Mohon tunggu...
Taoel
Taoel Mohon Tunggu... Penulis - Wiraswasta

Tulisan Sederhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Astronomi sebagai Solusi Pemersatu Permasalahan Hisab dan Rukyat

24 Juni 2022   19:29 Diperbarui: 24 Juni 2022   19:59 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Visibilitas Hilal

Problematika dalam penentuan hari raya besar Idul Fitri ataupun Idul Adha selalu menjadi perhatian penuh oleh masyarakat maupun pemerintah. Meskipun perbedaan hari besar tersebut di masa sekarang  tidak terlalu menjadi masalah serius, namun problematika tersebut mampu memicu ketidaktentraman di kalangan masyarakat.  Tentu apabila problematika tersebut tidak teratasi maka berdampak penuh pada aktivitas massal baik dari segi ekonomi maupun sosial.

Kemajuan terkait pengetahuan, pemahaman dan penalaran tentang ilmu astronomi ternyata mampu dimaksimalkan penuh untuk menyatukan umat ditengah-tengah hiruk pikuk ketidaktentraman masyarakat terutama dikalangan ormas islam. Biasanya dimaksimalkan betul dalam momentum hari raya besar seperti Idul Fitri, Idul Adha  dan Awal Ramadhan.  

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perdebatan dalil syari dikalangan ormas yang selama ini terkait problematika metode rukyat maupun hisab masih dalam sudut yang sulit untuk  diselesaikan karena masing-masing penganut mempunyai dalil yang diimani kuat dan shahih. 

Tentu dengan pemahaman tentang ilmu astronomi yang baik akan menjadi suatu jalan titik temu  agar metode rukyat maupun hisab tidak diperdebatkan lagi.

Pokok Permasalahan 

Para pengikut aliran metode hisab maupun rukyat menggunakan metode tersebut pada dasarnya untuk menentukan awal bulan kalender islam.  Pada kalangan Muhammadiyah menggunakan  kriteria wujudul hilal (yang artinya hilal wujud diatas ufuk) dengan  prinsip wilayatul hikmi (wujud di sebagian  wilayah  diberlakukan untuk seluruh wilayah  hukum  di seluruh Indonesia).  

Pada kalangan Persatuan Islam (Persis)  menggunakan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia  sedangkan dikalangan Nahdlatul Ulama menganut metode rukyat.  

Perbedaan metode yang digunakan oleh kalangan ormas di masyarakat inilah yang membuat problematika tahunan yang perlu dibuat suatu ketetapan untuk meredam  perdebatan yang mungkin terjadi.

Kriteria Visibilitas Hilal Internasional

Hal yang perlu dipahami adalah kriteria ini merupakan kajian astronomi yang masih terus berkembang yang tidak hanya sekedar untuk keperluan penentuan hari raya besar saja namun hal ini menjadi suatu tantangan saintifik bagi observer hilal.  Dua hal yang sangat memengaruhi dalam proses pengamatan seperti kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat dari hamburan cahaya matahari  oleh atmosfer di ufuk (horizon).

Pada jarak bulan-matahari < 7 derajat hilal tak mungkin terlihat (Limit Danjon). Schaefer (1991) melakukan pemodelan yang menunjukkan bahwa Limit Danjon disebabkan karena batas  sensitivitas  mata manusia yang tidak mampu melihat cahaya hilal yang begitu tipis.  Ilyas (1988) memberikan suatu kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4 derajat untuk beda azimuth yang besar dan 10,4 derajat untuk beda azimuth 0 derajat. Sedangkan Caldwell dan Laney (2001) memisahkan pengamatan antara mata telanjang dengan bantuan alat optik. 

Kriteria beda tinggi minimum 4 derajat untuk semua cara pengamatan pada beda azimuth yang besar dan beda tinggi minimum sekitar 6.5 derajat  untuk beda azimuth untuk pengamatan alat optik .

Kriteria Visibilitas Hilal Indonesia

Djamaluddin  (2000) memberikan usulan terkait kriteria visibilatas hilal di Indonesia:

  • Umur hilal > 8 jam;
  • Jarak sudut bulan-matahari > 5.6 derajat;
  • Beda tinggi >3 derajat (> 2 derajat) untuk beda azimuth ~ 6 derajat. Namun apabila beda azimuth <  6 derajat  perlu beda tinggi yang lebih besar. Untuk beda azimuth 0 derajat beda tingginya harus > 9 derajat

Beberapa kriteria tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian minimal 2 derajat tanpa memperhitungkan beda azimuth.

Akhir Pembahasan

Dua aspek utama yang semestinya dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Mengapa? Karena kriteria ini akan digunakan sebagai kriteria hisab -- rukyat yang sangat membantu menganalisis  mungkin tidaknya  hasil rukyat serta menjadi penentu masuknya awal bulan pada penentuan hisab. Dengan  demikian  kriteria LAPAN  (Djamaluddin,  2000)  dapat  disempurnakan  menjadi "Kriteria  Hisab-Rukyat  Indonesia"  dengan  kriteria  sederhana sebagai berikut

  • Jarak sudut bulan-matahari > 6,4 derajat
  • Beda tinggi bulan-matahari > 4 derajat

Sumber : Djamaluddin, T. 2011. Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat. Jakarta. LAPAN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun