Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruang Kosong

6 November 2015   18:47 Diperbarui: 6 November 2015   19:02 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Minggu lalu saya mengunjungi acara resepsi pernikahan seorang teman lama di Kudus. Ketika mendapat kabar bahwa Ia akan segera menikah, saya langsung menghubungi dan mengumpulkan beberapa kerabat lama yang memiliki hubungan pertemanan langsung dengannya. Rencana menghadiri pernikahannya pun berjalan dengan lancar.

Selepas resepsi pernikahan, saya dan kawan-kawan tidak langsung pulang. Kami memutuskan untuk menghabiskan malam keliling kota. Lalu kami pun bercerita panjang lebar mengenai pencapaian masing-masing selama ini. Beberapa di antaranya telah berhasil memperoleh gelar sarjana. Seorang teman sedang berkutat di kerajaan bisnisnya. Dan beberapa yang lain kini sibuk mencari kerja.

Dalam percakapan yang penuh tawa dan kebahagiaan tersebut, saya malah terasa begitu asing. Seperti ada yang hilang dalam interaksi yang berjalan dinamis dan tanpa henti tersebut. Di tengah-tengah percakapan, saya seolah sedang berhadapan dengan orang yang sama sekali asing. Begitu banyak hal yang tidak saya mengerti dari mereka. Dan saya menyesal. Saya menyesal telah menjadi orang yang keras kepala.

Sedikit banyak, klaim keras kepala tersebut saya rasa tidak berlebihan. Dalam menjalani hidup, saya adalah orang yang dipenuhi dengan banyak target. Target yang harus saya capai. Target yang membuat saya tergesa-gesa. Target yang kadang telah membutakan saya. Target yang selama ini telah membuat saya justru kehilangan banyak hal, termasuk teman-teman saya.

Tidak jarang, target tersebut pasti memaksa saya untuk bergerak. Bergerak meninggalkan banyak hal demi hal-hal lain yang menurut saya seberapa itu. Termasuk harus meninggalkan teman-teman saya. Sepeninggal saya yang dengan tidak bertanggung jawab pergi dan berdalih ingin ini ingin itu tersebut, mereka telah tumbuh dewasa. Di sisi lain, saya pun tumbuh dewasa, namun dengan lingkungan yang sama sekali berbeda.

Mereka telah menjalin hubungan kebersamaan yang begitu erat dan saling mengisi selama ini. Mereka telah melewati begitu banyak suka dan duka. Mereka telah lulus dari saat-saat sulit yang sama sekali tidak akan mungkin bisa saya pahami. Sedangkan saya, tumbuh di tengah keterasingan dan lingkungan baru seorang diri.

Terus mengejar hal-hal ideal bagi saya pribadi di luar sana. Dan ketika ada saatnya saya kembali kepada mereka, kiranya keinginan saya untuk tetap diterima sebagai seorang teman lama yang pergi begitu saja sudah terlalu muluk. Saya tidak pernah ada untuk mereka.

Namun pikiran saya serta merta berontak. Apa yang saya lakukan dan saya korbankan selama ini harus saya yakini akan membawa kebaikan bagi saya di kemudian hari. Target pencapaian ideal memang membutuhkan pengorbanan. Semua butuh pengorbanan. Dan saya harus menerima itu sebagai resiko sebuah pilihan hidup. Bagaimanapun, menerima resiko kemudian adalah satu paket dari pada pilihan yang telah diambil. Dan menjadi orang asing di lingkungan sendiri adalah hal yang wajar. Tidak perlu dipermasalahkan.

Baru saja isi kepala saya tidak berhenti mengeluarkan penyangkalan, hati nurani tiba-tiba masuk mengikuti kemelut yang terjadi. Dalam imaji, saya melihat kembali apa yang telah saya lewatkan. Apakah memutuskan untuk meninggalkan begitu banyak hal, termasuk teman dan kerabat, dengan alasan pergi menggapai cita-cita adalah hal yang pantas? Apakah hubungan pertemanan layak dijadikan alat tukar kemapanan dan kedudukan? Apakah cita-cita, apapun yang dimaksud, sebegitu pentingnya?

Berapa lama lagi saya akan terus mengorbankan dan meninggalkan ini dan itu untuk hal yang sebetulnya belum tentu saya peroleh dan mengabaikan apa yang sudah jelas saya miliki? Berapa lama lagi saya harus merasa asing ketika saya harus pulang? Sedemikian besarnya kah ego dan ketamakan saya sehingga saya begitu keras kepala?

Meredam keterasingan

Saya senang mengoleksi foto-foto. Sebuah papan terpampang di sudut ruangan di dalam kamar saya. Papan tersebut berhias beberapa foto kebersamaan saya bersama teman-teman dari sejumlah komunitas yang telah saya ikuti selama ini. Setelah kembali mengamati susunan gambar tersebut, saya menyadari bahwa mungkin selama ini saya telah keliru dalam mengelola hubungan pertemanan.

Saya telah melihat bagaimana orang-orang ditakdirkan untuk hadir dalam kehidupan orang lainnya. Dan sebagaimana pertemuan, suatu saat sebuah hubungan pasti akan menemui persimpangan jalan dan akhirnya berpisah menempuh jalannya masing-masing. Saya juga menyadari bahwa memang tidak ada yang abadi. Pertemanan boleh jadi berjalan begitu singkat. Sejumlah teman yang dulu pernah dikenal akhirnya pergi satu per satu. Yang tertinggal hanya memori yang terekam dalam gambar.

Meskipun demikian, kekeliruan terbesar yang saya lakukan adalah bagaimana mengelola hubungan tersebut menjadi begitu berarti meski pada akhirnya harus berpisah satu sama lain. Saya kini menyadari bahwa menjaga tali silaturahim itu krusial. Perpisahan adalah keniscayaan. Namun, usaha menjaga tali silaturahim agar tidak terputus adalah sebaik-baiknya obat pencegah keterasingan ketika suatu saat saya harus kembali kepada mereka. Sebagaimana sebuah pertemuan yang baik, sudah semestinya momen perpisahan juga dipelihara agar menjadi baik.

Malam itu mungkin akan menjadi salah satu malam yang tak terlupakan dalam hidup saya. Kehadiran saya di tengah-tengah mereka malam itu mungkin tidak akan cukup untuk membayar dosa sosial yang telah saya lakukan. Namun, satu hal yang saya pelajari adalah teman boleh diibaratkan sebagai keluarga. Dan sebagaimana keluarga, pintu hati akan selalu terbuka dan selalu ada ruang kosong di dalam rumah yang dapat diisi ketika anggota keluarga lain memutuskan untuk pulang. Dan boleh jadi, malam itu justru saya menemukan apa yang selama ini saya cari ketika saya tertawa lepas bersama mereka.

 

MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Twitter: @sitawakal
Email: miqbaltawakaal@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun