Mohon tunggu...
TauRa
TauRa Mohon Tunggu... Konsultan - Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Rabbani Motivator, Leadership and Sales Expert and Motivational Public Speaker. Instagram : @taura_man Twitter : Taufik_rachman Youtube : RUBI (Ruang Belajar dan Inspirasi) email : taura_man2000@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka Belajar: Turbulensi Akademik "Comfort Zoner"

2 April 2023   12:23 Diperbarui: 2 April 2023   12:40 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

There are 3 enemies for getting success: 1) Comfort Zone. 2)Learned Helplessness. 3)Path of Least Resistance (Bryan Tracey)

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana buku pelajaran sekolah saya dulu ketika jenjang SD-MA/SMA adalah warisan dari kakak kandung atau kakak kelas saya. Buku dari kakak kelas saya itu juga ternyata adalah buku warisan dari kakak di atas nya dan begitu seterusnya. 

Sampai-sampai buku yang saya dapat, meskipun itu tahun ajaran baru, agar hemat biaya, kebanyak sudah takbersampul depan lagi. Atau kalaupun ada sampulnya, sebagian besar bagian di  buku sudah banyak coretan dan hampir pasti setiap orang tahu kalau itu adalah buku bekas. Jangan salah, sekolah saya tidak hanya di negeri, tapi juga swasta. Dan semuanya berlaku hukum "keberlanjutan buku" di atas.

Hebatnya, buku itu tetap bisa dan boleh digunakan di sekolah kami dulu. Guru senang karena siswa punya buku, orangtua senang karena membeli buku dengan murah, dan muridpun bahagia karena tidak dihukum di kelas karena sudah punya buku bacaan. Dan (seingat saya) hal itu terus berlanjut hingga saya selesai di jenjang sekolah menengah. Lebih dahsyatnya lagi, guru-guru kami di masa itu terlihat begitu tenang ngobrol di kantor, santai meskipun tetap mengajarkan kami dengan "buku turun-temurun" itu dengan serius.

Setelah banyak tahun berlalu, tibalah suatu hari saya bertemu dengan guru anak saya di sekolah. Betapa bingungnya ia terlihat pada suatu hari ketika belum sempat menyelesaikan rencana pembelajarannya untuk minggu depannya. Buku yang digunakan anak saya juga takbisa lagi digunakan oleh adik kelasnya, meskipun isinya tidaklah jauh berbeda. Ya, waktu berlalu, zaman berganti dan cara belajar juga harus berubah. Begitulah sekilas perubahan yang mau tidak mau harus dilakukan.

***

Mengurai kutipan dari Bryan Tracey di awal tulisan ini, memang untuk bisa mencapai sukses dalam berbagai hal, termasuk dalam dunia pendidikan, kita perlu menghindari 3 hal utama yaitu : 

1) Zona Nyaman

Ketika awal mula Merdeka belajar digaungkan, termasuk dalam transformasi Kurikulum Merdeka yang harus dilakukan, maka banyak pihak yang merasakan turbulensi akademik dalam kehidupan proses belajar-mengajar yang selama ini dilakukan. Guru harus terus berinovasi dalam metode pembelajarannya, peserta didik harus terbiasa dengan hal-hal baru yang selama ini takpernah dibayangkannya, orangtua akan mendengar banyak informasi "belajar silang" antar disiplin ilmu yang selama ini takpernah dipikirkan dan lain sebagainya. 

Singkatnya, semua orang yang taksiap pasti akan merasakan turbulensi akademik ketika situasi ini terjadi. Tapi yang menarik, semua pilot hebat dan berpengalaman seringkali dihasilkan dari ujian cuaca buruk, badai dan angin kencang di udara. Ketika ini semua bisa dicerna, diterima dengan baik sembari terus meningkatkan kapasitas diri, maka program besar merdeka belajar ini akan sangat menguntungkan untuk membentuk generasi emas 2045 seperti cita-cita bangsa ini.

2. Learned Helplessness

Pada saat terjadinya sebuah perubahan, pasti banyak pihak yang merasa tidak mampu melakukannya di awal. Tapi ingat, manusia dibekali dengan kecerdasan dan kemampuan yang jauh di atas yang bisa dia bayangkan. Ketika kita terus mencoba dan belajar dari pelaku yang sudah sukses, maka tantangan sesulit apapun pasti bisa ditaklukkan termasuk program besar merdeka belajar ini.

3. Path of Least Resistance

Ketika kita hanya berpikir satu solusi untuk satu persoalan, maka sesungguhnya kita sudah membatasi kemampuan komunal kita sebagai suatu bangsa dan masyarakat global. Pada saat itu kita juga sudah membatasi kesempatan kita untuk sukses. 

