kau menghadap pimpinanku, yang mendapat limpahan kekuasaan dari Kumpeni.”
Tiba-tiba seseorang lelaki muda menyibak kerumunan itu,”berapa uang yang harus dibayar pemilik kedai ini kisanak...?” lelaki muda itu bertanya.
“Oh..rupanya ada pahlawan kecil disini...!”
“Apakah kau sudah bosan hidup tikus kecil...?”
“Aku hanya bertanya, berapa yang harus dibayar pemilik keda ini, aku tidak mau ada keributan,”lelaki muda itu berkata.
Lelaki berkumis melintang dan temannya yang bertubuh gempal itu menegang sejenak, kemudian berkata,”Siapa kau kisanak ?”
“Namaku Wijaya,’lelaki muda dengan sorot mata teduh dan berikat kepala hijau pupus itu menjawab.
“Aku tidak punya urusan denganmu, tapi jika kau cukup sombong ingin membantu pemilik kedai ini, berikan kami 5 keping uang,’lelaki bersenjata itu berkata dengan nada dalam.
Kemudian lelaki muda, yang bernama Wijaya itu meraba kampil uangnya, tetapi ia agak terkejut melihat isi dikampilnya,karena keping uangnya cukup banyak dan terdapat keping emas dan perak, kedua lelaki kasar itu melihat kampil yang dibawa Wijaya itu terbelalak.
“ini terimalah 5 keping uang, sekarang biarkan pemilik kedai itu membereskan kedainya, yang sudah kau buat berantakan !”elaki muda itu melemparkan 5 keping uang kehadapan dua lelaki kasar itu.
“Kau rupanya mempunyai banyak uang he...?”
“Kau curi darimana uang sebanyak itu..?”
“Dari caramu berpakaian, kau bukan bangsawan atau saudagar,” lelaki berkumis melintang itu bertanya.
“Cukup..!,aku sudah memberimu lima keping uang, sebagai pengganti bayar pajak pemilik kedai itu, sekarang pergilah..!”
“Kau tidak perlu tahu aku dapat darimana uang itu, aku muak melihat kau yang menindas bangsamu sendiri..,”Wijaya menggeretakkan giginya kesal.
Lelaki berkepala botak dan bertubuh gempal itu, berkata setengah berbisik kepada temannya yang berkumis melintang,’Kakang Sura Upas.., apakah kita hanya akan mengambil 5 keping uang itu dan pergi begitu saja ?”
“Padahal dikampilnya terdapat uang emas dan perak.”
“Tentu tidak sura gempal, aku akan merampas dari tangannya,”berkata lelaki berkumis melintang yang bernama sura Upas.
Kemudian lelaki berkepala botak, yang bernama Sura Gempal itu melangkah mendekati wijaya, sambil menghunus pedangnya.
“Kau telah menghina kami, dengan turut campur urusan kami, sebagai gantinya aku akan mengambil kampil uangmu, cepat berikan dan pergi dari sini, sebelum kau menyesal !”
Darah Wijaya menjadi mendidih, mendengar perkataan itu, “ternyata kalian adalah orang-orang yang tamak, kau pikir dengan mengacungkan pedangmu membuat aku takut ?”
“Bersiaplah jika itu yang kau kehendaki.”
Lelaki berkepala botak itu berkata,”biarkan aku bereskan anak ini, Kakang Sura Upas, anak ini memang tidak tahu diri..!”
Ia langsung menerjang kearah Wijaya, dengan menebas mendatar kearah leher Wijaya, Wijaya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Sura Gempal terkejut karena serangannya hanya melintas diatas kepala Wijaya.
Ketika wijaya dalam keadaan merunduk, lalu ia menyerang dengan kakinya kearah perut Sura Gempal, Sura Gempal terkejut dan terdorong mundur selangkah, tetapi tetap mampu berdiri dengan kedua kakinya.
“Kurang ajar..!” Sura Gempal mengumpat kasar, kemudian ia menyerang dengan tebasan-tebasan menyilang dan mendatar, bahkan kadang-kadang terjulur lurus ke dada Wijaya.
Wijaya menghindari dengan berkelit kekanan dan kekiri, kemudian kadang-kadang merunduk.
Pertarungan berlangsung sengit Ki Kapulaga mengangguk-anggukan kepala menilai kemampuan Wijaya, ia berpikir kemampuan Wijaya masih diatas Sura Gempal.
Sementara Sura Upas menggeram, ia tidak sabar ingin turun ke gelanggang, dan menghabisi Wijaya. Wijaya tidak ingin terus menghindar, sesekali pukulannya menembus pertahanan lawan, hanya kadang-kadang Sura Gempal menangkis dengan tangan kirinya.
Pertarungan masih terus berlanjut, orang-orang dipasar mati itu berkerumun melingkar melihat pertarungan tersebut.
Nampak Sura Gempal semakin terdesak, hanya kadang ayunan pedangnya mampu menghalangi laju serangan Wijaya. Sura Gempal makin kehilangan kendali, ketika pukulan Wijaya mengenai pelipis kirinya dan mengeluarkan darah.
Pandangannya sedikit kabur dan berkunang-kunang, ia mengayunkan pedangnya sejadi-jadinya.
Ketika tebasan pedang Sura Gempal, mengarah dari atas kepalanya, ia bergeser kekanan, sambil memukul pergelangan tangan sura gempal, sehingga pedang itu terlepas dari tangannya.
Karena ayunan pedang yang kuat, dan tidak menemui sasaran, ditambah pukulan pergelangan tangan, sura gempal tersuruk ketanah. Kemudian ia bangkit, dan ketika akan menyerang Wijaya, sebuah pukulan keras mengarah ke dagu, Sura Gempal mengeluh pendek, kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terlentang, tak bergeming, pingsan.
Dari mulutnya meleleh darah segar, Wijaya mematung berdiri mematung menyaksikan tubuh Sura Gempal, orang-orang melihat pertarungan itu menjadi tegang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI