"Tell me and I forget, Teach me and I know, Involve me and I learn"
Kira-kira beginilah arti dari ungkapan indah ini, "Beri tahu aku, maka aku akan lupa. Ajari aku, maka aku akan tahu, Dan Libatkan aku, maka akupun akan belajar".
Kalimat indah ini sengaja saya berikan di depan untuk menjadi refleksi diri kita bersama sejenak, secara khusus yang mengaku sebagai guru (guru dalam aspek apapun), sudah sejauh manakah kita menjadi "guru" untuk peserta didik kita (atau siapa saja yang menjadi murid).Â
Apakah kita memang sudah memenuhi "kualifikasi" sebagai seorang guru yang tidak hanya mengajar secara formal, tetapi juga secara mental dan spiritual? ataukah jangan-jangan kita masih berkutat pada diktat, materi dan metode pembelajaran "terbelakang" (terlepas dengan kurikulum yang terus diperbaharui) yang selama ini dianggap sudah memenuhi standar lalu kita ingin dianggap dan diperlakukan "istimewa" karena profesi kita adalah seorang guru?
Merenung tentu saja selalu baik daripada merasa baik. Karena dari renungan bisa jadi muncul kebijaksanaan dan pada akhirnya akan melahirkan sikap dan cara pandang baru yang terkadang tidak jarang mengubah pendekatan yang kita lakukan selama ini, khususnya profesi kita sebagai tenaga pendidik (guru dan seterusnya).
Kita sepakat kalau kita ada dan menjadi apa hari ini, tidak terlepas dari kontribusi guru-guru hebat yang sudah "melahirkan" murid-murid yang juga hebat seperti kita. Tetapi lebih jauh, zaman berubah, waktu berganti dan masa berputar. Semua perubahan itu tentu saja harus melahirkan perubahan selanjutnya.
Perubahan yang terjadi tentu saja harus diikuti dengan perubahan metode, perubahan sikap, attitude dan lain sebagainya termasuk perubahan sikap pengajarnya dalam aspek pendidikan (misalnya).
Terkait hal ini, mari kita lihat, seperti apakah sebenarnya posisi kita sebagai guru? apakah kita masih berada di "level dasar" menjadi seorang guru? ataukah justru peran kita (sebagai guru) dalam membangun "silabus kehidupan" masyarakat (yang kita didik) memang sudah berada di posisi semestinya? Mari kita lihat.
Guru di level "Telling"Â
Coba ingat kembali siapa guru mata pelajaran fisika Anda waktu SMA dulu. Ingat? kalau guru mata pelajaran agama Anda dulu ketika SD? Kalau guru kerajinan tangan Anda ketika SD dulu?
Kalau guru itu masih Anda ingat hingga saat ini, maka bisa jadi guru itu adalah salah satu atau salah dua dari guru paporit Anda, atau minimal guru yang Anda gemari.Â
Tetapi kalau Anda lupa dengan guru itu, atau Anda sangat sulit mengingat namanya, bisa jadi itu guru yang biasa-biasa saja atau sama sekali tidak menarik perhatian Anda.
Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? tentu ada banyak faktor. Tetapi salah satunya bisa saja adalah karena guru itu tidak menarik perhatian kita. Dan kemungkinan selanjutnya adalah karena guru itu hanya menggunakan metode "telling" dalam kesehariannya mengajar.
Apakah salah ketika seorang guru sering menggunakan "telling" dalam pendekatan belajarnya? tentu tidak. Tetapi persis seperti makan ayam goreng, jika Anda pagi hari disajikan ayam goreng, lalu siangnya ayam goreng dan malam juga ayam goreng. Lalu terus diulang selama 6 bulan berturut-turut, apa pendapat Anda?
Ya, hampir semua jawaban kita (mungkin) seragam atau hampir mirip. Inilah yang akan terjadi jika seorang guru hanya menggunakan "telling" atau memberi tahu dalam setiap pendekatan belajar yang dilakukannya.
Dan ingat, seperti kata ungkapan di awal tadi, semakin sering kita "telling" peserta didik kita, maka jangan salahkan kalau dia juga selalu melupakan apa yang kita beritahu.
Guru di Level "Teaching"
Kepala sekolah kami dulu sering menggunakan istilah ini,
"Mengajar (saja) hanya membuat muridmu berubah dari kebodohan kepada pengetahuan"Â
Kalimat ini hampir dalam setiap upacara mingguan diulang oleh sang Kepala Sekolah, hingga sampai saat inipun saya ingat ucapan beliau itu. Awalnya kami tentu saja tidak paham kenapa beliau mengulangi kalimat itu (hampir) setiap minggu, padahal kami kan hanya belajar, bukan mengajar.
Tetapi bertahun-tahun kemudian kami baru paham, kalau itu diperuntukkan para guru-gurunya (yang juga hadir) agar tidak sekadar "mengajar" dalam fungsinya sebagai guru, tetapi harus lebih jauh dari itu.
Guru memanglah memiliki tugas "mengajar" dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Tetapi mengajar saja hanya memberikan kontribusi "pengetahuan" kepada peserta didik, dan itu tentu saja tidak cukup untuk perkembangan zaman dewasa ini.
Guru di Level "Involving"
Coba ingat kembali ketika guru biologi (atau yang lain) kita dulu mengajak kita ke kebun, lalu mempraktikkan cara mencangkok sebuah pohon. Atau guru kimia kita dulu mengajak ke laboratorium dan mencampur cairan ini dan itu, bagaimana perasaan Anda?
Tertarik dan menarik sekali kan? Iya. Dia sedang melibatkan kita dalam pelajarannya. Dan seperti kata kalimat indah di depan, memang dengan dilibatkan, kita baru bisa merasakan nikmatnya belajar dan dari sana kita paham akan hal yang diajarkan itu.
Jadi, sebagai guru atau tenaga pendidik apapun (dengan apapun pelajaran yang diampu), sangat penting bagi kita untuk melibatkan peserta didik kita dalam hal apapun. Agar dia bisa belajar dan pada akhirnya memahami apa yang sudah diajarkan.
***
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah Anda (sebagai guru dan seterusnya) memberikan pengajaran kepada peserta didik Anda? Kita perlu melakukan refleksi bersama, agar tujuan pengajaran yang dicanangkan tidak hanya tercapai, tetapi bisa melebih ekspektasi yang ada.
Karena sekali lagi, guru adalah salah satu bagian terdepan yang memiliki tugas yang sangat mulia terhadap perancangan "silabus kehidupan" kita, dan lebih jauh keturunan kita dan generasi penerus bangsa.
Selamat Hari Guru !
Semoga bermanfaat
Salam
TauRa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H