Berkendara berjam-jam, lapar, dan lelah, memang kombinasi dahsyat sebagai pemantik emosi.Â
Apalagi, jika ditambah dorongan dari kandung kemih dan usus  besar yang berkedut-kedut ingin segera ke kamar mandi.
Kira-kira, inilah yang saya dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia alami saat musim mudik kemarin. Sebagai orang yang mudik setiap tahun, tentu kita sedikit banyak belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya agar tidak terjebak di padatnya volume kendaraan di jalan raya.Â
Berangkat lebih pagi, cari info sebanyak-banyaknya melalui kanal berita dan media sosial, mencari jalan alternatif, hingga mengubah jadwal kepergian menghindari tanggal-tanggal tertentu. Lepas dari itu semua, seburuk apapun kondisi jalan raya, kita seolah tak pernah kapok mudik.
Maka, di momen arus mudik dan balik ini, kita tak jarang mendengar keluhan, umpatan, sumpah serapah, hingga caci maki.
Ada yang melakukannya di media sosial. Ada juga yang melakukannya langsung, di hadapan para petugas lapangan.Â
Ya. langsung di hadapan petugas. Di satu sisi, kita risih melihat orang berlaku sedemikian kasar kepada petugas, kepada sesama manusia. Di sisi lain, kita juga tak bisa melakukan apa-apa, bahkan sedikit membiarkan, karena tak berdaya mengungkap kecewa.
Ini menjadi normal.
Tapi pernahkah kita membayangkan berada di posisi mereka?
Mereka orang-orang yang rela tak menikmati kebersamaan bersama keluarga, demi lancarnya mudik kita.
Ada yang hilir mudik mengatur antrean di pintu tol.
Ada yang sigap membawa alat mobile reader menghampiri mobil para pemudik, agar bisa melakukan tapping pembayaran sehingga mengurai kemacetan di pintu tol.