Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kerja dari Rumah, Beda Dulu dengan Sekarang

4 April 2020   11:29 Diperbarui: 5 April 2020   19:08 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerja | Photo by Christin Hume on Unsplash (unsplash.com/@christinhumephoto)

Kita memasuki bulan kedua pasca pemerintah memberlakukan social distancing dan kerja dari rumah (work from home). Bagi banyak orang, termasuk saya, bekerja dari rumah tak pernah menjadi opsi sebelumnya. Namun, bagi sebagian yang lain, ini mungkin hal yang biasa.

Kecepatan beradaptasi pun berbeda-beda di setiap orang. Ada yang begitu mudah menerapkan remote working, ada juga yang tak bisa melakukannya karena beragam hal.

Saya tak berminat membahas mengapa kita harus patuh remote working atau tidak. Namun, satu hal yang perlu dipahami oleh kita dan tim. Meski konsep bekerja dari rumah sudah ada sejak lama, kondisinya kini berbeda.

Apa bedanya? Ada lima. Langsung saja.

Pertama, sebenarnya kita tidak sedang bekerja dari rumah. Namun, kita berada di rumah, tak bisa kemana-mana, di masa krisis, dan mencoba untuk tetap bekerja.
Dari poin pertama ini kita bisa memaknai, kalau semua orang berada dalam kondisi 'terpaksa' dan 'mencoba' untuk tetap produktif di samping terus berusaha untuk bertahan hidup di masa krisis.

Selain menjaga kesehatan diri, setiap orang juga harus memastikan keselamatan anggota keluarganya dan orang-orang di sekitarnya. Ada tanggung jawab moral dan sosial yang lebih besar kepada sesama. Dimensi inilah yang tak ada di situasi normal sebelumnya.

Kedua, keselamatan dan kesehatan fisik, mental, dan emosional adalah yang utama, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun orang-orang di sekitar kita.
Natur manusia adalah bertahan hidup. Dan bertahan hidup menjadi prioritas siapapun saat ini. Persepsi ini tentu bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Namun, bukan soal persepsi bertahan hidup versi mana yang lebih penting. Yang pasti, definisi bertahan hidup di poin kedua ini cukup straightforward.

Prioritaskan kesehatan fisik, mental, dan emosional. Hindari aktivitas, beban kerja, atau gangguan lain yang memperbesar risiko stress di rumah.

Atur dan buat suasana rumah dan tempat kerja senyaman mungkin. Karena ketiga aspek di atas, fisik, mental, dan emosional di masa krisis merupakan key factors yang memengaruhi produktivitas kita sehari-hari.

Namun, simak baik-baik.

Ketiga, tak perlu pusing dan merasa terbebani untuk terus menerus produktif.
Banyak orang atau anggota tim yang terlalu bersemangat, sehingga bekerja terlalu keras tanpa prioritas. Beban kerja jadi meningkat. 

Semua pekerjaan ingin diselesaikan karena merasa punya banyak waktu. Seringkali kita merasa lelah dan underachievement setiap hari meski sudah merasa mengerjakan banyak hal. Akhirnya, badan dan pikiran menjadi letih (burnt out), hilang kendali, hilang fokus, dan kadar stres pun meningkat.

Kondisi ini tentu tak menyehatkan untuk diri dan keluarga kita di rumah. Waktu yang seharusnya bisa juga digunakan untuk bersosialisasi dengan pasangan dan anak menjadi kurang optimal. 

Maka, penting untuk memahami, bekerjalah ketika waktunya bekerja, dan beristirahatlah ketika waktunya istirahat. Dan tak perlu merasa terbebani untuk menyelesaikan semua pekerjaan dengan tergesa-gesa.

Keempat, setiap orang punya ritme kerja dan "coping mechanism" yang berbeda-beda.
Ini merupakan situasi sulit yang dialami oleh semua orang. Meski demikian, cara meresponnya tak bisa disamaratakan. Ada yang begitu cepat adaptif, ada yang membutuhkan waktu. Ada yang resisten, ada yang kerepotan, ada juga yang berlaku seolah tak terjadi apa-apa.

Poinnya adalah kita memiliki cara yang berbeda. Bukan berarti ritme kerja si A lebih buruk dibanding si B karena dinilai kurang cepat, tangkas, atau hal lainnya. Kondisi keduanya tak pernah sama. Kita tak pernah tau beban apa yang harus dipikul tiap orang untuk menghadapi krisis ini. Maka, tetaplah berprasangka baik kepada mereka.

Terakhir, ini yang perlu kita terima dan pahami dengan pikiran terbuka.

Kelima, kesuksesan tim dan kontribusi setiap orang tak bisa diukur dengan metriks yang sama dengan ketika kondisi normal.
Setiap orang 'dipaksa' bekerja dari rumah, sambil terus menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya juga keluarganya, dengan terus mencoba produktif, sembari mengelola stress dan menghadapi ketidakpastian selama masa krisis. Ini cukup menjelaskan perbedaan bekerja dari rumah yang sebelumnya dengan kondisi saat ini.

Maka, target capaian, kontribusi kerja, produktivitas, dan hal-hal lain tak bisa serta merta diukur dengan kriteria penilaian dan metriks normal.
Bagaimana menurut Anda?
________
Terima kasih telah mengunjungi laman dan membaca artikel ini. Semoga tulisan-tulisan ini dapat memberikan inspirasi & pandangan lain bagi Anda dalam melihat sebuah fenomena. 

Rambu, setiap Sabtu

Lihat pula kolom lainnya di akun Linked-in | Iqbal Tawakal
Stay connected & be enlightened! Cheers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun