Sebelum berangkat tadi aku pamit padamu, angin.
Ku tinggalkan barang sejenak hawa dingin di kamar kesayangan kita.
Kali ini aku akan berdamai dengan kopi di ujung senja.
Di bawah langit sore dan deru debu di jantung kota.
Ingat, sore ini kita bukan berdua.
Sejuk yang setiap hari memelukmu memang sialan.
Jika diam-diam ku renggangkan tubuhmu dengan tubuhnya, dia malah membelai rambutmu dan mencium keningmu.
Jika tiba-tiba ku selipkan tangan kananku di sela-sela dadamu dan dadanya, dia malah merentangkan tangannya dan memeluk tubuh kita berdua.
Aku seringkali kehabisan akal.
Apa kau ingat? Dulu, sekali, pernah ku tarik paksa kuat-kuat punggungnya dari badanmu.
Tapi kalian malah melumuri tubuhku dengan damai yang mesra, yang kini malah menjadi bagian dari diriku.
Rasanya menjadi biasa.
Lekatnya hingga kini pekat dalam keringatku.
Duh, jika ingat peristiwa itu aku malu.
Aku hanya bisa tertawa kecil sambil merenung: betapa tidak tahunya aku.
Kalian malah bahagia melihatnya.
Sore ini kita bukan berdua.
Aku sedang memilih menelusur senja.
Menyeruput kopi dingin yang menjanjikan lena.
Aku mencoba menikmati setiap seruputnya.
Tapi apa?
Janjinya tak kunjung nyata.
Malah senja mendekatiku lalu bicara: pulang, peluk dia.
Akupun pulang tergesa-gesa.
Jakarta, 19 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H