Mohon tunggu...
TauRa
TauRa Mohon Tunggu... Konsultan - Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Rabbani Motivator, Leadership and Sales Expert and Motivational Public Speaker. Instagram : @taura_man Twitter : Taufik_rachman Youtube : RUBI (Ruang Belajar dan Inspirasi) email : taura_man2000@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Merekonstruksi Peradaban dengan Malu

25 Juli 2020   08:11 Diperbarui: 25 Juli 2020   08:15 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Malu harus jadi budaya. Sumber: Flickr

Malu merupakan indikator dari tingginya akhlak seseorang. Semakin tinggi rasa malu seseorang, maka bisa dipastikan semakin tinggi akhlak seseorang. Semakin banyak individu yang memiliki rasa malu yang tinggi ini, maka akan terbentuk komunitas yang tinggi rasa malu, dan pada akhirnya akan membentuk peradaban yang punya rasa malu dan tentu saja rasa  malu pada akhirnya akan menggiring kepada kesuksesan yang lebih tinggi lagi.

Jepang Misalnya, ketika kita perhatikan di Densha (Kereta Api Listrik), semua orang Jepang yang berada didalamnya memiliki rasa malu jika tidak memegang dan membaca buku. Semuanya duduk diam dan melahap bacaan bukunya masing-masing. Justru hanya terlihat turis asing (khususnya Indonesia) yang juga terlalu "malu" rasanya untuk tidak berfoto dan mengabadikan momen yang mungkin langka bagi dirinya masing-masing.

Dengan malu jika tidak membaca buku, bisa kita lihat bagaimana Jepang maju pesat seperti sekarang ini. Bahkan, dalam penanganan Covid 19 misalnya, tidak ada yang harus di ubah dari budaya mereka dalam social distancing, karena memang mereka lebih gemar menundukkan kepala sebagai tanda hormat di banding bersalaman seperti yang kita dan banyak negara lakukan (yang belakangan harus dikurangi untuk mencegah penularan virus dan seterusnya).

Teman saya yang lain yang sedang belajar di Jepang pernah cerita, suatu hari dia kehilangan dompet saktinya yang memuat semua dokumen pentingnya termasuk uang sakunya selama beberapa bulan. Sampai di tempat tinggalnya ia merasa sangat bingung dan stres serta tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak lama kemudian, sebelum dia sempat melaporkan ke pihak berwajib, rumah nya didatangi oleh seorang bapak Jepang dan mengembalikan dompet saktinya itu dan ajaib nya lengkap tanpa ada satu pun yang berkurang.

Malu yang mereka miliki bisa jadi sudah mendarah daging dalam jiwa dan raga mereka. Mereka (Orang Jepang), malu untuk mengambil apa yang bukan menjadi hak milik mereka. Bisa jadi ini karena didikan pendahulunya (orang tua, guru dan seterusnya), dan tentu saja ini bisa terjadi karena lingkungannya dan bangsanya juga mencontohkan hal yang sama dalam kehidupan sehari-hari, budaya malu yang mereka kedepankan dalam segala aspek kehidupan, sehingga bisa mendarah daging seperti ini dan wajar, pada akhirnya peradaban mereka maju dan sukses seperti saat ini.

Contoh lain adalah Imam Al-Mawardi, seorang Penulis kitab-kitab yang sangat terkenal di masanya dan salah satu kitab nya yang paling terkenal adalah "Al-Ahkam As-Shulthaniyyah" yang membahas tentang ketatanegaraan, beliau merasa malu kalau karya-karya tulisannya dipublikasikan ke khalayak ramai karena merasa belum cukup ilmu dan masih banyak yang lebih baik darinya, padahal menurut murid-murid nya, karya-karyanya sangat luar biasa dan akan sangat bermanfaat jika dipublikasikan.

Beliau bahkan tidak ingin ada satu pun karyanya yang dipublikasikan selama dirinya masih ada di muka bumi ini karena merasa belum pantas. Setelah wafat, para muridnya mulai mempublikasikan karyanya dan benar terbukti kalau semua karyanya menjadi super best seller di dunia dan diterjemahkan kedalam banyak bahasa dan masih digunakan sebagai banyak rujukan hingga saat ini.

Pertanyaan penting selanjutnya adalah, "Dimana posisi kita sebagai Individu dan Bangsa Indonesia? Sudahkah kita memiliki rasa malu yang terpatri di dalam diri kita? Apakah para (oknum) pejabat sudah malu untuk korupsi? Ataukah masih menebar senyum ketika mengenakan seragam orange itu?

Sudahkah para karyawan dan pegawai malu untuk datang telat ke kantornya? Sudahkah para (oknum) profesional malu jika tidak menepati sumpah profesi nya? Sudahkah orang tua malu jika anak nya tidak mampu menjadi Imam ketika menyolatkan jenazah orang tuanya? (jangan hanya malu tentang urusan remeh-temeh saja), sudahkah seorang anak malu jika tidak bisa membanggakan orang tuanya? Sudahkah seseorang yang berusia 40 tahun ke atas malu jika masih belum dekat juga dengan Tuhannya? Dan ribuan pertanyaan malu lainnya yang harus kita jawab bersama.

Jika kita masih belum memiliki rasa malu dan tetap mengharapkan kesuksesan di dunia (apalagi di akhirat), maka hal ini persis seperti apa yang disampaikan Ali Bin Abi Thalib

"Kalau Engkah mengharapkan kesuksesan, tetapi tidak pernah menempuh jalan menuju kesuksesan itu, maka itu seumpama kapal yang tidak akan mungkin bisa berjalan di atas daratan"

Tidak perlu menunjuk dan menasihati orang lain untuk punya rasa malu, tetapi cukup lah tunjuk diri kita masing-masing untuk introspeksi, apakah kita sudah memiliki rasa malu dalam segala aspek kehidupan? atau sebenarnya jangan-jangan kita adalah orang yang tidak punya malu? Silakan kita renungkan masing-masing.

Semoga bermanfaat dan selamat menjadi pribadi yang baru !

Be The New You

TauRa

Rabbani Motivator, Pembicara Publik dan Penulis Buku Motivasi "The New You"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun