"Apa yang kau makan dengan nikmat hari ini, bisa saja hanya menjadi angan dan impian untuk di makan orang-orang di luar sana" (TauRa)
Alhamdulillah, mungkin itu adalah kata yang sangat layak aku ucapkan karena dilahirkan di tengah keluarga yang hampir tidak pernah (mungkin memang tidak pernah seingatku) membuang makanan.
Selain karena memang kami keluarga yang gemar makan, masakan ibuku juga sudah diakui seantero kota (minimal kecamatan atau minimal kelurahan) sebagai masakan yang sangat nikmat yang pernah ada.Â
Bukti sederhananya adalah tidak jarang ibuku mendapat pesanan katering hingga seribuan kotak dalam berbagai acara, yang belakangan sudah "mulai ditolak" karena kami (alhamdulillah) sudah bisa membiayai diri sendiri dan keluarga.
Rasanya aku hampir tidak pernah melihat makanan sisa di tong sampah rumahku. Hmmm, mungkin ada, sisa makanan kucing kesayangan adikku yang tidak habis dimakan oleh kucingnya itu.Â
Lalu pertanyaannya kemudian adalah, mengapa kira-kira banyak orang "dengan sengaja" bahkan membuang makanannya yang terkadang hanya "disentuh" sedikit saja?Â
Apakah karena orang itu merasa mampu membeli makanan yang dibuangnya itu? Bukankah kita semua sudah paham kalau di luar sana ada jutaan orang yang sedang kelaparan di saat "kita" dengan enteng membuang makanan?
Untuk itu pada kesempatan kali ini kita akan bahas tentang mengapa makanan itu "haram" untuk kita buang. Semoga menjadi introspeksi dan refleksi bagi kita semua atau keluarga terdekat kita. Berikut 3 alasannya.
1. Allah Mengecam Orang yang Berbuat Mubazir
Tidak mungkin suatu hal itu adalah "barang" yang tidak penting kalau sudah sang Pencipta langsung yang menyinggungnya. Ya, Allah sang Pencipta melarang dengan tegas orang-orang yang bersikap mubazir (termasuk membuang makanan) ini.Â
Selain karena akan menyebabkan sampah, perilaku ini juga akan mencederai "perasaan" orang-orang yang ingin makan seperti apa yang orang itu buang. Bahkan, Allah sampai menyebutkan orang-orang yang berperilaku mubazir ini seperti "saudara syaitan" dalam perilakunya itu.
Coba bayangkan, kalau sudah sang Pencipta yang "tidak suka" dengan orang yang demikian, maka kepada siapa lagi orang itu akan bergantung? Sedangkan (mungkin) jika ada seorang ketua RT saja yang tidak suka dengan Anda, maka Anda sudah begitu bingung dan gusarnya (ini masih ketua RT), lalu bagaimana jika sang Pencipta sudah "tidak suka"? apalagi yang bisa dilakukan?