Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahaya Candu Radikalisme

25 November 2015   08:50 Diperbarui: 25 November 2015   10:08 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: nytimes.com"][/caption]Tahun 2015 boleh jadi merupakan tahun yang paling berat dalam sejarah peradaban manusia modern. Serangan kelompok teror malam hari di Paris (13/11), yang kemudian mengklaim dirinya sebagai jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), semakin membuka mata dunia bahwa ancaman jaringan ekstremis bukan semata isapan jempol.

Pasca serangan tersebut, kita kemudian memahami bahwa ancaman ini telah menyebar secara luas tidak hanya di negara-negara di Timur Tengah, melainkan telah merambah ke tanah Eropa, Semenanjung Arab, hingga tanah Amerika. Dalam kondisi tersebut, kita perlu menyadari bahwa besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh jaringan tersebut salah satunya disebabkan oleh jumlah perekrutan anggota baru secara masif di seluruh dunia.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Russian News Agency TASS, jumlah militan yang tergabung bersama ISIS kini mencapai 80.000 prajurit per medio 2015. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat, 500 Warga Negara Indonesia (WNI), per September 2015, telah bergabung di Suriah. Angka ini berkemungkinan jauh lebih besar dari yang diperkirakan dan masih terus meningkat. Dengan demikian, bahaya radikalisasi di tengah-tengah masyarakat akan selalu mengancam.

Pola perekrutan kelompok ekstremis menggunakan cara lama dengan pendekatan baru. Metode mind-control diterapkan melalui propaganda dan indoktrinasi langsung kepada calon korban via media sosial, terutama facebook dan twitter (International New York Times). Metode ini, yang kemudian dikenal dengan apa yang disebut sebagai “aggressive online social media campaign”, menjaring begitu banyak ‘calon potensial’ melalui interaksi tersembunyi dan terang-terangan di dunia maya. Propaganda tersebar luas di media sosial dan dikemas dalam bentuk rekaman audio-visual, gambar-gambar, hingga pesan singkat langsung (direct message) kepada akun personal ‘calon potensial’ tersebut. Dengan pendekatan ini, tidak mengherankan jika kemudian yang bergabung dengan kelompok ekstremis didominasi anak muda (ABC News).

Candu paham radikal

Lantas mengapa kaum muda sangat mudah untuk dipengaruhi? Tanpa pikir panjang, mereka rela untuk pergi ribuan kilometer jauhnya untuk bergabung bersama prajurit lainnya. Hal yang menarik dari pola radikalisme ini karena keberhasilan fase radikalisasi erat kaitannya dengan mental state calon korban. Dalam hal ini, terdapat satu benang merah yang menghubungkan antara perilaku radikal dengan candu. Dan jika ditarik garis lurus, terdapat korelasi kuat dan kemiripan antara kasus radikalisasi dan indikasi penyalahgunaan obat terlarang yang diakibatkan candu pengguna tersebut.

Korelasi yang terhubung antara keduanya terletak pada kondisi psikologis calon korban. Seseorang menjadi penyalah guna narkoba dan menjadi candu bukan hanya karena Ia terikat dengan zat aditif yang terkandung dalam obat terlarang tersebut, melainkan juga karena Ia terisolasi secara psikologis dari dunia luar.

Menurut Johan Hari, dalam bukunya yang berjudul Chasing The Scream: The First and Last Days of the War on Drugs, seseorang menjadi candu karena kurang bersosialisasi dengan orang lain. Kondisi ini secara tidak langsung memaksanya untuk mencari dan melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan self-relief dari depresi sosial yang dialaminya. Dalam konteks tersebut, hal-hal yang menyebabkan candu tidak terbatas pada konsumsi obat terlarang saja, melainkan beberapa kegiatan lain seperti berselancar di media sosial dan internet tanpa henti, bermain game, berjudi, menonton film porno, hingga mengonsumsi obat-obat terlarang.

Dalam konteks radikalisasi, kecenderungan serupa terlihat di mana korban merupakan orang yang oleh Andrew Jenkins disebut memiliki Anti-Social Behaviour Orders, dan cenderung kurang mendapat perhatian, baik dari keluarga maupun teman sebayanya. Ini menjadi berbahaya ketika Ia dengan mudah dicekoki oleh ideologi paksaan yang bertebaran dalam berbagai platform di media sosial dan internet, serta mulai ragu kepada dirinya dan nilai-nilai yang dianutnya.  Informasi yang begitu deras tidak mampu dibendungnya dan ditelan mentah-mentah, sehingga Ia rentan terhadap paham-paham baru yang justru menyesatkan. Kondisi diperparah karena korban tidak bisa menjalin komunikasi yang baik dengan orang lain sehingga Ia makin terisolasi dari dunia luar. Tidak mengherankan jika radikalisasi tumbuh subur dalam kondisi ideal tersebut. 

Memutus rantai candu

Radikalisasi adalah proses yang tidak dapat kembali ke kondisi semula (irreversible process). Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan pencegahan dini guna menutup celah serapat-rapatnya. Jika ditinjau dari konsep adiksi yang dijabarkan oleh Johan Hari, adalah penting jika kita mampu menciptakan interaksi sosial yang sehat dan dinamis dengan orang-orang di sekitar kita. Manusia memiliki natur untuk menjalin ikatan dengan sesuatu. Jika seseorang merasa bahagia dan memiliki mental state yang sehat, ikatan yang dijalin akan baik pula. Dan jika seseorang merasa tertekan, depresi, dan trauma secara sosial, Ia akan lebih tertutup dari lingkungannya dan menjadi rentan terhadap penyebaran paham-paham radikal.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memutus rantai candu radikal tersebut, pertama, peka pada lingkungan sekitar, terutama kepada kerabat dekat, dan pro-aktif untuk tetap saling menjaga komunikasi secara efektif. Diperlukan kepekaan sosial yang lebih, terutama kepada orang-orang terdekat, dan kemauan untuk lebih banyak mendengar. Dengan komunikasi efektif, kita mampu membantu menyelesaikan masalah dan melakukan upgrade nilai-nilai yang disepakati benar serta mencegah masuknya paham-paham yang menyimpang dan menyesatkan. Kedua, menyadari bahwa bahaya radikalisme adalah nyata dan aktif berkeliaran di sekitar kita. Diperlukan kejernihan nalar, kewaspadaan, dan kecerdasan dalam memilah derasnya informasi yang diterima.

 

MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Twitter: @sitawakal
Email: miqbaltawakaal@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun