Mohon tunggu...
TauRa
TauRa Mohon Tunggu... Konsultan - Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Rabbani Motivator, Leadership and Sales Expert and Motivational Public Speaker. Instagram : @taura_man Twitter : Taufik_rachman Youtube : RUBI (Ruang Belajar dan Inspirasi) email : taura_man2000@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Uniknya Akal Sehat Pemimpin Kita, Produk Dibuat untuk Digugat

13 Oktober 2020   08:04 Diperbarui: 13 Oktober 2020   13:15 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasaa Rapat Paripurna DPR (sumber:news.detik.com)

Jika Anda sedang membuat kue, lalu kue yang Anda buat itu bantet atau tidak jadi sesuai harapan, apakah Anda akan makan kue itu? Mungkin sedikit saja untuk mencobanya. 

Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah Anda berani untuk menyajikan kue itu ke tamu Anda yang datang? Sampai disini tentu saja jawaban kita akan seragam, kalau kita tidak akan menyajikannya ke tamu kita. Kecuali memang otak sadar kita sudah terganggu.

Jika pada kue saja perlakuan kita begitu ketatnya dalam penyajian, padahal bentuk bukanlah yang utama dalam hal makanan (tetapi rasa adalah kuncinya), lalu bagaimana jika yang akan kita sajikan adalah "kue" yang berbentuk undang-undang yang akan dijalankan oleh segenap elemen bangsa Indonesia?

Apakah "kue" yang akan kita sajikan di depan ratusan juta masyarakat Indonesia itu adalah "kue" yang asal-asalan? Tentu saja seharusnya tidak. Apakah "kue" yang akan dirasa oleh masyarakat Indonesia itu kita rasa layak hanya disajikan sekadarnya saja? rasanya kita sepakat kalau jawabnya tidak.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kalau yang menyajikan kue dalam bentuk produk perundangan itu tetap menyajikannya alakadarnya saja tanpa mempertimbangkan banyak aspek yang tentu saja lebih kompleks dari sekadar membuat kue bolu di rumah?

Maka sapaan Annisa Pohan ke Ridwan Kamil mungkin bisa kita jadikan contoh jawabannya. "Sehat Kang?", begitu sapa Annisa ke RK yang bisa juga kita alamatkan ke pembuat produk itu.

Begini, tentu saja untuk membuat ratusan halaman dan ribuan pasal bukan hal yang mudah, kita paham. Tentu saja untuk membuat aturan, merancang perundangan hingga menjadikannya regulasi (seolah-olah) bukan hal yang mudah, kita juga paham. 

Tetapi yang buat kita tidak paham adalah mengapa harus membuat "kue" yang orang enggan memakannya? jangankan memakan, mengakui itu sebagai kue saja orang tidak mau, apalagi memakannya?

Coba bayangkan, jika kita membuat kue dengan usaha yang kita katakan maksimal, tetapi kue itu jangankan dimakan, mendengar namanya saja orang sudah tidak mau dan menolak, apakah Anda tetap akan membuat kue itu?

Atau contoh lainnya begini, kalau Anda membuat kue, padahal Anda tahu kalau kue itu tidak disukai orang, apakah Anda tetap akan membuat kue itu?

Rasanya pada umumnya orang akan berhenti membuat kue itu. Ini bukan berarti kita menghalangi diri kita untuk berinovasi dan berimprovisasi, tidak. 

Memang bisa saja kalau pada akhirnya inovasi yang kita buat ternyata adalah terobosan dan baru disadari manfaatnya di kemudian hari, bisa saja. Tetapi minimal, usaha pembuat kue itu butuh lebih ekstra untuk memahamkan masyarakat kalau kue yang dibuat itu layak dimakan, bahkan dipromosikan dan seterusnya.

Yang lebih unik lagi kemudian adalah, sudah tahu kalau produk yang akan dibuat ini (mungkin) akan gagal, lalu kenapa dibuat? Ini mungkin yang jadi pertanyaan jutaan orang yang sering menggaungkan tagline "Politik Akal Sehat". 

Akal sehat banyak orang yang sedang "terguncang" melihat situasi yang ada saat ini. Tentu saja sebaliknya, yang "belum punya" akal sehat akan merasa biasa saja tanpa ada goncangan dan seterusnya.

Tidak berhenti sampai disana, keunikan itu dilanjutkan dengan pernyataan Presiden yang mengatakan "Jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-undang Cipta Kerja ini, maka silakan melakukan Uji Materi atau Judicial Review melalui MK". 

Tentu arah pernyataan ini baik untuk mendorong kita melakukan langkah-langkah konstitusional dalam menyikapi sebuah perbedaan. Tetapi tentu saja hal ini unik. Mengapa? Sama seperti kue tadi, bagaimana mungkin saya berani menyajikan kue, padahal saya tahu kalau kue itu tidak diterima oleh tamu saya?

Sama saja. Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa membuat sebuah produk yang pada akhirnya berujung dengan pengujian di Mahkamah Konstitusi? Bukankan seharusnya sebuah produk dibuat setelah melalui proses mekanisme yang baik sehingga tidak berujung pada penolakan dan pengujian di lembaga lain?

Entahlah. Rasanya keunikan berpikir dan bertindak para elit kita masih sulit dicerna oleh masyarakat kita. Tetapi mari terus berdoa, agar setiap kita selalu dalam lindungan Allah SWT apapun yang akan terjadi.

Semoga bermanfaat.
Be The New You
TauRa
Rabbani Motivator

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun