Sejak merebak pada bulan Maret 2020 sampai tanggal 26 Mei 2020 ini total kasus positif Covid-19 di Indonesia menyentuh angka 22.750 kasus, dengan kasus kematian mencapai 5.642 orang dan meninggal 1.391 orang. [1] Dalam kurun waktu Maret hingga Mei 2020, nampaknya tidak menunjukkan bahwa pandemi covid-19 akan segera berakhir.Â
22.750 kasus positif corona di Indonesia, berbanding lurus dengan tingkat kebodohan (stupidity) masyarakat Indonesia, yang acuh dengan Physycal Distancing dan Social Distancing.Â
Faktanya menjelang hari raya idul fitri dilansir oleh Merdeka.com, setidaknya ada 5 Mall dengan jumlah pengunjung membludak menjelang hari raya idul fitri diantarannya berada di Lombok, Palembang, dan Jember.[2]Â
Selain, pengunjung yang membludak para manusia-manusia pencari diskon hari raya ini juga tidak mengenakan masker dan enjoy saja berdesak-desakan seperti acara DWP di tengah pandemi covid-19 yang mengancam kesehatan mereka.[3]Â
Ramai nya mall di tengah pandemi covid-19 ini berdampak pada kecemburuan institusional lembaga negara (institutional jealously), MUI mengungkapkan kekecewaan nya terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, menurut sekjen MUI Anwar Abbas, Â mall dan transportasi tidak dilarang beroperasi tetapi masjid tetap ditutup. [4]
Kebodohan (stupidity) berlanjut, bahkan sampai tingkat para penegak hukum, masih hangat-hangatnya seorang polisi  di Ciparay Kabupaten Bandung, marah-marah saat ditegur polisi untuk mengenakan masker, bahkan  saat  diminta turun  polisi berinisial HI ini hampir menabrak pengendara.[5] Hal ini menunjukkan bahwa (stupidity) juga menjangkiti para penegak hukum, kalau boleh penulis mengungkapkan peribahasa yang penulis buat sendiri yaitu penegak hukum yang melanggar hukum.Â
Janganlah aneh ketika tingkat kebodohan (stupidity), sudah sampai pada tingkatan inti sel, dikarenakan berdasarkan survei asesmen pendidikan dunia (PISA) menempatkan kualitas pendidikan Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara, kalah dari Brunei Darussalam dan Malaysia.[6]Â
Hasil tersebut diperoleh dari kerja keras stakeholder Indonesia selama ini untuk menciptakan kompetensi guru yang rendah, sistem pendidikan yang membelenggu, lembaga pendidikan yang minim kreativitas.[7] Sehingga wajar saja, istilah mudik dan pulang kampung pun masih menjadi perdebatan pihak istana yang bertitel sarjana sampai professor.Â
Kebodohan (stupidity) masyarakat Indonesia yang acuh, diperparah lagi dengan penegakan hukum (law enforcement) Â yang lemah, dalam hal ini penegakan hukum terhadap pelanggar PSBB. Padahal sanksi terhadap pelanggar PSBB ini cukup mengerikan apabila ditegakkan dengan benar-benar, secara yuridis dalam KUHP, pelanggar PSBB dapat dikenakan sanksi berupa pidana 4 (empat) bulan penjara, [8] apabila pelanggar PSBB ditegur pihak yang berwenang tapi menyerang pihak yang memberikan teguran maka secara yuridis dapat dikenakan pidana 1 (satu) tahun penjara. [9]
Selain, sanksi yang tercantum dalam KUHP, pemerintahan daerah baik itu pemerintahan daerah Provinsi ataupun pemerintahan daerah Kabupaten/Kota juga mengeluarkan Perda dan Perkada , yang berisi sanksi tidak kalah mengerikan, contoh Pergub DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19) di DKI Jakarta.Â
Delik-delik yang terdapat antara lain tidak mengenakan masker dapat dikenakan sanksi administratif denda sebesar paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 250.000, [10] hingga pada sanksi bagi perusahaan sebesar Rp. 25 Juta sampai Rp. 50 Juta, atau penutupan izin usaha bagi perusahaan yang melanggar PSBB.Â
Sungguh disayangkan, sanksi-sanksi bagi pelanggar PSBB yang mengerikan tersebut tidak dibarengi dengan penegakan hukum (law enforcement ) secara komprehensif, selama ini aturan dan regulasi yang telah dibuat oleh regulator tak ubahnya cerita hantu, yang memberikan hak kepada seseorang untuk takut atau tidak, dan hantu (penegakan hukum) Â yang diceritakan tersebut tidak pernah menampakkan diri secara realitas.
Pengibaratan cerita hantu (aturan hukum) dan hantu tersebut (penegakan hukum) memang terjadi hari ini di Indonesia, sanksi pelanggar PSBB ada, tapi masyarakat masih acuh dan penegak hukum cuek saja, jauh hari sebelum covid-19 penulis contohkan di Kota Bandung ada Perda larangan merokok pada saat mengendarai kendaraan bermotor dengan sanksi yang berat namun nampak penegakan hukum tidak secara komprehensif dikarenakan tiap stopan dan jalan masih banyak dijumpai pengendara dengan santuy nya merokok sambil berkendara..
Menurut Laurentius Arliman penegakan hukum (law enforcement) Â itu sendiri tidak terlepas dari peran serta dari penegak hukum, karena penegak hukumlah yang nantinya menegakkan aturan hukum tersebut. Apabila penegak hukum mempunyai mental yang bobrok maka akan menciptakan penegakan hukum yang bobrok pula, begitu pula sebaliknya apabila penegak hukum mempunyai mental yang baik dalam menjalankan/menegagkan aturan hukum maka akan menciptakan penegakan hukum yang baik dan bersifat responsif. [11]
Realitas yang terjadi sampai bulan Mei 2020, kasus positif meningkat terus, masyarakat acuh terhadap sanksi PSBB, aparat penegak hukum (law enforcer) dan penegakan hukum (law enforcement) yang tidak serius dan komprehensif, berdampak pada kelelahan dan tumbangnya para tenaga medis ahli syurga ini. Berujung pada ramainya tagar #terserahindonesia, yang berisi keluhan tenaga medis yang kelelahan, kerja dan pengorbanan nya tak dihargai karena kebodohan (stupidity) masyarakat Indonesia.
Berdasarkan, hal-hal dan permasalahan-permasalahan yang penulis ungkap sebelumnya maka penulis merekomendasikan kepada yang terhormat Presiden Republik Indonesia dan stakeholder terkait sebagai berikut:
- Ubah Perppu covid-19 menjadi Undang-Undang dengan ditambahkan sanksi pidana dan delik-delik baru, sehingga berkepastian hukum;
- Buat Undang-Undang khusus pandemi, dan jadikan prioritas dalam Prolegnas;
- Segera buat kebijakan diskresi untuk menghentikan pelayanan medis bagi pasien covid-19 baru apabila sampai awal Juni kasus Positif terus bertambah (sisanya biarkan mati saja) karena lebih baik mengurangi jumlah populasi orang bodoh daripada tenaga medis;
- Berikan kewenangan POLRI, TNI untuk langsung tembak di tempat pelanggar PSBB yang tidak terima di tegur;
- Apabila Pandemi berakhir berikan seluruh tenaga medis gelar pahlawan nasional, dan berikan mereka bonus;
- Apabila Pandemi berakhir REFORMASI TOTAL seluruh aparat penegak hukum dan ASN Pendidikan dari tingkat Pusat sampai Dinas di daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H