UU Cipta Kerja yang di dalamnya digagas tentang skema upah per jam tentu banyak menuai kontroversi. Ada kalangan yang menganggap itu lebih baik karena akan bisa menjadikan pekerja lebih produktif. Ada lagi yang menganggap hal ini tidak relevan dengan situasi pekerja di Indonesia dan cenderung merugikan pekerja, mungkin lebih tepatnya karena sudah terbiasa menerima bulanan, lalu mendadak menjadi per jam tentu saja wajar jika terjadi "goncangan" pikiran dan kenyamanan. Belum lagi dengan efek turunannya dan lain sebagainya.
Tentu saja kita tahu dan paham bahwa hampir sebagian besar masyarakat kita yang bekerja dengan pihak lain, selalu mendapatkan gaji atau upah per bulan. Namun tidak sedikit juga yang mendapatkan upah per jam. Profesi seperti guru (yang tidak tetap) atau dosen mungkin sudah familiar dengan upah per jam ini atau beberapa profesi lainnya yang juga sudah terbiasa dengan upah per jam.Â
Tetapi tentu saja sebagai manusia, wajar jika orang membandingkan mana yang lebih baik. Pertimbangan orang bisa beragam. Dari keberagaman pertimbangan itulah kemudian orang berani menyuarakan kalau upah per bulan lebih baik atau mungkin upah per jam yang lebih baik dan begitu seterusnya.
Saya tentu sangat memahami keduanya, karena sudah pernah menjalani keduanya. Setelah selesai kuliah dulu hingga beberapa tahun setelahnya, saya sebagai pekerja dan di bayar bulanan. Kalau saat itu saya ditanya, "mau di bayar bulanan atau harian atau per jam?" maka saya (posisi saat itu) akan dengan mudah menjawab,
"saya lebih senang yang bulanan, Pak. Karena lebih aman dan lebih terasa, jadi bisa nabung"
Itu lah jawaban saya kalau ditanya, tetapi itu jika pertanyaannya ditanyakan ke saya dahulu kala.
Sekarang, saya berprofesi sebagai Rabbani Motivator dan Pembicara Publik. Kalau saya ditanya lagi, "Lebih enak yang mana mas, mau dibayar per bulan, per hari atau per jam?", maka saya juga akan dengan mudah mengatakan,Â
"saya lebih senang dibayar per jam saja, Pak. Karena Alhamdulillah, bayaran beberapa jam saja sudah cukup untuk hidup dalam satu bulan dengan kehidupan yang layak."
Misalnya, Saya dalam beberapa kesempatan (alhamdulillah) mengisi sesi workshop full day, dari mulai jam 8 hingga jam 5 sore (total 8 jam). Dengan bayaran per jam, maka pendapatan saya satu hari itu saja bisa (alhamdulillah) setara atau lebih di banding gaji sebulan seseorang yang levelnya Senior Manager/AVP di sebuah perusahaan.
Besar? Alhamdulillah tentu saja. Bersyukur, pastinya. Ada yang lebih besar? banyak. Konon, Pembicara kelas dunia semacam Richie Norton, Tony Robbins, Zig Ziglar, Jim Rohn dan kawan-kawannya bisa dibayar minimal 1-2 juta dollar per jam. Ya, lebih kurang 28 M satu jam. Besar? banget.
Tetapi kapan habisnya kalau kita terus melihat ke atas? Apakah kita sudah lupa kalau salah satu kunci bahagia adalah sering-sering melihat ke bawah untuk urusan dunia?Â
Melihat ke atas perlu untuk memotivasi diri lebih baik lagi. Tetapi melihat ke bawah jauh lebih perlu untuk memupuk rasa syukur dengan karunia yang telah diberikan kepada kita.
Bicara tentang pendapatan tentu saja bukan saja bicara tentang "saya". Bicara tentang UU Cipta Kerja pun bukanlah bicara tentang "saya". Tetapi ini tentang kita, bangsa Indonesia. "Kita" tentu jauh lebih besar di banding "saya". "Kita" tentu jauh lebih penting di banding "saya".
Terkait pengupahan dibayar per jam tentu adalah hal yang tidak mudah diterima bagi mereka yang terbiasa dengan upah bulanan, meskipun tidak mustahil menyesuaikan diri. Sedangkan mereka yang sudah nyaman di bayar per jam pun rasanya tidak ingin kembali lagi merasakan bulanan karena sudah merasakan nikmatnya dibayar per jam.
Lalu mana yang terbaik? Semua pasti punya sudut pandangnya masing-masing. Tetapi jika sudah bicara tentang kepentingan orang banyak, maka kaum yang lebih sedikit harus bisa lebih legowo menerima keputusan dan masukan mayoritas apalagi demi kepentingan masyarakat luas, tanpa berarti menghilangkan pendapat dan eksistensi kaum yang lebih sedikit.
Semoga bermanfaat
Be The New You
TauRa
Rabbani Motivator
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H