Ya, semua persoalan yang terjadi bisa menghasilkan banyak jawaban atau solusi. Tugas kita adalah untuk memformulasikan solusi-solusi yang ada untuk kemudian dijadikan sebuah solusi aplikatif yang bisa dipahami dan dipraktikkan oleh semua pihak sesuai dengan bidang dan kemampuannya masing-masing. Ketika semua pihak melakukan bagiannya masing-masing dengan baik, maka di sana berpotensi terjadi kemenangan bersama dalam menjalankan suatu program yang dicanangkan. Pepatah ada mengatakan :

 jika kau ingin pergi cepat, maka pergilah sendiri. Tapi jika kau ingin pergi jauh, maka pergilah bersama-sama 

Lalu pertanyaannya, apa yang perlu kita insert dalam pribadi setiap kita, khususnya peserta didik untuk memperkuat dimensi merdeka belajar yang sudah dicanangkan? Minimal ada 3 aspek yang bisa diperkuat.

1. Merdeka Berpikir

Merdeka belajar perlu ditopang dengan merdeka dalam berpikir. Semakin kecang tagline merdeka berpikir diintegrasikan dengan tema besar merdeka belajar, maka siswa hingga mahasiswa akan berusaha untuk keluar dari kungkungan pikiran sempit sebuah mata pelajaran. Bahkan, Jika pelajaran itu adalah matematika, maka siswa hingga mahasiswa akan mulai berpikir bagaimana matematika bisa terkorelasi dengan ilmu fikih, ilmu komunikasi dan sebagainya. Dengan metode berpikir yang lateral seperti ini, maka peserta didik akan merasakan pengalaman belajar yang luas tanpa batas. Tentu saja hal ini perlu ditunjang dengan kemampuan pengajar yang mumpuni.

Kaitan berpikir dan intelektual seseorang, world population review pada tahun 2022 melakukan penelitian IQ terhadap 199 negara di seluruh dunia. Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat 130 dengan IQ rata-rata orang Indonesia 78,49. Tentu saja hal ini bisa didongrak dengan cara terus mengasah kemampuan berpikir orang Indonesia melalui kurikulum merdeka belajar yang dijalankan.

2. Merdeka Merasa

Merdeka belajar perlu ditopang dengan merdeka merasa. Bangsa yang hebat tidak cukup hanya memiliki pribadi yang cakap secara akademik dan intelektual. Tapi perlu menambah unsur kecerdasan emosional di dalamnya. Merdeka merasa berarti berusaha melihat situasi yang ada dengan perasaan yang jujur tanpa ada kendali dari pihak manapun.

Ketika gunung merapi erupsi, gempa terjadi, maka pendidikan terbaik bukanlah menghitung berapa harta yang masih dimiliki agar dapat bertahan hidup di tengah situasi sulit, tetapi apa yang dapat saya bantu untuk kesulitan yang sedang dihadapi oleh orang lain. Tentu saja bantuan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Ketika peserta didik mampu diberikan unsur merdeka dalam merasa ini dalam kurikulum merdeka, maka jangan kaget kalau ke depan, dalam 10-20 tahun yang akan datang, bangsa kita akan menjadi bangsa yang (lebih) gemar saling membantu daripada saling membisu dalam setiap situasi.

3. Merdeka Bertindak 

Orang yang sudah merdeka belajarnya, merdeka untuk merasa, haruslah juga merdeka dalam bertindak. Bangsa yang hebat tidak cukup berada di wilayah konsep, tapi ia harus dituangkan dalam bentuk tindakan dan aplikasi nyata di tengah masyarakat. 

Jika konsepnya bagus, namun ketika akan menerjemahkan tindakan itu di masyakarat tidak merdeka, maka bisa jadi konsep bagus itu hanya dilakukan untuk segelintir orang saja. Tentu hal ini sangat disayangkan. Ujungnya, orang tidak akan lagi menyuarakan kebaikan yang ia rancang, produk yang ia buat ke banyak orang, karena ia merasa terbatas dan tidak merdeka dalam mengimplementasikan buah pikirnya yang berguna kepada masyakarat.

Intinya sekali lagi, jika merdeka belajar salah diterima atau diartikan, maka bisa jadi ia akan terasa seperti turbulensi akademik para comfort zoner yang selama ini sudah nyaman dengan metode yang biasa. Tapi, jika merdeka belajar dimaknai dengan cerdas, maka ia akan cepat memboosting pesawat yang bernama "Pendidikan Indonesia" terbang tinggi ke luar angkasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun