Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ice Bucket Challenge dan Kekuatan Kampanye di Media Sosial

4 September 2015   19:53 Diperbarui: 4 September 2015   19:53 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Partisipasi beberapa pejabat, tokoh publik, artis, dan pegiat sosial lainnya menjadikan Ice Bucket Challenge begitu melejit sejak diluncurkan pertama kali pada 2014 lalu. Sumber: nytimes.com"][/caption]

Masih ingat dengan permainan Ice Bucket Challenge?

Mungkin kiranya lebih tepat disebut sebagai kampanye gerakan sosial daripada sebuah permainan. Kampanye tersebut konon ditujukan sebagai bentuk simpati atas penderita penyakit sindrom Lou Gehrig yang juga merupakan penyakit langka yang telah menyerang sekitar 15.000 warga AS dan dapat berujung pada kematian dalam kurun waktu lima tahun.

Cukup mudah untuk berpartisipasi dalam kampanye ini. Satu ember berisi air dan es batu disiapkan lalu kemudian disiram ke seluruh tubuh melalui ubun-ubun di kepala. Partisipan konon dapat merasakan, meski hanya beberapa detik, bagaimana gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita penyakit Lou Gehrig tersebut. Dengan bantuan media sosial dan piranti perekam gambar, kampanye ini viral dalam waktu yang sangat singkat.

Kampanye ini mendapat respon positif dan luas di masyarakat. Tercatat tidak hanya warga AS yang heboh akan gerakan ini. Masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan pun ikut berpartisipasi dan tidak kalah antusiasnya. Meski dalam perjalanannya kampanye ini mendapat sentimen negatif pula dari beberapa kalangan.

Mereka menilai tindakan mengguyur air es melalui ubun-ubun ke seluruh tubuh tidak relevan dengan apa yang diderita pasien. Beberapa respon menyatakan gerakan ini omong kosong belaka, tidak tepat sasaran, dan hanya buang-buang air untuk euforia sesaat. Sindiran dan kritik terus berdatangan di tengah gencarnya antusiasme masyarakat dunia terhadap kampanye ini.

Tapi apa betul kampanye tersebut sama sekali tidak memberi dampak apapun?

Para ilmuwan dan peneliti dari John Hopkins University yang fokus mempelajari penyakit A.L.S (Amyotrophic Lateral Sclerosis) menyatakan, mereka kini telah menemukan satu bentuk terapi yang cocok untuk diterapkan pada penderita. Bantuan dana yang terkumpul dari kampanye tersebut sangat membantu mempercepat proses penelitian dan pengembangan metode treatment yang tepat untuk pasien. Tidak hanya itu, pengembangan lanjutan metode terapi terhadap pasien diharapkan juga mampu menangani berbagai penyakit lain seperti keterbelakangan mental, demensia temporal, dan penyakit lain yang menyebabkan kelumpuhan otot.

[caption caption="Sumber: archive.freep.com"]

[/caption]

Setelah diluncurkan pada 2014 lalu, Ice Bucket Challenge berhasil mengumpulkan dana sebesar 115 juta dollar AS dalam waktu hanya enam minggu. Google juga menyatakan, angka pencarian terhadap keywords A.L.S di mesin pencarinya telah meningkat tajam dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa hingga kini media sosial masih menjadi salah satu instrumen paling efektif dan signifikan dalam menjaring opini dan solidaritas kolektif masyarakat luas. Media sosial dengan potensi penggunanya yang begitu besar mampu menjadi motor pergerakan sosial di masyarakat dan dampak yang ditimbulkan begitu besar.

Tidak hanya Ice Bucket Challenge, kampanye sosial lain juga tercatat pernah menjadi trending topic di media sosial, meski tidak sepenuhnya memperoleh hasil yang maksimal. Sebagai contoh, kampanye “bring back our girls” – yang mengecam penculikan anak-anak sekolah di Nigeria oleh Boko Haram. Namun hingga kini kasusnya belum sepenuhnya usai. Meski begitu, pemerintah AS menyatakan telah terjadi penurunan jumlah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok tersebut sebesar 90 persen semenjak kampanye tersebut diluncurkan.

Bagaimana di Indonesia?

Begitu juga di Indonesia. Pengguna media sosial Twitter yang mencapai lima puluh juta orang pada kuartal pertama tahun 2015 menjadi kapital penting dalam membuat gerakan dan menjaring solidaritas publik. Kita telah menyaksikan bagaimana gerakan-gerakan sosial yang bermula dari sebuah tagar mampu memberi dampak yang signifikan terhadap sebuah kasus. Sebagai contoh tagar #SaveKPK, Koin untuk Prita, dan #KawalPemilu, merupakan bukti bahwa publik menginginkan dialog interaktif untuk mengawal proses berlangsungnya kasus tersebut agar lebih akuntabel dan transparan.

Media sosial juga memegang peranan penting dalam proses berlangsungnya Pemilu 2014 silam. Kedua pasang calon berlomba-lomba merebut hati rakyat melalui interaksi aktif di media sosial. Kita tentu pernah terperangah bagaimana kekuatan media sosial mampu menjadi kekuatan politik yang begitu besar dalam bentuk relawan politik yang juga mampu membawa kemenangan untuk satu pasang calon yang bertanding di Pemilu.

Meski begitu, Dewan Pers mengatakan, dalam momen besar seperti Pemilu 2014, penggunaan media sosial lebih banyak bersifat sebagai penyalur opini sesaat yang malah dapat menjadi sesuatu yang tidak penting dan digunakan untuk saling serang antarsimpatisan. Ini dikarenakan keterbatasan dalam menyampaikan pesan, seperti media sosial Twitter, yang hanya 140 karakter.

Akhir kata, tidak ada salahnya untuk bergabung dalam gerakan dan kampanye sosial di media sosial. Bahkan jika kita mampu menginisiasi dan menjadi penggerak suatu pergerakan, itu justru akan menimbulkan dampak yang signifikan dan positif bagi masyarakat luas. Lebih baik kita menjadi apa yang disebut sebagai “armchair activist” yang selalu terusik dengan kondisi lingkungan sosial dan berniat menjadi penggerak perubahan, daripada menjadi “armchair passivity” yang hanya bisa nyinyir dan mengkritik tiada henti terhadap suatu perubahan.

Tetaplah kritis dan selamat bersenang-senang!

 

MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Twitter: @sitawakal
Email: miqbaltawakaal@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun