Seorang teman pernah bercerita kalau bosnya terkesan pilih kasih, ada mengistimewakan orang tertentu dan lain sebagainya. Singkatnya, dia cerita panjang lebar tentang situasi yang tidak menyenangkan di kantornya.
Setelah dia bercerita panjang lebar, sejurus kemudian dia meminta saya memberikan komentar terhadap situasinya saat ini. Saya dengan sederhana bertanya kembali,
"Brader, adakah di dunia ini yang bisa menyakitimu (diri dan hatimu) ketika kamu sedang sadar..?"
Dia diam sejenak sebelum menjawab.
"Kayaknya ga ada deh. Selagi aku bisa melawan dan dalam keadaan sadar.." jawabnya setengah yakin.
"Brader, satu-satunya hal yang bisa menyakiti dirimu adalah jika rasa sakit itu kau izinkan masuk ke dalam hati dan jiwamu. Jika kau tidak mengizinkannya masuk, maka rasa sakit itu tidak dapat menyakitimu.."Â Balas saya lagi.
Dia mendengarkan dengan teliti dan seperti mencoba memahami apa yang saya sampaikan. Ya, rasa sakit, dengki, iri dan teman-temannya itu, hanya bisa masuk ke dalam jiwa kita, jika semua rasa itu kita izinkan masuk ke dalam diri kita. Kalau kita tidak izinkan, maka (Insya Allah) semua "rasa sakit" tidak akan ada di diri kita.
Nah, lalu yang menjadi penting kita pahami adalah, ketika kita sibuk mengatakan si anu begini, si ono begitu dan seterusnya, sadarkah Anda kalau sebenarnya Anda sedang mengizinkan rasa iri, dengki, kecewa dan kawan-kawannya itu masuk ke dalam diri Anda? Padahal, Anda punya peluang untuk tidak mengizinkan mereka masuk ke dalam diri dan jiwa Anda?
Lebih parah lagi, pada saat Anda terlalu sibuk melihat ke luar dan mengatakan "sepertinya saya ada di lingkungan yang toksik..", jangan-jangan sesungguhnya Anda lah yang baru saja menjadi toksik di lingkungan kerja Anda? Jangan-jangan sebenarnya Anda lah yang sudah konsisten menjadi "penyakit buruk" di lingkungan kerja Anda?
Ya. Kita terkadang terlalu mudah melihat ke luar tanpa berkaca dan mengintrospeksi diri kita. Ingat, teman, melihat keluar hanya menghabiskan banyak energi Anda. Jauh lebih bijak jika Anda bisa sesering mungkin melihat ke dalam dan melakukan introspeksi sebelum menyelami orang lain dengan seluruh "karakter jeleknya" menurut Anda.
Beberapa teman terkadang menganggap saya kurang asik kalau diajak "curhat" karena pasti (hampir selalu) tidak sepakat dengan "gosip" yang mereka sebarkan apalagi jika terkait atasan dan seterusnya. Tapi anehnya, mereka tetap saja meminta pendapat saya dalam beberapa hal. Ketika ditanya, alasan saya sederhana, "apa yang kau lakukan dengan bosmu sekarang, akan dilakukan anak buahmu 10 atau 15 tahun lagi ketika kau menjadi atasan, bahkan mungkin jauh lebih parah.."
Tapi, jika cerita tentang dream, capaian kinerja, pelatihan, strategi dalam menggapai masa depan dan sejenisnya, biasanya hingga larut malam juga saya jabanin. Jadi, mulai sekarang, janganlah buru-buru mengatakan lingkungan kerja saya toksik, si anu toksik, si ono toksik dan sebagainya. Coba ambil kaca. Berkaca dan bertanya dalam hati kecil, jangan-jangan toksik yang selama ini Anda anggap di luar sana sekarang sudah ada di dalam kaca itu?
Ya, merenung selalu lebih baik di banding melamun.
Semoga bermanfaat
Salam bahagia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H