Ketika ada tokoh publik yang terjerat narkoba, maka muncul beragam komentar. Ada yang menyayangkan. Ada yang menyedihkan. Ada yang mengasihani. Ada yang mengupat. Ada yang menghakimi dan lain sebagainya.Â
Ketika ada tokoh publik lain yang gemar berbagi uang dan sedekah dengan konten dan tayangannya, muncul lagi orang yang memuji, menghakimi (sok baik dan sok-sok lainnya), netral, menasihati, mengoreksi tindakannya dan lain sebagainya.
Ada puluhan, ratusan bahkan ribuan aktivitas orang lain yang mungkin dengan mudah untuk kita koreksi, nasihati, setujui atau bahkan hakimi.Â
Lalu pertanyaannya, baikkah yang kita lakukan itu? atau jika pertanyaannya kita tarik lagi, pentingkah hal itu kita lakukan? mana yang lebih penting untuk melihat ke luar (orang lain) atau sering-sering melihat ke dalam (diri sendiri)?
Banyak Orang Senang Mengoreksi, Tapi Lupa Introspeksi
Selagi manusia masih ada, maka interaksi antar sesamanya pasti akan terus ada dan itu normal. Tidak peduli di mana interaksi itu terjadi, apakah di dunia nyata atau virtual, yang jelas ia akan terus ada selama manusia ada.Â
Yang menarik untuk dikulik, mengapa orang lebih senang melihat ke luar daripada melihat ke dalam? Jika kita persempit, mengapa orang lebih senang mengoreksi orang lain daripada melakukan introspeksi?
Alasannya bisa beragam dan bisa terus bertambah. Letak penekanannya bukan pada betapa senangnya orang mengoreksi, tapi betapa pentingnya kita melakukan introspeksi. Melakukan tinjauan ke dalam jiwa jauh lebih penting di banding melihat jauh ke luar jiwa. Ada ungkapan indah yang penting untuk kita resapi tentang pentingnya melihat ke dalam
"Untuk melihat rusaknya sebuah rumah, jangan lihat rumahmu dari dalam, tapi pergilah ke luar rumah dan perhatikan borok dan rusaknya dari sana"
Ya, melihat rumah dari luar memang lebih penting untuk kebaikan diri dan peningkatan kebaikan pribadi. Para tokoh-tokoh besar zaman dahulu banyak yang menyibukkan diri dengan melakukan introspeksi mendalam terhadap diri sendiri. Mereka bahkan enggan dan sungkan untuk bicara apalagi hanya untuk mengoreksi orang lain.
Tapi apa yang kita lihat sekarang sungguh berbeda. Banyak orang melakukan sebaliknya. Ketika ada satu kejadian, maka ada saja reaksi, koreksi dan lain sebagainya dari orang yang bahkan tidak kita kenal sama sekali.Â
Apakah itu salah dan benar memang panjang untuk dibahas. Tapi jika ukurannya adalah kepentingan kemajuan pribadi, maka perlu kita pikirkan lagi semua koreksi dan reaksi yang terjadi.
Melihat ke dalam (diri) seharusnya lebih butuh sebuah perjalan panjang ketiban melihat ke luar yang relatif mudah dan takperlu menempuh perjalanan jauh. Tapi apa daya, pikiran dan pengalaman setiap orang pasti berbeda.Â
Cara menyikapi persoalan juga taksama. Jika sudah begini, maka setiap orang butuh melihat sebuah persoalan dengan cinta, bukan benci. Jika landasannya cinta, maka takmungkin akan keluar selain hal-hal yang baik meskipun disampaikan dengan cara yang beragam.
Ingat, pada akhirnya setiap kita perlu belajar untuk melihat setiap persoalan dengan berlandaskan cinta. Cinta takmungkin menyakiti. Ini bukan tentang cara mencinta, tapi tentang bagaimana cinta dijadikan sebuah (pilihan) landasan dalam menyikapi sebuah hal. Jika sudah begini, maka coba pikirkan pertanyaan ini,
"Mana yang seharusnya Anda cintai terlebih dahulu, diri sendiri atau orang lain?"
Jawaban setiap kita biasanya akan cukup menentukan tindak-tanduk dan pilihan aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, apakah ternyata kita gemar mengoreksi ke luar atau justru senang melihat ke dalam. Sederhananya, bagaimana mungkin orang bisa membagikan cinta kepada makhluk lain jika dia sendiri kekurangan cinta?
Semoga bermanfaat
Salam bahagia
Be the new you
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H