Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ice Bucket Challenge dan Kekuatan Kampanye di Media Sosial

4 September 2015   19:53 Diperbarui: 4 September 2015   19:53 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya Ice Bucket Challenge, kampanye sosial lain juga tercatat pernah menjadi trending topic di media sosial, meski tidak sepenuhnya memperoleh hasil yang maksimal. Sebagai contoh, kampanye “bring back our girls” – yang mengecam penculikan anak-anak sekolah di Nigeria oleh Boko Haram. Namun hingga kini kasusnya belum sepenuhnya usai. Meski begitu, pemerintah AS menyatakan telah terjadi penurunan jumlah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok tersebut sebesar 90 persen semenjak kampanye tersebut diluncurkan.

Bagaimana di Indonesia?

Begitu juga di Indonesia. Pengguna media sosial Twitter yang mencapai lima puluh juta orang pada kuartal pertama tahun 2015 menjadi kapital penting dalam membuat gerakan dan menjaring solidaritas publik. Kita telah menyaksikan bagaimana gerakan-gerakan sosial yang bermula dari sebuah tagar mampu memberi dampak yang signifikan terhadap sebuah kasus. Sebagai contoh tagar #SaveKPK, Koin untuk Prita, dan #KawalPemilu, merupakan bukti bahwa publik menginginkan dialog interaktif untuk mengawal proses berlangsungnya kasus tersebut agar lebih akuntabel dan transparan.

Media sosial juga memegang peranan penting dalam proses berlangsungnya Pemilu 2014 silam. Kedua pasang calon berlomba-lomba merebut hati rakyat melalui interaksi aktif di media sosial. Kita tentu pernah terperangah bagaimana kekuatan media sosial mampu menjadi kekuatan politik yang begitu besar dalam bentuk relawan politik yang juga mampu membawa kemenangan untuk satu pasang calon yang bertanding di Pemilu.

Meski begitu, Dewan Pers mengatakan, dalam momen besar seperti Pemilu 2014, penggunaan media sosial lebih banyak bersifat sebagai penyalur opini sesaat yang malah dapat menjadi sesuatu yang tidak penting dan digunakan untuk saling serang antarsimpatisan. Ini dikarenakan keterbatasan dalam menyampaikan pesan, seperti media sosial Twitter, yang hanya 140 karakter.

Akhir kata, tidak ada salahnya untuk bergabung dalam gerakan dan kampanye sosial di media sosial. Bahkan jika kita mampu menginisiasi dan menjadi penggerak suatu pergerakan, itu justru akan menimbulkan dampak yang signifikan dan positif bagi masyarakat luas. Lebih baik kita menjadi apa yang disebut sebagai “armchair activist” yang selalu terusik dengan kondisi lingkungan sosial dan berniat menjadi penggerak perubahan, daripada menjadi “armchair passivity” yang hanya bisa nyinyir dan mengkritik tiada henti terhadap suatu perubahan.

Tetaplah kritis dan selamat bersenang-senang!

 

MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Twitter: @sitawakal
Email: miqbaltawakaal@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun